Jumat, 01 Desember 2017

Guru Culun Dan 'Beskap' Fenomenal

Guru Culun Dan 'Beskap' Fenomenal

Ayah saya itu ingin sekali agar saya bisa meneruskan jejaknya untuk aktif di Keraton Kasepuhan.Katanya sebagai tanda hormat kepada leluhur yang sudah susah payah berjuang mendirikan Keraton beserta segala peraturannya.Sudah sejak lama beliau memintanya pada saya,sementara saya sendiri selalu tidak mau memenuhi permintaannya.Mana mungkin mau,sayakan paling males tampil di depan orang,walau hanya sekedar numpang lewat sekalipun,karena rasanya tidak nyaman sekali.

Semenjak kepergiannya dan semakin bertambahnya usia saya,ternyata rasa ingin memenuhi keinginan ayahpun semakin tumbuh.Tapi setelah dipikir-pikir,ujung-ujungnya saya merasa tak mungkin juga.Kenapa?,karena beliau seorang ulama sementara saya bukan.Ya,walau dulu kakek buyut dari jalur laki-laki kami adalah demang atau pejabat Kesultanan Cirebon lainnya,namun karena kakek buyut dari jalur perempuan kebanyakan adalah  ulama,maka budaya yang berbau Islam atau pesantrenpun menjadi lebih kental mewarnai hari-hari di lingkungan keluarga kami.Hingga ketika aktif di Keraton Kasepuhan pun,ayah saya memilih berada di kelompok ulama,bersama paman-paman dan keluarga besar ibu saya yang memang kebanyakan ulama menjadi ulama Keraton Kasepuhan.

Maulid kali ini saya memutuskan untuk ikut upacara muludan di Keraton Kasepuhan.Agar tetap memakai jubah ayah,saya punya ide untuk membuat jubah ayah menjadi pakaian adat atau beskap ala kadarnya yang terbilang fenomenal.Dengan ide saya yang 'enggak banget'.Jubahnya saya potong bagian bawahnya,kemudian saya jahit tangan sebisanya.Hasilnya tidak bagus,tetapi saya beranikan diri untuk memakainya di malam pelal.Yang penting akhirnya saya sudah bisa melanjutkan keinginan ayah untuk turut serta meramaikan kegiatan di keraton Kasepuhan.Saya masih tetap bisa memakai jubah yang biasa dipakai oleh para ulama Keraton Cirebon.Tapi karena saya bukan ulama,jubah itu telah berubah menjadi beskap,sebuah 'beskap' yang fenomenal.

Ketika acara Malam Panjang Jimat atau pelal di Keraton Kasepuhan,saya memamaki 'beskap' fenomenal itu dengan perasaan was-was dan sedikit canggung.Maklum saja,karena 'beskap' fenomenal yang saya pakai ini benar-benar ala kadarnya dengan kekurangan di sana-sini.Kalau yang memperhatikan dengan seksama,maka akan melihat banyak sekali kekurangan beskap saya itu.Kekurang itu dimulai dari dari potongan kainnya yang tidak rata,jahitan tangan yang tidak rapih,dan bentuk yang tidak karuan.Tapi saya tetap melangkah dengan beskap ala kadarnya itu,toh acaranya malam,jadi kekurangannya tidak terlalu terlihat.Namanya juga guru culun,sekali culun ya tetap culun.

Guru Culun dengan 'beskap' fenomenalnya tak boleh berhenti di tengah jalan.Akhirnya walau dengan perasaan dag dig dug saya tetap  melangkah juga,meleati ribuan pasang mata.Saat tak di depan orang saya merasa lega dan santai saja,tapi saat di depan banyak orang perasaan khawatir itu semakin menjadi-jadi.Lebih-lebih saat banyak cahaya lampu yang menyorot atau cahaya lampu kamera yang siap mengabadikan 'beskap' fenomenal yang saya pakai ini.Tapi akhirnya deretan orang-orang itu bisa saya lewati.Entahlah,apakah mereka memperhatikan 'beskap' saya yang fenomenal atau tidak,yang penting acara sudah saya ikuti hingga selesai.

