Selasa, 14 November 2017

Hubungan Kekerabatan Beberapa Pesantren di Cirebon

Hubungan Kekerabatan Beberapa Pesantren di Cirebon

Pesantren-pesantren di kawasan Cirebon memang mempunyai hubungan kekerabatan yang begitu erat.Setelah era Sunan Gunung Jati di tahun 1400 an hingga 1500 an,baru di era 1700 an hingga 1800 an jejak kekerabatan pesantren kembali terbentuk dan berlangsung hingga sekarang.Hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidup pesantren-pesantren yang tidak semuanya bertahan lama.Beberapa pesantren yang dulu pernah ada tidak semuanya masih berdiri dan bertahan hingga sekarang.

Tahun 1700 an hingga tahun 1800 an adalah tahun-tahun di mana pesantren-pesantren baru berdiri,sebagai tonggak kelangsungan pesantren-pesantren yang sudah ada sebelumnya.Keberadaan pesantren-pesantren ini,beberapa di antaranya masih bertahan dan bahkan berkembang dengan baik hingga sekarang.Dimulai dari Kiai Ardisela yang menikah dengan Nyai Alfan adik dari Mbah Muqoyim.Dari sini jejak langkah pesantren-pesantren di Cirebon khususnya di bagian timur Cirebon kembali bermula.Saat itu Kiai Ardisela membuka sebuah pesantren yang berada di Dawuan Sela,yang sekarang ini letak lokasinya berada tidak terlalu jauh dari Pesantren Buntet.

Jejak langkah Kiai Ardisela dalam mendirikan pesantren ini diikuti oleh Mbah Muqoyim kakak iparnya.Mbah Muqoyim yang memutuskan meninggalkan jabatan muftinya dan keluar dari Keraton Kanoman memilih menjadi ulama yang hidup di tengah-tengah masyarakat umum.Mbah Muqoyim akhirnya membuka Pesantren Buntet.Tak lama setelah ini dibuka juga Pesantren Pesawahan oleh adik Mbah Muqoyim dan kakak Nyai Alfan yang bernama Kiai Ismail.Setelah kembali dari pelariannya,Mbah Muqoyim juga mendirikan pesantren di Tuk,yang letaknya tak jauh dari makamnya sekarang.Di akhir tahun 1700 an hingga awal tahun 1800 an,keempat  pesantren inilah yang berdiri dan bertahan di tengah gempuran dan upaya penghancuran oleh tentara penjajah Belanda,dan penjajah dari bangsa lainnya.

Untuk nama Kiai Ardisela di sini jelas bukan merujuk nama Mbah Raden Ardisela yang makamnya ada di Tuk Karangsuwung.Karena walaupun sama-sama mempunyai nama Ardisela,kedua orang ini jelas berbeda.Kiai Ardisela murni sebagai seorang ulama yang mendirikan pesantren,sedangkan Mbah Raden Ardisela adalah seorang pemangku wilayah atau demang yang mempunyai kemampuan dalam bidang agama Islam,sehingga di kemudian hari banyak juga orang yang menganggapnya sebagai seorang pemimpin sekaligus ulama.

Setelah era Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Kiai Ismail selesai,era selanjutnya keberadaan pesantren diteruskan oleh keturunan ketiganya.Pesantren Kiai Ismail di Pesawahan diteruskan oleh anak keturunanya dan masih ada hingga sekarang.Pesantren Kiai Ardisela sudah tidak ada lagi sepeninggalnya,namun anak dan menantunya tetap turut melanjutkan jejaknya dalam dunia pesantren.Menantu laki-lakinya yang bernama Kiai Mas Khanafi atau Buyut Jaha di Desa Sampiran Kecamatan Talun Cirebon juga dikenal sebagai pendiri pesantren.

Sementara itu tak ada yang menceritakan atau mencatat siapa anak atau menantu yang meneruskan Pesantren Buntet sepeninggal Mbah Muqoyim.Pesantren Buntet kembali dikenal dan banyak didatangi oleh para santri setelah pesantren ini dipimpin oleh Mbah Muta'ad yang tak lain adalah suami dari cucu Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Ratu Aisyah binti Raden Muhammad (Suami Nyai Kholifah binti Mbah Muqoyim).Di bawah kepemimpinannya inilah keberadaan Pesantren Buntet berkembang pesat.Di saat yang bersamaan menantu Kiai Mas Khanafi yang bernama Kiai Takrifudin juga mendirikan pesantren baru yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Pemijen,di Desa Asem Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon.Sementara Pesantren Tuk dilanjutkan oleh menantu Mbah Muqoyim yang bernama Kiai Gozali.

