Senin, 27 Juni 2016

Djunaedi Oh Djunaedi

Djunaedi Oh Djunaedi

Tahun 2012 ayah saya yang bernama Djunaedi meninggal dunia dengan tenang karena sakit.Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di rumah kakak saya yang bernama Siti Maesaroh.

Ketika tulisan ini ditulis,beliau sudah meninggalkan dunia ini selama empat tahun,karena sekarang adalah tahun 2016.Sudah lama tapi tak terasa,seperti baru kemarin saja.

Empat tahun bukanlah waktu yang cepat,tapi juga belum terlalu lama.Tapi semenjak kepergiannya hingga saat ini,masih saja ada orang yang nyasar ke rumah mencari nama Djunaedi.Maksudnya Djunaedi yang lain,datangnya ke rumah ayah saya.

Beberapa bulan lalu ada tukang pos nyasar ke rumah,dan sekarang ada lagi yang nyasar.Yang dituju adalah Djunaedi tetangga kami yang kebetulan adalah guru,sama seperti profesi ayah saya.Saya sempat dibikin bingung jadinya,ketika tukang pos itu memberikan sepucuk surat untuk Djunaedi tanpa embel-embel nama lainnya.

Surat?,oh my God,alamrhum ayah saya mendapat surat.Dengan seksama saya periksa surat tersebut.Surat dari Taspen!,ayah saya yang sudah meninggal beberapa tahun itu dapat surat dari instansi pemerintah hingga membuat saya bertanya-tanya.Benarkah surat ini untuk ayah saya?.

Karena tidak yakin bila surat itu untuk ayah saya,akhirnya saya serahkan kembali surat itu ke tukang posnya.Tukang pos menjadi heran dan bingung.Akhirnya dia membuka surat tersebut dan meminta saya untuk membacanya.Di dalam surat itu tertulis masalah biaya anak yang biasa didapat oleh anak pegawai negri.Tapi anak-anak ayah saya sudah tua alias sudah tuwir semua.yang nulis blog ini saja sudah berumur 40 tahun.

Tiba-tiba saya kembali teringat bila di desa saya,Desa Tuk Karangsuwung itu ada Djunaedi lain yang berprofesi sebagai guru juga,ya,dia adalah Pak Djunaedi.Pak Junaedi yang satu ini lebih dikenal dengan sebutan Pak Edi.Akhirnya saya anweitahukan ke tukang pos itu kalau yang beliau maksud itu bulan Djunaedi ayah saya,tapi Djunaedi yang lain.

Djunaedi Oh Djunaedi,kenapa di desa saya ini begitu banyak orang yang bernama Djunaedi?.Gara-gara kejadian ini saya jadi teringat pada ayah saya,Djunaedi yang sudah lama meninggalkan kami anak-anak nya.

Minggu, 26 Juni 2016

Mbah Raden Ardisela (25)

Nama-Nama Samaran Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela yang berjuang melawan penjajah Belanda,seringkali berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya,baik yang berada di sekitar Cirebon,Kuningan,Majalengka atau Indramayu.
saat berjuang melawan penjajah dan agar pihak penjajah tak mudah melacak keberadaannya,seringkali Mbah Raden Ardisela menggunakan nama samaran atau nama palsu.Dengan nama palsu ini Mbah Raden Ardisela berhasil mengecoh penjajah Belanda.Para telik sandi atau mata-mata penjajahpun akan kesulitan mengenalinya,karena beliau mempunyai beberapa nama dan hanya para anggota keluarga dan para pengikutnya saja yang tahu tentang nama-nama Mbah Raden Ardisela tersebut.

Ada yang berpendapat bila nama Mbah Ardisela sendiri bukan Ardisela,melainkan Rustam.Pada akhirnya nama beliau lebih dikenal dengan sebutan Ardisela karena beliau pernah mengasingkan diri untuk bertafakur dan mendekatkan diri pada Allah swt.Saat itu beliau banyak duduk di sebuah batu yang dekat dengan tanah.Dari sinilah nama Mbah Raden Ardisela berasal yang hingga dikenal oleh anak cucu,keturunan dan masyarakat pada umumnya.
Selain Rustam dan Ardisela,nama lain yang sering beliau gunakan dalam rangka penyamarannya saat berjuang melawan penjajah  antara lain adalah Atmo,Atma dan Asnawi.

Jumat, 17 Juni 2016

Wisata Bogor Barat

Wisata Bogor Barat

Ternyata Kabupaten Bogor khususnya Bogor Barat itu banyak menyimpan aneka obyek wisata,mulai wisata alam,wisata budaya hingga wisata sejarah.Sayangnya belum banyak orang yang mengetahui aneka obyek wisata tersebut dan masih kalah pamor bila sibandingkan dengan obyek wisata lainnya.Hal ini dikarenakan masih kurangnya promosi dan belum maksimalnya pengelolaan aneka obyek wisata tersebut.