Selasa, 14 November 2017

Hubungan Kekerabatan Beberapa Pesantren di Cirebon

Hubungan Kekerabatan Beberapa Pesantren di Cirebon

Pesantren-pesantren di kawasan Cirebon memang mempunyai hubungan kekerabatan yang begitu erat.Setelah era Sunan Gunung Jati di tahun 1400 an hingga 1500 an,baru di era 1700 an hingga 1800 an jejak kekerabatan pesantren kembali terbentuk dan berlangsung hingga sekarang.Hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidup pesantren-pesantren yang tidak semuanya bertahan lama.Beberapa pesantren yang dulu pernah ada tidak semuanya masih berdiri dan bertahan hingga sekarang.

Tahun 1700 an hingga tahun 1800 an adalah tahun-tahun di mana pesantren-pesantren baru berdiri,sebagai tonggak kelangsungan pesantren-pesantren yang sudah ada sebelumnya.Keberadaan pesantren-pesantren ini,beberapa di antaranya masih bertahan dan bahkan berkembang dengan baik hingga sekarang.Dimulai dari Kiai Ardisela yang menikah dengan Nyai Alfan adik dari Mbah Muqoyim.Dari sini jejak langkah pesantren-pesantren di Cirebon khususnya di bagian timur Cirebon kembali bermula.Saat itu Kiai Ardisela membuka sebuah pesantren yang berada di Dawuan Sela,yang sekarang ini letak lokasinya berada tidak terlalu jauh dari Pesantren Buntet.

Jejak langkah Kiai Ardisela dalam mendirikan pesantren ini diikuti oleh Mbah Muqoyim kakak iparnya.Mbah Muqoyim yang memutuskan meninggalkan jabatan muftinya dan keluar dari Keraton Kanoman memilih menjadi ulama yang hidup di tengah-tengah masyarakat umum.Mbah Muqoyim akhirnya membuka Pesantren Buntet.Tak lama setelah ini dibuka juga Pesantren Pesawahan oleh adik Mbah Muqoyim dan kakak Nyai Alfan yang bernama Kiai Ismail.Setelah kembali dari pelariannya,Mbah Muqoyim juga mendirikan pesantren di Tuk,yang letaknya tak jauh dari makamnya sekarang.Di akhir tahun 1700 an hingga awal tahun 1800 an,keempat  pesantren inilah yang berdiri dan bertahan di tengah gempuran dan upaya penghancuran oleh tentara penjajah Belanda,dan penjajah dari bangsa lainnya.

Untuk nama Kiai Ardisela di sini jelas bukan merujuk nama Mbah Raden Ardisela yang makamnya ada di Tuk Karangsuwung.Karena walaupun sama-sama mempunyai nama Ardisela,kedua orang ini jelas berbeda.Kiai Ardisela murni sebagai seorang ulama yang mendirikan pesantren,sedangkan Mbah Raden Ardisela adalah seorang pemangku wilayah atau demang yang mempunyai kemampuan dalam bidang agama Islam,sehingga di kemudian hari banyak juga orang yang menganggapnya sebagai seorang pemimpin sekaligus ulama.

Setelah era Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Kiai Ismail selesai,era selanjutnya keberadaan pesantren diteruskan oleh keturunan ketiganya.Pesantren Kiai Ismail di Pesawahan diteruskan oleh anak keturunanya dan masih ada hingga sekarang.Pesantren Kiai Ardisela sudah tidak ada lagi sepeninggalnya,namun anak dan menantunya tetap turut melanjutkan jejaknya dalam dunia pesantren.Menantu laki-lakinya yang bernama Kiai Mas Khanafi atau Buyut Jaha di Desa Sampiran Kecamatan Talun Cirebon juga dikenal sebagai pendiri pesantren.

Sementara itu tak ada yang menceritakan atau mencatat siapa anak atau menantu yang meneruskan Pesantren Buntet sepeninggal Mbah Muqoyim.Pesantren Buntet kembali dikenal dan banyak didatangi oleh para santri setelah pesantren ini dipimpin oleh Mbah Muta'ad yang tak lain adalah suami dari cucu Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Ratu Aisyah binti Raden Muhammad (Suami Nyai Kholifah binti Mbah Muqoyim).Di bawah kepemimpinannya inilah keberadaan Pesantren Buntet berkembang pesat.Di saat yang bersamaan menantu Kiai Mas Khanafi yang bernama Kiai Takrifudin juga mendirikan pesantren baru yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Pemijen,di Desa Asem Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon.Sementara Pesantren Tuk dilanjutkan oleh menantu Mbah Muqoyim yang bernama Kiai Gozali.

