Selasa, 26 September 2017

K.H. Bakri Bakir dan Nyai Hj. Mu'minah Abdul Jamil

K.H. Bakri Bakir dan Nyai Hj. Mu'minah Abdul Jamil

Googling alias searching-searching tentang tarekat,tiba-tiba saya menemukan nama Kiai Bakri (Kasepuhan),sebuah nama yang tidak asing di telinga saya.Itupun bukan di laman atau website dalam negeri,melainkan dari luar negeri.Tepatnya dari salah satu perpustakaan digital sebuah universitas terkemuka di negeri kangguru sana,alias Australia.Tulisannya otomatis dalam bahasa Inggris.He he,untungnya sedikit-sedikit saya bisa bahasa Inggris,jadi saya tidak terlalu sulit memahaminya.

Ternyata oh ternyata,nama yang dimaksud oleh buku digital yang bisa diakses dari manapun itu adalah nama Kiai Bakri Kasepuhan yang tak lain adalah Mbah Buyutku.Hem,ternyata Mbah Buyutku itu pimpinan tarekat toh,baru 'nyaho'sayanya.Beliau itu adalah pimpinan tarekat atau yang biasa disebut muqoddam atau mursyid.Nama tarekatmya adalah Tarekat Tijaniyyah.Beliau dibaiat menjadi muqoddam oleh Kiai Anas yang tak lain adalah kakak dari istrinya yang bernama Nyai Mukminah binti Kiai Abdul Jamil.

Dulu,saat saya masih kecil ibu sering cerita tentang Mbah Buyutku itu,tidak banyak tapi begitu berkesan.Katanya beliau itu orangnya tegas dan sedikit keras, terutama menyangkut hal-hal yang tidak sesuai menurut keyakinan agamanya.Maka dari itu beliau yang seringkali tidak kenal kompromi ini tidak disukai oleh pihak penjajah Belanda.Apalagi kumpulnya bersama ulama-ulama lainnya yang memang anti penjajahan Belanda seperti kakak-kakak iparnya Kiai Abbas,Kiai Anas,Kiai Akyas,dan Kiai Ilyas.Belum lagi kedekatannya dengan Kiai Anwarudin alias Kiai Krian yang tak lain adalah uwak dari istrinya.

Kiai Bakri buyutku itu ulama Keraton Kasepuhan Cirebon yang biasa menjadi imam dan khatib di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan Cirebon.Walau dari lingkungan keluarga keraton,tapi beliau tidak bergelimang harta,maklum saja,karena memang beliau,juga Kiai Bakir ayahnya atau Kiai Barowi kakeknya paling anti sama pemerintahan penjajah Belanda.

Leluhur Kiai Bakri dan juga anak cucunya secara turun temurun menjadi imam atau Khatib masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan.Kiai Bakri dan leluhurnya ini suka berdakwah secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.Tak aneh juga jika di Purwakarta atau Karawang ada keluarga Kiai Bakri lainnya,yaitu saudara dari salah satu istri Kiai Bakir ayahnya yang memang berasal dari Karawang sana.

Kiai Bakri yang menikah dengan Nyai Mukminah putri dari Kiai Abdul Jamil Pesantren Buntet ini dikaruniai 10 orang anak,yaitu :
1.Kiai Masduki
2.Nyai Fathonah
3.Kiai Khafidz
4.K.H. Marzuki
5.Nyai Hj. Fatmah
6.Kiai Ghufron
7.K.H. Muqoyim
8.K.H. Ahmad Sholeh
9.Kiai Muslikh
10.K.H. Mahfudz

Kiai Masduki,K.H. Marzuki (Yai Juk),dan K.H. Makhfud (Yai Apu),adalah tiga anak laki-laki Kiai Bakri dan Nyai Mukminah yang kebetulan tinggal di Kasepuhan juga turut melanjutkan kebiasaan menjadi imam di masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan.Kebiasaan ini dilanjutkan kembali oleh cucunya,seperti oleh K.H.Hasan,Kiai Jumhur (Penghulu Keraton Kasepuhan),Kiai Sirojudin,Ustadz Anwar,Ustadz M. Nidzhom,Ustadz A. Qohar,dan beberapa cucu lainnya.
Hampir semua anak Kiai Bakri ini melanjutkan jejak dan langkah dakwah Kiai Bakri,tak terkecuali anak perempuannya.Cucu dan cicitnya juga tak sedikit yang turut melanjutkan kiprah dakwah kakek buyutnya tersebut.Sekarang ini rumah dan Mushola peninggalannya juga digunakan untuk kegiatan dakwah yang dikelola anak cucunya.Pesantren Darul Fikri,demikian nama lembaga dakwah yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial,yang letaknya tepat berada di belakang Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan Cirebon.