Aneka obyek wisata alam banyak terdapat di Bogor bagian barat ini,seperti situ atau danau yang terdapat di beberapa kecamatan,beberpa sungai sungai yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk arung jeram atau sekedar bermain air,curug atau air terjun,pemandangan gunung yang begitu indah,Gua Gudawang yang menawan dan lain sebagainya.

Selain obyek wisata alam,salah satu obyek wisata yang tak boleh dilupakan adalah obyek wisata sejarah.Di obyek wisata sejarah tersebut banyak terdapat benda-benda atau tempat peninggalan bersejarah mulai zaman pra sejarah hingga zaman kemerdekaan Indonesia.Benar-benar tempat wisata yang menawarkan obyek wisata yang sangat beragam.

Di Bogor Barat tepatnya di Kecamatan Cibungbulang ada situs prasasti batu bertulis yang lebih dikenal dengan nama situs Prasasti Ciaruteun dan Kebon Kopi.Kedua situs bersejarah tersebut merupakan peninggalan kerajaan Tarumanegara yang sudah berusia ratusan tahun.

Di kawasan  Pasir Angin ada Museum dan Situs Pasir Angin yang berisi koleksi benda-benda peninggalan bersejarah mulai dari  zaman batu.Walau bangunan museumnya sederhana atau tidak sebesar dan semegah museum lainnya yang ada di Indonesia,museum Pasir Angin juga pantas untuk dikunjungi.

Bagi yang suka wisata budaya ada Kampung Urug,yaitu sebuah perkampungan tua yang dihuni oleh Suku Sunda yang mengaku masih keturunan Prabu Siliwangi.Di kampung ini sangat kental dengan kehidupan masyarakat perkampungan tempo dulu yang masih mempertahankan adat dan tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.Di sini masih terdapat aneka bangunan tua khas Sunda yang terbuat dari kayu dan bambu,yang sangat indah dan unik.

Bagi yang suka berwisata,tak ada salahnya bila sekali-kali berkunjung ke kawasan Bogor Barat yang tidak terlalu macet seperti kawasan Puncak Pass atau Kota Bogor yang selalu penuh sesak oleh aneka kendaraan,namun tetap menawarkan aneka obyek wisata yang layak untuk dikunjungi.

Sungai Cidurian dengan latar belakang pegunungan


Salah satu sudut di komplek Gua Gudawang

Sabtu, 04 Juni 2016

Sejarah Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela (1)

Siapakah sebenarnya sosok Mbah Raden Ardisela yang makamnya ada di desa Tuk Karangsuwung Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon ini?.Sering kali orang banyak yang salah kaprah terhadap nama beliau ini.Semua karena sejarah hidupnya tidak tertulis dan hanya disampaikan secara tutur tinular atau dari mulut ke mulut saja.Untuk itulah melalui serangkaian tulisan yang dihimpun dalam catatan Sejarah Mbah Raden Ardisela atau Pangeran Ardisela ini penulis ingin menulis ulang kisahnya,agar tidak lagi terjadi kesimpangsiuran akibat cerita dari mulut ke mulut yang kadang berubah-ubah sesuai daya ingat penutur dan pendengarnya.

Nama dan sosok Mbah Raden Ardisela ini benar-benar menyimpan banyak misteri.Jangankan orang lain,anak keturunanya sendiri tak semuanya tahu tentang siapa beliau sebenarnya.Hal ini terjadi karena Mbah Raden Ardisela bukan nama sebenarnya,dan keberadaannya sangat dirahasiakan sekali selama masa penjajahan.Hal ini terkait dengan kiprahnya sebagai seorang pemimpin wilayah,pejuang dan juga ulama.

Ada yang mengatakan bila nama beliau sebenarnya adalah Raden Rustam dan nama Ardisela adalah nama julukan setelah beliau melalui serangkaian pengembaraan dan perjuangan.Tapi ada juga yang mengatakan bila nama beliau sebenarnya adalah Raden Ardisela.Sebagian besar keturunan Mbah Raden Ardisela mengatakan bila nama asli beliau memang Raden Rustam,sementara Ardisela adalah nama gelar dan juga nama saat berjuang.Sementara nama yang tercantum di keraton bukan nama Raden Rustam atau Raden Ardisela.Ardisela sendiri adalah nama yang paling dikenal di antara nama-nama beliau.Nama Ardisela ini merupakan nama yang digunakan oleh Raden Rustam setelah beliau mengasingkan diri ke Gunung Ciremai.Ketika dicari di Keraton Kasepuhan,nama Mbah Raden Ardisela sendiri tidak diketemukan dalam catatan atau arsip keraton.Tapi beberapa kisah banyak yang mencatat namanya.Hal ini terjadi karena nama di Keraton jelas berbeda dengan nama waktu kecil,nama waktu remaja,nama di catatan staat Keraton Kasepuhan,dan nama perjuangan.