Setelah era Mbah Muta'ad dan Kiai Takrifudin,pesantren baru yang berdiri selanjutnya adalah Pesantren Gedongan yang didirikan oleh menantu Mbah Muta'ad yang bernama Kiai Said.Hampir bersamaan dengan berdirinya Pesantren Gedongan,Pesantren Benda Kerep Kota Cirebon juga berdiri.Pesantren ini didirikan oleh Mbah Soleh bin Mbah Muta'ad yang tak lain adalah menantu dari Kiai Takrifudin.

Untuk nama Kiai Ardisela Byang murni seorang ulama di sini jelas bukan Mbah Raden Ardisela,karena walaupun Mbah Raden Ardisela ini dikenal sebagai seorang ulama,tapi tugas utama beliau adalah sebagai seorang pemangku wilayah alias demang.Hal inilah yang menyebabkan di Blok Muara Bengkeng,Tuk Karangsuwung tidak ditemukan adanya bekas pesantren yang berdiri di era tersebut.Adapaun pesantren yang berada di Tuk adalah Pesantren Tuk yang didirikan Mbah Muqoyim.Pesantren lainnya yang berdiri ada di kawasan Tuk Bubulak,Tuk Karangsuwung yang sekarang juga sudah tidak ada,diperkirakan berdiri sekitar akhir 1800 an hingga awal 1900 an,di era cucu atau cicit Mbah Raden Ardisela.Smentara pesantren baru yang didirikan oleh keluarga keturunan Mbah Raden Ardisela yang berdiri di Blok Muara bengkeng pada tahun 1970 an M hanya bertahan beberapa tahun saja.

Pesantren-pesantren tersebut satu sama lain saling berhubungan,baik karena adanya ikatan darah (keturunan),atau juga karena adanya ikatan perkawinan.Anak cucu dari Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim,Kiai Mas Khanafi Jaha,dan Mbah Raden Ardisela banyak yang mewarnai keberadaan pesantren-pesantren tersebut,terutama karena adanya ikatan perkawinan antar keturunan mereka berempat.

Sabtu, 11 November 2017

Nyai Masufroh Takrifudin

Nyai Masufroh Takrifudin

Nyai Sofroh atau Masufroh Takrifudin adalah anak dari Kiai Takrifudin pendiri Pesantren Pemijen Asem dan Nyai Latifah putri dari Kiai Mas Khanafi Jaha.Beliau adalah istri dari Kiai Raden Raksa bin Raden Rangga Nitipraja.
Kiai Takrifudin ayah Nyai Masufroh yang seorang ulama mendidiknya dengan aneka ilmu agama dan mengawasinya dengan ketat.Ditambah lagi didikan ibunya yang juga putri seorang ulama,menjadikan kehidupan Nyai Masufroh lebih agamis dibandingkan remaja putri lainnya.Sejak kecil hingga besar beliau juga dikenal sebagai wanita yang santun dan sholehah,dan juga faham dalam aneka ilmu agama Islam.

Nama kecil Nyai Masufroh adalah Nyai Sofroh dan dikenal juga dengan nama Nyai Masupra.Mas,nama depannya tersebut ada kaitannya dengan nama kakeknya,Kiai Mas Khanafi Jaha.Saat itu nama-nama keluarga besar Kiai Mas Khanafi Jaha memang banyak yang diawali dengan nama Mas,sebuah gelar yang berasal dari luar Cirebon.

Ketika menikah dengan Kiai Raden Raksa dan dikaruniai beberapa anak,Nyai Masufroh mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai agama Islam yang kental.Selama mendidik anak-anaknya,beliau sertai juga dengan aneka do'a dan puasa,yang dikalangan umat Islam atau di dunia pesantren lebih dikenal dengan nama riyadhoh.Kebiasaan baik yang ditularkan oleh ayah dan ibu serta kakek dan neneknya,memang telah membuatnya terbiasa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh keluarga besarnya tersebut.