Oh ya,kalau saya yang menulis kisah ini,tidak bisa melanjutkan jejak dakwah Kiai Bakri seperti ibu saya yang jadi guru mengaji dan mubalighah,atau seperti saudara-saudara yang lainnya.Saya cukup menjadi 'juru tulis' atau 'juru cerita' yang menceritakan tentang kiprah leluhur kami dalam berdakwah,agar bisa dibaca oleh anak cucunya di manapun berada.

Sabtu, 23 September 2017

Kiai Ardisela (7)

Kiai Ardisela,Guru Para ' Laskar Ardisela' (7)

Perjuangan Kiai Ardisela Dan Mbah Muqoyim

Karena sudah tidak cocok lagi dengan lingkungan keraton,Mbah Muqoyim memutuskan untuk keluar dari Keraton dan memilih hidup di luar keraton.Bersama keluarganya beliau pergi ke arah timur Cirebon,mengikuti jejak Kiai Ardisela adik iparnya yang sudah terlebih dulu keluar dari keraton.Orang yang pertama didatanginya adalah Kiai Ardisela.

Bila Kiai Ardisela membuka pesantren di Dawuan Sela,maka Mbah Muqoyim membuka pesantren yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Desa Buntet,di tempat yang tidak terlalu jauh dari kediaman Kiai Ardisela di Dawuan Sela.Jarak yang berdekatan membuat kakak dan adik ipar tersebut semakin dekat satu sama lain.Keduanyapun akhirnya bersama-sama mengajar dan berdakwah menyebarkan ajaran Islam di daerah yang sekarang ini  masuk wilayah Kecamatan Astana Japura.

Kebersamaan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim semakin membuat dakwah dan pendidikan Islam di kawasan Sindang Laut ini semakin maju.Lambat laun santri yang datangpun semakin banyak.Tak hanya kalangan masyarakat umum,masyarakat dari keluarga keratonpun banyak yang ikut belajar pada keduanya.

Karena semakin banyak santri yang belajar pada keduanya,Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyimpun semakin mendapat pengawasan dari pihak penjajah Belanda.Lebih-lebih ketika semakin banyak saja keluarga keturunan keraton yang belajar pada keduanya.Tanpa sepengetahuan keduanya,rupanya pihak penjajah Belanda mengetahui tentang kiprah keduanya tersebut,sehingga mereka semakin gencar memata-matai keduanya.Mereka khawatir jika kedua ulama kharismatik tersebut mampu menggalang kekuatan baru untuk melawan mereka.

Perjuangan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim dalam membuka dan menjalankan pesantren memang tidaklah mudah. Keduanya mendapatkan aneka tantangan dan rintangan yang selalu menghadang.Namun dengan kebulatan tekad,keduanya tetap gigih berjuang dan menghadapinya dengan segenap usaha dan doa.

Dari tangan dingin keduanya,saat itu banyak melahirkan ulama dan juga pejuang.Beberapa keluarga keturunan keraton baik dari Cirebon atau luar Cirebon yang menjadi murid keduanya antara lain putra Sultan Kanoman yang di kemudian hari menjadi Sultan Kacirebonan I,Raden Rustam atau yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Raden Ardisela Tuk,Kiai Mas Khanafi atau yang lebih dikenal dengan nama Ardisela Jaha (Buyut Jaha) yang juga menjadi menantu Kiai Ardisela,dan lain-lain.

Perjuangan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim dalam melawan penjajah Belanda dan juga dalam berdakwah menyebarkan ajaran Islam berlangsung cukup lama,dari keduanya berusia muda hingga akhir hayat keduanya.