Setelah era Mbah Muta'ad dan Kiai Takrifudin,pesantren baru yang berdiri selanjutnya adalah Pesantren Gedongan yang didirikan oleh menantu Mbah Muta'ad yang bernama Kiai Said.Hampir bersamaan dengan berdirinya Pesantren Gedongan,Pesantren Benda Kerep Kota Cirebon juga berdiri.Pesantren ini didirikan oleh Mbah Soleh bin Mbah Muta'ad yang tak lain adalah menantu dari Kiai Takrifudin.

Untuk nama Kiai Ardisela Byang murni seorang ulama di sini jelas bukan Mbah Raden Ardisela,karena walaupun Mbah Raden Ardisela ini dikenal sebagai seorang ulama,tapi tugas utama beliau adalah sebagai seorang pemangku wilayah alias demang.Hal inilah yang menyebabkan di Blok Muara Bengkeng,Tuk Karangsuwung tidak ditemukan adanya bekas pesantren yang berdiri di era tersebut.Adapaun pesantren yang berada di Tuk adalah Pesantren Tuk yang didirikan Mbah Muqoyim.Pesantren lainnya yang berdiri ada di kawasan Tuk Bubulak,Tuk Karangsuwung yang sekarang juga sudah tidak ada,diperkirakan berdiri sekitar akhir 1800 an hingga awal 1900 an,di era cucu atau cicit Mbah Raden Ardisela.Smentara pesantren baru yang didirikan oleh keluarga keturunan Mbah Raden Ardisela yang berdiri di Blok Muara bengkeng pada tahun 1970 an M hanya bertahan beberapa tahun saja.

Pesantren-pesantren tersebut satu sama lain saling berhubungan,baik karena adanya ikatan darah (keturunan),atau juga karena adanya ikatan perkawinan.Anak cucu dari Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim,Kiai Mas Khanafi Jaha,dan Mbah Raden Ardisela banyak yang mewarnai keberadaan pesantren-pesantren tersebut,terutama karena adanya ikatan perkawinan antar keturunan mereka berempat.

Sabtu, 11 November 2017

Nyai Masufroh Takrifudin

Nyai Masufroh Takrifudin

Nyai Sofroh atau Masufroh Takrifudin adalah anak dari Kiai Takrifudin pendiri Pesantren Pemijen Asem dan Nyai Latifah putri dari Kiai Mas Khanafi Jaha.Beliau adalah istri dari Kiai Raden Raksa bin Raden Rangga Nitipraja.
Kiai Takrifudin ayah Nyai Masufroh yang seorang ulama mendidiknya dengan aneka ilmu agama dan mengawasinya dengan ketat.Ditambah lagi didikan ibunya yang juga putri seorang ulama,menjadikan kehidupan Nyai Masufroh lebih agamis dibandingkan remaja putri lainnya.Sejak kecil hingga besar beliau juga dikenal sebagai wanita yang santun dan sholehah,dan juga faham dalam aneka ilmu agama Islam.

Nama kecil Nyai Masufroh adalah Nyai Sofroh dan dikenal juga dengan nama Nyai Masupra.Mas,nama depannya tersebut ada kaitannya dengan nama kakeknya,Kiai Mas Khanafi Jaha.Saat itu nama-nama keluarga besar Kiai Mas Khanafi Jaha memang banyak yang diawali dengan nama Mas,sebuah gelar yang berasal dari luar Cirebon.

Ketika menikah dengan Kiai Raden Raksa dan dikaruniai beberapa anak,Nyai Masufroh mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai agama Islam yang kental.Selama mendidik anak-anaknya,beliau sertai juga dengan aneka do'a dan puasa,yang dikalangan umat Islam atau di dunia pesantren lebih dikenal dengan nama riyadhoh.Kebiasaan baik yang ditularkan oleh ayah dan ibu serta kakek dan neneknya,memang telah membuatnya terbiasa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh keluarga besarnya tersebut.