Karena kebiasaannya yang suka melakukan aneka ritual keagamaan yang lebih dibandingkan masyarakat pada umumnya itu,Nyai Masufrohpun di kemudian hari dikenal sebagai seorang wanita dengan beberapa kelebihannya.Konon saat hidupnya beliau mempunyai sebuah sumur yang bisa mengobati aneka penyakit.Semua itu tak terlepas dari aneka dzikir,tirakat,dan do'a yang beliau panjatkan.Sayangmya setelah beliau meninggal dunia dan tanah di mana sumur itu berada sudah berpindah kepemilikannya,khasiat sumur itupun sudah tak ada lagi.Letak sumur itu sekarang ini tepat berada di depan pintu masuk sebuah mushola wanita yang ada di Blok Muara Bengkeng,Desa Tuk Karangsuwung,Kecamatan Lemahabang,Kabupaten Cirebon.

Penulisan Kisah Tentang Mbah Raden Ardisela

Penulisan Kisah Tentang Mbah Raden Ardisela

Semula tulisan tentang Mbah Raden Ardisela ini hanya ditulis untuk kepentingan keluarga saja.Penulis ingin keluarga besar penulis mengetahui kisah perjuangan Mbah Raden Ardisela dan juga leluhur lainnya,agar sedikit banyak mengetahui dan bisa meniru derap langkah perjuangan para pendahulunya.Ternyata banyak orang yang berminat membaca kisah atau sejarah tentang Mbah Raden Ardisela dan mengajukan aneka pertanyaan ke penulis.Karena animo pembaca pada aneka tulisan tentang Mbah Raden Ardisela ini,maka penulispun semakin giat menulis dan mencari aneka informasi mengenai beliau.

Memang,seiring perjalanan waktu banyak kesimpangsiuran yang terjadi mengenai kisah dan sosok Mbah Raden Ardisela ini.Bertolak dari hal ini akhirnya penulis mencoba untuk meneliti tentang kisah atau sejarah Mbah Raden Ardisela ini secara lebih mendalam lagi.Berbagai nara sumberpun penulis datangi dan wawancarai.Berbagai data baik itu lisan atau tulisan coba penulis kaji,baik itu data yang lama maupun yang lama tapi baru (salinan).Banyak sekali kendala yang penulis temui dalam rangka menulis kisah tentang Mbah Raden Ardisela ini.Karena ternyata selama ini rupanya tak sedikit orang yang mengambil keuntungan dari kesimpangsiuran tentang kisah Mbah Raden Ardisela ini.

Di antara hal yang membuat kesimpangsiuran kisah tentang Mbah Raden Ardisela tersebut adalah seperti adanya orang-orang yang mengaku sebagai keturunan langsung beliau padahal bukan,mengaku sebagai keturunan kakak atau adik Mbah Raden Ardisela,membuat silsilah palsu,aneka cerita yang sebenarnya tidak berhubungan dengan Mbah Raden Ardisela,dan lain sebagainya.Semula penulispun hampir terkecoh,karena mengira aneka informasi itu semuanya benar.Karena hal inilah yang membuat tulisan di blog ini beberapa kali mengalami perubahan dan ditulis ulang.Semua ini kembali ditulis ulang setelah melalui serangkaian penelitian dan analisa yang mendalam mengenai aneka informasi tersebut.

Tulisan tentang Sejarah Mbah Raden Ardisela ini memang sengaja ditulis secara 'populer' dan tak ditulis seperti tulisan akademis pada umumnya.Hal ini bertujuan agar tulisannya terasa lebih ringan dan bisa dibaca dan dipahami oleh siapa saja,karena tujuan awalnya memang hanya ingin bercerita kepada keluarga dekat saja.Walau demikian,tulisan-tulisan di blog ini tetaplah bisa dipertanggungjawabkan karena telah melalui serangkaian penelitian dan pengkajian yang mendalam,yang dilakukan oleh penulis dalam kurun waktu yang lumayan lama.Akhir kata,selamat membaca aneka tulisan tentang Mbah Raden Ardisela ini.

Selasa, 31 Oktober 2017

Makam Habib Toha (Ciledug-Cirebon)

Makam Habib Toha (Ciledug-Cirebon)

Habib Toha adalah seorang ulama dari keturunan atau dzuriah Rasulullah SAW yang ikut berperan dalam syiar Islam di Cirebon di era penjajahan Belanda.Masa hidupnya beliau habiskan untuk berdakwah dan mengajak kebaikan pada masyarakat yang ditemuinya.Ketika meninggal,beliau di makamkan di Desa Jatiseeng.