Kiai Ardisela (6)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (6)

Kiai Ardisela dan Pesantrennya

Dawuan Sela adalah tempat di mana Kiai Ardisela membuka pesantren untuk pertama kalinya.Para santri tak hanya datang dari Desa sekitarnya saja,tetapi dari berbagai macam daerah.Orang-orangbdari keluarga keraton di Cirebon juga tak sedikit yang berguru padanya.

Tak hanya belajar ilmu agama yang menjadi daya tarik bagi para santri yang hendak belajar di pesantren Kiai Ardisela ini.Daya tarik lainnya tentu saja ilmu kanuragan yang diajarkan oleh Kiai Ardisela kepada murid-muridnya disela-sela mereka belajar aneka ilmu agama.Saat itu ilmu kanuragan memang menjadi sesuatu yang sepertinya wajib dimiliki oleh setiap orang,t erutama yang laki-laki.

Semakin hari pesantren yang didirikan oleh Kiai Ardisela ini semakin ramai oleh para santri.Nama Kiai Ardiselapun semakin dikenal luas oleh banyak orang.Tak hanya keilmuan agamanya saja yang dikenal,tapi juga kesaktiannya sudah bukan menjadi  rahasia lagi.Di pesantrennya inilah beliau menempa santri dari semua kalangan agar menjadi seorang ulama,pejabat keraton,pejuang yang tangguh,dan lain sebagainya.

Kiai Ardisela tak hanya berdakwah dan mengajar di pesantrennya saja,tapi beliau juga berdakwah di desa-desa sekitarnya juga.Hal  inilah yang membuatnya semakin dekat dengan masyarakat.Menurut beberapa sumber,Kiai Ardisela tak hanya membuka pesantren di daerah Dawuan Sela saja,tetapi juga di tempat lainnya.Pesantren-pesantren tersebut dibuka saat beliau bersembunyi karena dikejar-kejar oleh serdadu penjajah Belanda untuk ditangkap.

Pesantren-pesantren yang didirikan oleh Kiai Ardisela tidak pernah berumur lama,karena pihak penjajah Belanda tak pernah suka dengan keberadaanya dan selalu saja mencari cara untuk menutup atau menghancurkannya.Pesantren Kiai Ardisela memang sudah tidak ada,tapi pesantren-pesantren yang didirikan oleh anak cucu atau muridnya hingga kini masih banyak berdiri dan tersebar di Nusantara.

Minggu, 17 September 2017

Kiai Ardisela (5)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (5)

Asal Mula Nama Kiai Ardisela

Kiai Ardisela bukanlah nama asli,melainkan nama julukan.Namun sayang,hingga kini nama aslinya tidak diketahui,bahkan oleh para keturunannya sendiri.Nama Kiai Ardisela ini bermula dari sebuah kejadian,di mana saat itu di Dawuan Sela tempatnya menetap ada sebuah prosesi pemakaman.Kiai Ardisela yang sedang memimpin prosesi pemakaman tersebut memerintahkan kepada santrinya untuk membuat lubang yang digunakan untuk mengubur jenazah.Setelah jenazah di kubur,di atasnya diberi batu sebagai penanda bila ada makam di bawahnya.

Suatu hari Kiai Ardisela sedang diburu oleh penjajah Belanda dan antek-anteknya.Karena tahu dirinya sedang diburu,Kiai Ardisela pun membuat rencana agar tak tertangkap oleh pihak musuh.Prosesi pemakaman yang telah dilakukannya beberapa waktu lalu membuahkan ide di benaknya.Beliaupun akhirnya membuat lubang berbentuk dengan ukuran dua kali satu setengah meter.Lubang tersebut digunakannya untuk mengelabui orang-orang yang sedang mengejarnya.

Setelah jadi Kiai Ardisela masuk ke dalam lubang tersebut.Di dalam lubang itu beliau memasukkan sebuah batu untuk tempat duduknya.Beliaupun segera memerintahkan para santrinya untuk menutup lubang tersebut sebelum pihak musuh mengetahuinya.Agar beliau tetap bisa bernafas,lubang tersebut diberi bambu untuk jalannya udara.

