Buntet Pesantren Oh Buntet Pesantren
Nama saya adalah Ghufron Amin.Saya adalah anak dari Raden Djunaedi Kalyubi dan Khuriyah Masduki.Walau tinggal di Tuk Karangsuwung tetapi saya masih sedikit merasa orang Buntet Pesantren.Maklum saja,karena darah Buntet Pesantren mengalir deras di tubuh kedua orangtua saya.Hal ini karena kedua nenek saya adalah asli keturunan Buntet Pesantren.Keduanya adalah kakak beradik putri dari Kiai Ilyas.Jadi ayah dan ibu saya adalah adik sepupu yang terikat dalam hubungan pernikahan.
Pernikahan antar saudara sepupu(satu kakek nenek) atau sepupu jauh (satu mbah buyut) adalah sesuatu yang lumrah dan banyak terjadi di kalangan keluarga Buntet Pesantren.Ayah dan ibu saya adalah salah satunya.Pernikahan antar saudara tersebut bisa terjadi karena perjodohan atau karena memang sudah saling naksir duluan saat kumpul keluarga besar.Dan alasan ayah ibu saya menikah adalah karena alasan yang kedua.Ya,ayah saya bilang kalau beliau naksir ibu duluan saat ayah berkunjung ke rumah ibu yang tak lain adalah sepupunya sendiri.
Walau kedua nenek saya itu berdarah Buntet Pesantren dari ayah mereka yang bernama Kiai Ilyas,tapi setelah menikah keduanya tidak lagi tinggal di Buntet Pesantren.Nenek saya dari pihak ibu yang bernama Nyai Fatimah tinggal di Kasepuhan bersama suami tercintanya Kiai Raden Masduki.Nenek saya dari pihak ayah yang bernama Nyai Aminah tinggal di Desa Tuk Karangsuwung bersama suami terkasih Kiai Raden Kalyubi yang masih keturunan dari Mbah Ardisela.Sementara ayah dan ibu saya setelah menikah lebih banyak tinggal di Desa Tuk Karangsuwung hingga akhir hayatnya.
Ayah dan ibu saya lahir dan besar di luar Buntet Pesantren,tapi semangat berdakwah tetap ada dalam diri keduanya.Maklum saja,selain kedua nenek saya yang rajin mengajar mengaji,kedua kakek saya dari pihak ayah dan ibu juga ulama,jadi urusan dakwah atau mengajar mengaji sudah jadi kegiatan mereka sehari-hari.Istilah katanya adalah sudah mendarah daging sehingga tak bisa dilepaskan lagi.
Bagaimana dengan saya dan Buntet Pesantren?,saya merasakan Buntet Pesantren sebagai tempat belajar saja,tak lebih dari itu.Saat itu saya sebagai murid yang belajar di Mts NU Putra 1 Buntet Pesantren yang lulus di tahun 1992.Karena darah Buntet masih ada di kedua orangtua saya,maka yang mengajar di sekolah tempat saya belajarpun sebagian besar masih saudara atau minimal adalah orang lain yang kenal baik dengan orangtua saya.
Bagaimana dengan saya dan dakwah?,He he,sampai usia saya mencapai 30 tahun tak sekalipun saya mengajar apalagi berdakwah.Baru setelah berusia 32 tahun saya memulai kiprah saya sebagai seorang yang bergerak dalam bidang pendidikan,yaitu dengan cara menjadi seorang guru yang mengajar di beberapa sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.Walau dengan gaji sedikit tak mengapa,yang penting bisa membawa berkah.
Berdakwah?,tentu saja saya berdakwah,tapi dakwahnya sementara ini untuk diri sendiri saja.Maklum,semua karena memang saat ini saya sendirilah yang patut dan harus didakwahi,bukan orang lain.Perilaku saya itu masih jauh dari kata patut untuk menjadi seorang pendakwah.Tahu diri kalau harus berdakwah,jadi berdakwah untuk diri sendiri saja dulu.
Buntet Pesantren oh Buntet Pesantren,walau saya lahir dan besar di luar wilayah Buntet Pesantren,namun masih ada sedikit warisan darahmu di tubuh saya ini.Tapi walau sedikit semoga tetap bisa menjadi spirit untuk saya berbuat lebih baik lagi.Semoga saya bisa meneladani para leluhur saya yang setia berdakwah dan sudah membangun juga membesarkan Buntet Pesantren,sehingga saya juga bisa dan selalu giat dalam berdakwah.Amin.