Makam Habib Toha ini ramai dikunjungi pada hari Kamis,Jum'at atau hari-hari besar Islam lainnya.Khusus di bulan maulid,makam beliau akan semakin ramai oleh para peziarah dari berbagai macam daerah.Di bulan Maulid dan di hari yang telah ditentukan oleh keturunannya,biasanya di sekitar makam beliau ini diadakan puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus khaul Habib Toha.

Makam Habib Toha ini terdapat di sebuah pemakaman umum,bedanya makam beliau berada di sebuah bangunan yang menyerupai rumah yang di atasnya ada hiasan kubah.Konon bangunan yang terbilang lumayan indah ini dibangun atas prakarsa dan biaya seorang pengusaha.Untuk mencapai makam Habib Toha tidaklah susah,karena makam beliau berada tak jauh dari sisi jalan desa dan terletak dekat dengan pemukiman penduduk.

Untuk sampai ke makam Habib Toha yang berada di Desa Jatiseeng Ciledug Cirebon,Jawa Barat ini,para peziarah bisa naik angkutan Elf atau colt jurusan Cirebon-Ciledug dan berhenti di Tugu Jatiseeng.Dari pertigaan Tugu Jatiseeng ini bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki atau naik ojek.Dari jalan Cirebon-Ciledug ini makam beliau tidak terlalu jauh dan hanya berjarak beberapa ratus meter saja.


Bangunan makam,di mana di dalamnya terdapat makam Habib Toha dan kerabatnya

Senin, 09 Oktober 2017

Makam Mbah Raden Muta'ad

Makam Mbah Raden Muta'ad

Makam Mbah Raden Muta'ad berada di pemakaman Tuk Lor,Desa Tuk Karangsuwung Kecamatan Lemahabang,Kabupaten Cirebon.Makam beliau berada satu area dengan makam Mbah Muqoyim yang tak lain sebagai guru dan juga kakek dari istrinya.

Semula makam Mbah Muta'ad tak jauh berbeda dengan makam lainnya yang berada di luar tembok bangunan makam Mbah Muqoyim.Sejak tahun 2000 an,makamnya dipugar bersamaan dengan pemugaran makam Mbah Muqoyim.Tak ada tembok atau bangunan yang mengelilingi makam Mbah Muta'ad ini,namun makamnya diberi atap dan diberi lantai keramik.Hal ini tak lain untuk memberi kenyamanan bagi para peziarah,terutama untuk melindungi para peziarah dari panas dan hujan.Hal itu dilakukan mengingat semakin banyak saja orang yang berziarah ke makamnya.

Mbah Raden Muta'ad atau yang biasa disebut Mbah atau Kiai Muta'ad dalah seorang ulama yang berandil besar dalam kemajuan Pesantren Buntet.Kiai Muta'ad adalah putra dari Raden Muridin yang merupakan anggota keluarga dari Keraton Gebang.

Semasa hidupnya Mbah Muta'ad mempunyai dua orang istri,yang pertama yaitu cucu Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Ratu Aisyah (Nyai Lor),dan seorang wanita lainnya yang bernama Nyai Masriyah (Nyai Kidul).Dari kedua istrinya itu Mbah Muta'ad banyak menurunkan ulama-ulama di banyak pesantren,seperti Pesantren Buntet,Benda Kerep,Gedongan,Kempek,dan lain sebagainya.


Makam Mbah Raden Muta'ad 

Selasa, 26 September 2017

K.H. Bakri Bakir dan Nyai Hj. Mu'minah Abdul Jamil

K.H. Bakri Bakir dan Nyai Hj. Mu'minah Abdul Jamil

Googling alias searching-searching tentang tarekat,tiba-tiba saya menemukan nama Kiai Bakri (Kasepuhan),sebuah nama yang tidak asing di telinga saya.Itupun bukan di laman atau website dalam negeri,melainkan dari luar negeri.Tepatnya dari salah satu perpustakaan digital sebuah universitas terkemuka di negeri kangguru sana,alias Australia.Tulisannya otomatis dalam bahasa Inggris.He he,untungnya sedikit-sedikit saya bisa bahasa Inggris,jadi saya tidak terlalu sulit memahaminya.