Ketika pihak penjajah Belanda datang,mereka tidak menemukan Kiai Ardisela.Semua penjuru tempat mereka periksa dengan seksama,namun tak juga diketemukan keberadaannya.Yang mereka temukan hanya gundukan tanah seperti kuburan yang tentu saja tidak dihiraukan oleh mereka.Para serdadu itu mengira jika gundukan tanah tersebut adalah kuburan dan mereka kembali dengan tangan hampa.

Dari kedua kejadian tersebut,Kiai Ardisela selalu saja berhubungan dengan tanah dan batu.Dari sinilah nama beliau berasal.Ardhi atau Ardi berarti bumi dalam Bahasa Arab,dan Sela yang berarti batu dalam bahasa Cirebon atau Jawa tempo dulu.Sejak saat itu para santri dan masyarakat sekitar selalu memanggilnya Kiai Ardisela.

Sabtu, 16 September 2017

Raden Rustam Mencari Jati Diri

Mbah Rasen Ardisela (5)

Masa kecil Raden Rustam atau Mbah Raden Ardisela dilalui seperti masa kecil anak-anak keturunan keraton lainnya pada masa  itu.Hari-harinya dilalui dengan bermain dan belajar,baik di lingkungan keluarga,lingkungan keraton (kademangan) maupun di lingkungan pengajian atau perguruan Islam.Menurut beberapa sumber,Raden Rustam kecil ini termasuk anak yang nakal dan suka protes atau memberontak jika ada sesuatu hal yang tidak berkenan di hatinya.

Saat menginjak remaja kenakalan Raden Rustam semakin bertambah dengan kebiasaannya yang suka melawan atau protes terhadap apa-apa yang tidak disukainya.Para orang tua yang biasa mendidik anak-anaknya untuk menjaga sopan santun dan tidak suka protes menilai kelakuan Raden Rustam ini sebagai kelakuan anak yang benar-benar nakal dan tidak menghormati orangtua.Lebih-lebih di masa itu.Hal ini tentu saja membuat Raden Demang Bratanata ayahnya dan juga ibunya semakin bingung dibuatnya.Kedua orangtuanya ini menjadi sedih dan marah dibuatnya.

Semakin lama semakin banyak saja hal yang menjadi suatu masalah dan menimbulkan perselisihan dengan orangtuanya,terutama sang ayah.Hal ini akhirnya membuat Raden Rustam berfikir mengapa berlaku seperti itu, yang seringkali membuat kedua orangtuanya menjadi marah dan malu karenanya.Beliau ingin merubah diri,tapi entah harus dimulai dari mana.

Karena banyak hal yang membuatnya tidak nyaman berada di kediamannya,Raden Rustampun kemudian memutuskan untuk keluar dari kediaman ayahnya.Beliau memutuskan untuk mengembara,pergi dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari jati diri dan mengetahui tujuan dan hakekat kehidupan.Keputusan ini dengan berat hati diterima oleh kedua orangtuanya,semua demi kebaikan Raden Rustam.

Dalam pengembaraannya itu banyak orang yang Raden Rustam  datangi untuk belajar aneka ilmu.Berbagai daerah,baik itu daerah yang sudah ramai ataupun masih sepi tak lupa beliau kunjungi.Jika daerah yang dihuni oleh orang,biasanya karena beliau berguru pada seorang ulama atau orang pintar lainnya.Bila daerah yang tidak berpenghuni biasanya beliau datangi untuk beruzlah atau mengasingkan diri.Pengembaraan itu beliau lakukan hingga bertahun-tahun lamanya,hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang semakin dewasa dalam hal usia maupun dalam hal pemikiran.

Setelah pencarian jati diri yang berlangsung lama dengan aneka suka dan dukanya tersebut,di kemudian hari Raden Rustam akhirnya berubah menjadi seorang yang baik,gagah berani,dan penuh tanggung jawab.Pengembaraan itu telah membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.Hal ini tentu saja membuat kedua orangtuanya menjadi senang.Perubahan yang sangat besar dalam kehidupan Raden Rustam telah membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik.Bahkan,di kemudian hari beliau dikenal sebagai seorang pemimpin wilayah dan pejuang yang disegani.