Raden Rustam atau Raden Ardisela,yang jelas beliau ini hidup beberapa abad setelah era Sunan Gunung Jati yang merupakan leluhurnya.Beliau adalah keturunan dari Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu ke 2 dari anaknya yang bernama Pangeran Alas Ardisela.Bila dirunut hingga ke Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah,Mbah Raden Ardisela adalah keturunan ke 11,dan bila dirunut hingga ke Panembahan Girilaya,maka beliau adalah keturunan ke 7.Jadi jelaslah bila Mbah Raden Ardisela adalah keturunan dari Sunan Gunung Jati tapi sudah jauh dari masa hidup Sultan Cirebon yang dikenal sebagai anggota Walisongo tersebut.Diperkirakan beliau hidup di akhir tahun 1700 an M hingga awal 1800 an M.

Beberapa tulisan di sini mencoba membahas kehidupan Mbah Raden Ardisela,keluarga dan teman-temannya,keturunannya,kisah hidup dan  perjuangannya,dan tulisan-tulisan lain yang masih erat kaitannya dengan Mbah Raden Ardisela,baik semasa beliau hidup ataupun sesudah tiada.Semua terangkum dalam tulisan Sejarah Mbah Raden Ardisela,di mana tulisan-tulisan tersebut berasal dari berbagai sumber,baik dari cerita para orang tua (sumber lisan),atau juga melalui beberapa tulisan yang menceritakan tentang keberadaan beliau tersebut (sumber tertulis),makam,hingga benda-benda peninggalannya.

Perbedaan pendapat pasti akan timbul setelah tulisan ini ditulis,karena hal itu pulalah yang banyak ditemui oleh penulis selama penelitian hingga penulisan kisah Mbah Raden Ardisela ini.Yang terpenting adalah kedewasaan sikap bagi segenap pembaca,terutama untuk anak keturunannya dan anak-anak keturunan orang-orang yang berada di sekitarnya.Karena sejatinya nama Ardisela adalah sebuah misteri yang sengaja atau tidak sengaja selalu ditutup-tutupi oleh banyak orang,terutama oleh orang-orang yang merasa terganggu akan kelangsungan kepentingannya,yang sudah merasa aman dan nyaman selama kurun waktu yang lama.

Penulis hanya berharap tulisan-tulisan ini akan membawa kebaikan khususnya untuk segenap anak cucunya,dan juga tentu saja untuk para pembaca pada umumnya.

Mbah Raden Ardisela (7)

Mbah Raden Ardisela dan Desa Karangsuwung

Sekitar abad 18 M,tepatnya sekitar tahun tahun 1790 an M,Raden Rustam yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Mbah Raden Ardisela berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya.Hal seperti ini memang lumrah dan banyak dilakukan oleh keluarga keturunan Keraton Cirebon pada waktu itu,termasuk juga oleh ayah dan kakek buyut Mbah Raden Ardisela.Selain untuk mendapatkan pengalaman juga sekaligus untuk membuka pedukuhan atau perkampungan baru.

Semula Mbah Raden Ardisela pergi ke arah Gunung Ciremai di Kuningan.Beberapa lama beliau tinggal di sebuah tempat di kota yang dulu masuk wilayah Kesultanan Cirebon ini.Di Gunung Ciremai ini beliau mengasingkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.Saat di Gunung Ciremai ini beliau selalu duduk di atas sebuah batu di atas tanah sambil berdzikir,berdoa dan tafakur.Dari sinilah nama beliau berasal, yaitu Ardi yang berarti tanah atau bumi dan Sela yang berarti batu.Setelah melakukan serangkaian pengembaraan dan menetap di beberapa tempat,beliau akhirnya mendapatkan petunjuk untuk berpindah ke tempat lainnya yang masih kosong yang berada di Cirebon bagian timur.

Akhirnya beliau meninggalkan Kuningan dan kembali ke  Cirebon.Beliau lanjutkan perjalanan ke arah timur Cirebon hingga akhirnya sampai di sebuah tempat (karang) yang masih sunyi dan angker (suwung).Dari sinilah asal mula nama Desa Karangsuwung yang sekarang ini berada di wilayah Kecamatan Karang Sembung Kabupaten Cirebon.
Di Karangsuwung ini akhirnya Mbah Raden Ardisela membuka perkampungan baru dan menetap di sini.Lama kelamaan semakin banyak orang yang datang ke tempat ini dan Karangsuwung pun semakin ramai.Beliau sendiri akhirnya lebih memilih tempat baru di kawasan barat Karangsuwung yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Desa Tuk Karangsuwung.Di desa Tuk Karangsuwung ini Mbah Raden Ardisela hidup bersama istrinya yang bernama Nyai Maemunah (Nyai Muntreng),dan juga kedua anak perempuannya yang bernama Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.

Hingga akhir hayatnya Mbah Raden Ardisela tinggal di Desa Tuk Karangsuwung dan dimakamkan di desa ini,di pemakaman yang lebih dikenal dengan sebutan pemakaman Mbah Raden Ardisela.

Karena yang pertama kali membuka kedua wilayah tersebut,maka di kemudian hari Mbah Raden Ardisela dikenal sebagai seorang pendiri Desa Karangsuwung dan Tuk Karangsuwung.