Ternyata oh ternyata,nama yang dimaksud oleh buku digital yang bisa diakses dari manapun itu adalah nama Kiai Bakri Kasepuhan yang tak lain adalah Mbah Buyutku.Hem,ternyata Mbah Buyutku itu pimpinan tarekat toh,baru 'nyaho'sayanya.Beliau itu adalah pimpinan tarekat atau yang biasa disebut muqoddam atau mursyid.Nama tarekatmya adalah Tarekat Tijaniyyah.Beliau dibaiat menjadi muqoddam oleh Kiai Anas yang tak lain adalah kakak dari istrinya yang bernama Nyai Mukminah binti Kiai Abdul Jamil.

Dulu,saat saya masih kecil ibu sering cerita tentang Mbah Buyutku itu,tidak banyak tapi begitu berkesan.Katanya beliau itu orangnya tegas dan sedikit keras, terutama menyangkut hal-hal yang tidak sesuai menurut keyakinan agamanya.Maka dari itu beliau yang seringkali tidak kenal kompromi ini tidak disukai oleh pihak penjajah Belanda.Apalagi kumpulnya bersama ulama-ulama lainnya yang memang anti penjajahan Belanda seperti kakak-kakak iparnya Kiai Abbas,Kiai Anas,Kiai Akyas,dan Kiai Ilyas.Belum lagi kedekatannya dengan Kiai Anwarudin alias Kiai Krian yang tak lain adalah uwak dari istrinya.

Kiai Bakri buyutku itu ulama Keraton Kasepuhan Cirebon yang biasa menjadi imam dan khatib di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan Cirebon.Walau dari lingkungan keluarga keraton,tapi beliau tidak bergelimang harta,maklum saja,karena memang beliau,juga Kiai Bakir ayahnya atau Kiai Barowi kakeknya paling anti sama pemerintahan penjajah Belanda.

Leluhur Kiai Bakri dan juga anak cucunya secara turun temurun menjadi imam atau Khatib masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan.Kiai Bakri dan leluhurnya ini suka berdakwah secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.Tak aneh juga jika di Purwakarta atau Karawang ada keluarga Kiai Bakri lainnya,yaitu saudara dari salah satu istri Kiai Bakir ayahnya yang memang berasal dari Karawang sana.

Kiai Bakri yang menikah dengan Nyai Mukminah putri dari Kiai Abdul Jamil Pesantren Buntet ini dikaruniai 10 orang anak,yaitu :
1.Kiai Masduki
2.Nyai Fathonah
3.Kiai Khafidz
4.K.H. Marzuki
5.Nyai Hj. Fatmah
6.Kiai Ghufron
7.K.H. Muqoyim
8.K.H. Ahmad Sholeh
9.Kiai Muslikh
10.K.H. Mahfudz

Kiai Masduki,K.H. Marzuki (Yai Juk),dan K.H. Makhfud (Yai Apu),adalah tiga anak laki-laki Kiai Bakri dan Nyai Mukminah yang kebetulan tinggal di Kasepuhan juga turut melanjutkan kebiasaan menjadi imam di masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan.Kebiasaan ini dilanjutkan kembali oleh cucunya,seperti oleh K.H.Hasan,Kiai Jumhur (Penghulu Keraton Kasepuhan),Kiai Sirojudin,Ustadz Anwar,Ustadz M. Nidzhom,Ustadz A. Qohar,dan beberapa cucu lainnya.
Hampir semua anak Kiai Bakri ini melanjutkan jejak dan langkah dakwah Kiai Bakri,tak terkecuali anak perempuannya.Cucu dan cicitnya juga tak sedikit yang turut melanjutkan kiprah dakwah kakek buyutnya tersebut.Sekarang ini rumah dan Mushola peninggalannya juga digunakan untuk kegiatan dakwah yang dikelola anak cucunya.Pesantren Darul Fikri,demikian nama lembaga dakwah yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial,yang letaknya tepat berada di belakang Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan Cirebon.