Kiai Ardisela (4)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (4)

Kiai Ardisela dan Dawuan Sela

Suatu hari Kiai Ardisela yang merupakan seorang ulama keraton ini pergi dari Cirebon ke arah timur.Beliau pergi dari Keraton karena merasa tidak cocok lagi dengan keadaan keraton.Pada saat itu keraton sudah tak sesuai lagi dengan aneka hukum Islam dan tradisi baru yang berkembang di keraton juga semakin jauh dari nilai-nilai keislaman.

Penjajah Belanda memang semakin menancapkan kukunya di lingkungan keraton dan membuat para keluarga keraton tak betah dibuatnya.Para ulama atau kiai juga banyak yang dibuat tidak kerasan berada di lingkungan keraton,terutama para ulama yang sangat menentang keberadaan penjajah Belanda di Cirebon.Salah satu ulama yang begitu membenci penjajah Belanda tersebut adalah Kiai Ardisela.

Kepergian Kiai Ardisela dari lingkungan keraton ini sangat disayangkan oleh berbagai pihak,tapi Kiai Ardisela tetap bertahan pada pendiriannya untuk meninggalkan Keraton.Ketika sampai di sebuah daerah yang tidak terlalu jauh dari Desa  Kanci,beliau berhenti untuk melaksanakan sholat.Karena air sungai tidak terlalu banyak,maka beliau membuat sebuah bendungan kecil dari bebatuan untuk mengumpulkan air untuk berwudu.Di kemudian hari tempat tersebut dikenal dengan nama Dawuan Sela yang berarti bendungan batu.Selain cerita di atas,sebagian orang ada yang meyakini jika nama Dawuan sudah ada sejak dulu,sementara Kiai Ardisela hanya singgah saja.Semenjak kedatangan Kiai Ardisela itulah maka di akhir kata nama Dawuan ditambahkan nama Sela,hingga akhirnya bernama Dawuan Sela.

Karena merasa cocok dengan tempat tersebut,akhirnya Kiai Ardisela memutuskan untuk tinggal dan membuka sebuah padepokan atau pesantren.Di pesantren ini beliau tidak hanya berniat untuk menjauh dari keraton,tapi juga berniat untuk mengabdikan dirinya untuk mengajarkan bermacam ilmu agama.Selain untuk belajar ilmu agama,beliau juga mengajarkan ilmu kanuragan.Hal ini beliau lakukan guna mempersiapkan para santri yang tangguh dan siap untuk melakukan perjuangan dalam membela negeri.

Pesantren Kiai Ardisela ini diperuntukkan untuk siapa saja dan menerima semua santri dari berbagai macam kalangan.Walau tak lagi menjadi ulama keraton,para pemuda keturunan keraton tetap banyak yang belajar padanya.

Kiai Ardisela (2l

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (2)

Keluarga dan Keturunan Kiai Ardisela

Kiai Ardisela diketahui menikah dengan Nyai Alfan Putri dari Kiai Abdul Hadi dan Nyai Anjasmara.Nyai Alfan sendiri  tak lain adalah adik bungsu Mbah Muqoyim,jadi hubungan antara Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim adalah hubungan kakak dan adik ipar.Dari perkawinan ini Kiai Ardisela dan Nyai Alfan dikaruniai dua orang anak,yaitu Kiai Muhamad Imam dan Nyai Kapiun (Khafiun).

Kiai Muhamad Imam tidak diketahui menikah dengan siapa,tetapi dalam sebuah catatan silsilah ditulis jika beliau mempunyai putra yang bernama Kiai Jalalen (Jaelan).Kiai Jaelan menikah dengan dua orang istri yang bernama Nyai Asiyah (cucu Mbah Muqoyim) dan Nyai Sarpiah.Di kemudian hari,dari pernikahan keduanya dengan Nyai Sarpiah ini beliau dikaruniai empat orang anak laki-laki yaitu Kyai Anwarudin (Kiai Kriyan),Kiai Kilir,Kiai Abror dan Kiai Muntahar.

Putri Kiai Ardisela yang bernama Nyai Kapiun menikah dengan Kiai Mas Khanafi Jaha atau yang lebih dikenal dengan nama Buyut Jaha.Buyut Jaha dan Nyai Kapiun dikaruniai beberapa anak yang seorang laki-laki dan toga orang perempuan,yaitu Kiai Idris,Nyai Latifah,Nyai Qonaah,dan Nyai ....Keturunan keduanya ini banyak juga yang terdapat di pesantren-pesantren,seperti Pesantren Buntet,Benda Kerep,Pemijen Asem,Dongkol,Gedongan dan beberapa pesantren lainnya.