Karena kebiasaannya yang suka melakukan aneka ritual keagamaan yang lebih dibandingkan masyarakat pada umumnya itu,Nyai Masufrohpun di kemudian hari dikenal sebagai seorang wanita dengan beberapa kelebihannya.Konon saat hidupnya beliau mempunyai sebuah sumur yang bisa mengobati aneka penyakit.Semua itu tak terlepas dari aneka dzikir,tirakat,dan do'a yang beliau panjatkan.Sayangmya setelah beliau meninggal dunia dan tanah di mana sumur itu berada sudah berpindah kepemilikannya,khasiat sumur itupun sudah tak ada lagi.Letak sumur itu sekarang ini tepat berada di depan pintu masuk sebuah mushola wanita yang ada di Blok Muara Bengkeng,Desa Tuk Karangsuwung,Kecamatan Lemahabang,Kabupaten Cirebon.

Penulisan Kisah Tentang Mbah Raden Ardisela

Penulisan Kisah Tentang Mbah Raden Ardisela

Semula tulisan tentang Mbah Raden Ardisela ini hanya ditulis untuk kepentingan keluarga saja.Penulis ingin keluarga besar penulis mengetahui kisah perjuangan Mbah Raden Ardisela dan juga leluhur lainnya,agar sedikit banyak mengetahui dan bisa meniru derap langkah perjuangan para pendahulunya.Ternyata banyak orang yang berminat membaca kisah atau sejarah tentang Mbah Raden Ardisela dan mengajukan aneka pertanyaan ke penulis.Karena animo pembaca pada aneka tulisan tentang Mbah Raden Ardisela ini,maka penulispun semakin giat menulis dan mencari aneka informasi mengenai beliau.

Memang,seiring perjalanan waktu banyak kesimpangsiuran yang terjadi mengenai kisah dan sosok Mbah Raden Ardisela ini.Bertolak dari hal ini akhirnya penulis mencoba untuk meneliti tentang kisah atau sejarah Mbah Raden Ardisela ini secara lebih mendalam lagi.Berbagai nara sumberpun penulis datangi dan wawancarai.Berbagai data baik itu lisan atau tulisan coba penulis kaji,baik itu data yang lama maupun yang lama tapi baru (salinan).Banyak sekali kendala yang penulis temui dalam rangka menulis kisah tentang Mbah Raden Ardisela ini.Karena ternyata selama ini rupanya tak sedikit orang yang mengambil keuntungan dari kesimpangsiuran tentang kisah Mbah Raden Ardisela ini.

Di antara hal yang membuat kesimpangsiuran kisah tentang Mbah Raden Ardisela tersebut adalah seperti adanya orang-orang yang mengaku sebagai keturunan langsung beliau padahal bukan,mengaku sebagai keturunan kakak atau adik Mbah Raden Ardisela,membuat silsilah palsu,aneka cerita yang sebenarnya tidak berhubungan dengan Mbah Raden Ardisela,dan lain sebagainya.Semula penulispun hampir terkecoh,karena mengira aneka informasi itu semuanya benar.Karena hal inilah yang membuat tulisan di blog ini beberapa kali mengalami perubahan dan ditulis ulang.Semua ini kembali ditulis ulang setelah melalui serangkaian penelitian dan analisa yang mendalam mengenai aneka informasi tersebut.

Tulisan tentang Sejarah Mbah Raden Ardisela ini memang sengaja ditulis secara 'populer' dan tak ditulis seperti tulisan akademis pada umumnya.Hal ini bertujuan agar tulisannya terasa lebih ringan dan bisa dibaca dan dipahami oleh siapa saja,karena tujuan awalnya memang hanya ingin bercerita kepada keluarga dekat saja.Walau demikian,tulisan-tulisan di blog ini tetaplah bisa dipertanggungjawabkan karena telah melalui serangkaian penelitian dan pengkajian yang mendalam,yang dilakukan oleh penulis dalam kurun waktu yang lumayan lama.Akhir kata,selamat membaca aneka tulisan tentang Mbah Raden Ardisela ini.