Anak cucu Kiai Ardisela banyak yang melanjutkan kiprahnya dalam berdakwah dan berjuang.Di kemudian hari banyak dari keturunannya yang menjadi ulama dan mendirikan pesantren.Salah satu keturunan Kiai Ardisela yang paling dikenal dan makamnya banyak diziarahi oleh banyak orang adalah Kiai Anwarudin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Krian.Julukan Krian ini disematkan padanya karena beliau dianggap sebagai wali Karian atau wali belakangan.

Kia Ardisela yang seusia dengan Mbah Muqoyim mempunyai anak yang sebagian usianya tidak terlalu berjauhan dengan anak-anak Mbah Muqoyim.Di kemudian hari anak cucu Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim ada yang menikah,seperti antara Kiai Jaelan dan Nyai Ratu Asiyah.Selanjutnya keturunan Kiai Ardisela banyak yang menikah dengan keturunan Mbah Muqoyim,yang sebagian besar di antaranya banyak yang melanjutkan jejak keduanya.

Selain di pesantren-pesantren,tak sedikit pula keturunan Kiai Ardisela yang tinggal di luar pesantren namun tetap melanjutkan jejak beliau dengan ikut berdakwah dengan cara membuka musholla atau tajug dan membuka pengajian-pengajian yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

* Untuk keturunan Kiai Ardisela,terutama yang berada di Tuk Karangsuwung sebagian ada yang merupakan keturunan Kiai Ardisela dan juga Mbah Raden Ardisela,dua orang berbeda dengan nama Ardisela yang sering dikira satu orang yang sama.Karena ketidaktahuan inilah yang pada akhirnya banyak menimbulkan kesalahpahaman di antara keturunan keduanya.Selain itu,karena ketidaktahuan ini akhirnya juga menimbulkan kesimpangsiuran mengenai kisah hidup dan perjuangan Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela.

Kiai Ardisela (3)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (3)

Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim Dalam Perang Aceh

Kiai Ardisela muda dikenal sebagai seorang pemberani.Sejak muda beliau selalu melakukan hal-hal positif yang bermanfaat dan dilakukan tak hanya untuk dirinya sendiri,melainkan untuk orang banyak.Masa muda Kiai Ardisela sudah banyak terlibat dengan perjuangan bersama Mbah Muqoyim.Tak ada yang tahu mana yang lebih dulu yang membuatnya menjadi begitu dekat dengan Mbah Muqoyim,apakah persahabatannya terlebih dulu,ataukah perkawinannya dengan adik Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Alfan.

Salah satu kisah yang menceritakan kedekatan keduanya adalah saat Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim masih muda pergi ke Aceh.Saat itu mereka berdua pergi ke Aceh untuk membantu perjuangan rakyat Aceh yang sedang berjuang melawan penjajah Belanda.Aceh sendiri bukanlah daerah yang asing bagi sebagian orang Cirebon saat itu,termasuk bagi Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim.Hal ini disebabkan karena hubungan antara keraton-keraton di Cirebon dan Aceh memang sudah terjalin keakraban sejak lama,sejak awal Cirebon berdiri.

Aceh yang saat itu sedang dilanda peperangan melawan penjajah Belanda membutuhkan banyak pejuang,khususnya para pemuda untuk melawan para penjajah.Walau berbeda kerajaan,banyak juga rakyat dari kerajaan lain dan datang dan ingin membantu rakyat Aceh saat itu,termasuk kedua sahabat ini.Hal ini didasari oleh kesamaan misi dalam membebaskan Nusantara dari penjajahan Belanda.

Keberadaan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim di Aceh ini tidak diketahui secara pasti tahunnya dan berapa lama waktunya.Namun menurut sebuah sumber,Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim ikut berjuang di Aceh dalam waktu yang lama.Ketika hendak pulang,keduanya sempat diberi kenang-kenangan oleh masyarakat Aceh berupa senjata khas daerah tersebut,yaitu rencong.

Jumat, 15 September 2017

Kiai Ardisela (1)

Kiai Ardisela,Guru Para ' Laskar Ardisela' (1)

Kiai Ardisela,Sang Ulama Dan Pejuang

Kiai Ardisela adalah seorang ulama tasawuf yang tidak suka dengan hingar-bingar kehidupan duniawi.Beliau adalah seorang yang sangat dihormati dan juga disegani,baik oleh kalangan masyarakat umum,masyarakat pesantren,maupun juga oleh kalangan masyarakat dari keraton-karaton di Cirebon.Hal ini karena didasari oleh ilmunya yang sangat mumpuni,keperduliannya pada pendidikan masyarakat,juga karena kerendahan hatinya terhadap siapa saja.

Selain dikenal sebagai seorang ulama tasawuf,Kiai Ardisela adalah seorang guru silat yang mempunyai ilmu Kanuragan yang cukup tinggi.Oleh karena itu,setiap santri yang belajar padanya tidak hanya diajari ilmu agama,tapi juga ilmu Kanuragan yang sangat berguna untuk membela diri juga membela negeri.Hal inilah yang pada akhirnya membuat pihak penjajah Belanda menjadi khawatir dibuatnya,lebih-lebih lagi karena banyak para pemuda keraton yang belajar padanya,yang di kemudian hari banyak yang menentang dan melawan penjajahan Belanda.

Kiai Ardisela adalah teman seperjuangan sekaligus adik ipar Mbah Muqoyim,karena beliau menikah dengan adik bungsu Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Alfan.Dari perkawinan ini Kiai Ardisela mempunyai dua orang anak,yaitu Kiai Muhamad Imam dan Nyai Kapiun (Khafiun).Kiai Imam di kemudian hari mempunyai anak Kiai Jalalen,dan Kiai Jalalen mempunyai anak yang salah satunya bernama Kiai Anwarudin atau Kiai Kriyan.Nyi Kapiun sendiri menikah dengan Kiai Mas Khanafi atau Buyut Jaha Sampiran.Dari kedua anaknya inilah yang di kemudian hari banyak melahirkan ulama-ulama yang meneruskan perjuangan Kiai Ardisela dalam mengembangkan ajaran agama Islam.

Siapa Kiai Ardsela ini sebenarnya?,banyak orang yang tahu cerita dan riwayat Kiai Ardisela namun tak tahu pasti siapa dan dari mana asalnya.Di sebuah catatan silsilah yang dipegang seorang kiai hanya tercatat nama anak dan keturunannya,namun tidak tercatat siapa nama ayah dan ibunya.Di catatan tersebut tertulis jika Kiai Ardisela merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga.Dari Junti Indramayu ada yang menjelaskan jika Kiai Ardisela adalah sepupu Mbah Muqoyim.Dijelaskan bila ada dua orang Pangeran dari Keraton Kanoman yang menikahi dua wanita asal Lrangkeng Indramayu.Satu Pangeran menikah dengan Nyai Anjasmara atau Anjasmoro,yang di kemudian hari melahirkan Mbah Muqoyim,Mbah Yahya,Mbah Ismail,dan Nyai Alfan.Sementara pangeran yang satunya lagi menikah dengan seorang wanita yang di kemudian hari melahirkan Kiai Ardisela.

Keturunan Kiai Ardisela juga sebagian besar tidak tahu silsilah ke atasnya.Yang jelas beliau ini bukan Mbah Raden Ardisela yang makamnya ada di Tuk Karangsuwung,karena beliau lebih tua dan masa hidupnya lebih dulu dibandingkan Mbah Raden Ardisela Tuk yang mempunyai nama lain Raden Rustam.Kiai Ardisela merupakan guru dari Mbah Raden Ardisela Tuk,dan juga guru dari orang-orang dengan nama atau julukan Ardisela yang hidup semasa dengannya.

Masa hidup Kiai Ardisela ini banyak beliau habiskan untuk mengajarkan ajaran agama Islam dan juga berjuang melawan penjajah Belanda.Selain dikenal sebagai ulama,Kiai Ardisela juga dikenal sebagai seorang pejuang yang gigih dalam melawan penjajah Belanda.Berkat didikannya banyak sekali ulama dan pejuang yang gagah dan gigih dalam membela agama dan bangsa.