Oh ya,kalau saya yang menulis kisah ini,tidak bisa melanjutkan jejak dakwah Kiai Bakri seperti ibu saya yang jadi guru mengaji dan mubalighah,atau seperti saudara-saudara yang lainnya.Saya cukup menjadi 'juru tulis' atau 'juru cerita' yang menceritakan tentang kiprah leluhur kami dalam berdakwah,agar bisa dibaca oleh anak cucunya di manapun berada.

Sabtu, 23 September 2017

Kiai Ardisela (7)

Kiai Ardisela,Guru Para ' Laskar Ardisela' (7)

Perjuangan Kiai Ardisela Dan Mbah Muqoyim

Karena sudah tidak cocok lagi dengan lingkungan keraton,Mbah Muqoyim memutuskan untuk keluar dari Keraton dan memilih hidup di luar keraton.Bersama keluarganya beliau pergi ke arah timur Cirebon,mengikuti jejak Kiai Ardisela adik iparnya yang sudah terlebih dulu keluar dari keraton.Orang yang pertama didatanginya adalah Kiai Ardisela.

Bila Kiai Ardisela membuka pesantren di Dawuan Sela,maka Mbah Muqoyim membuka pesantren yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Desa Buntet,di tempat yang tidak terlalu jauh dari kediaman Kiai Ardisela di Dawuan Sela.Jarak yang berdekatan membuat kakak dan adik ipar tersebut semakin dekat satu sama lain.Keduanyapun akhirnya bersama-sama mengajar dan berdakwah menyebarkan ajaran Islam di daerah yang sekarang ini  masuk wilayah Kecamatan Astana Japura.

Kebersamaan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim semakin membuat dakwah dan pendidikan Islam di kawasan Sindang Laut ini semakin maju.Lambat laun santri yang datangpun semakin banyak.Tak hanya kalangan masyarakat umum,masyarakat dari keluarga keratonpun banyak yang ikut belajar pada keduanya.

Karena semakin banyak santri yang belajar pada keduanya,Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyimpun semakin mendapat pengawasan dari pihak penjajah Belanda.Lebih-lebih ketika semakin banyak saja keluarga keturunan keraton yang belajar pada keduanya.Tanpa sepengetahuan keduanya,rupanya pihak penjajah Belanda mengetahui tentang kiprah keduanya tersebut,sehingga mereka semakin gencar memata-matai keduanya.Mereka khawatir jika kedua ulama kharismatik tersebut mampu menggalang kekuatan baru untuk melawan mereka.

Perjuangan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim dalam membuka dan menjalankan pesantren memang tidaklah mudah. Keduanya mendapatkan aneka tantangan dan rintangan yang selalu menghadang.Namun dengan kebulatan tekad,keduanya tetap gigih berjuang dan menghadapinya dengan segenap usaha dan doa.

Dari tangan dingin keduanya,saat itu banyak melahirkan ulama dan juga pejuang.Beberapa keluarga keturunan keraton baik dari Cirebon atau luar Cirebon yang menjadi murid keduanya antara lain putra Sultan Kanoman yang di kemudian hari menjadi Sultan Kacirebonan I,Raden Rustam atau yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Raden Ardisela Tuk,Kiai Mas Khanafi atau yang lebih dikenal dengan nama Ardisela Jaha (Buyut Jaha) yang juga menjadi menantu Kiai Ardisela,dan lain-lain.

Perjuangan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim dalam melawan penjajah Belanda dan juga dalam berdakwah menyebarkan ajaran Islam berlangsung cukup lama,dari keduanya berusia muda hingga akhir hayat keduanya.

Kiai Ardisela (6)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (6)

Kiai Ardisela dan Pesantrennya

Dawuan Sela adalah tempat di mana Kiai Ardisela membuka pesantren untuk pertama kalinya.Para santri tak hanya datang dari Desa sekitarnya saja,tetapi dari berbagai macam daerah.Orang-orangbdari keluarga keraton di Cirebon juga tak sedikit yang berguru padanya.

Tak hanya belajar ilmu agama yang menjadi daya tarik bagi para santri yang hendak belajar di pesantren Kiai Ardisela ini.Daya tarik lainnya tentu saja ilmu kanuragan yang diajarkan oleh Kiai Ardisela kepada murid-muridnya disela-sela mereka belajar aneka ilmu agama.Saat itu ilmu kanuragan memang menjadi sesuatu yang sepertinya wajib dimiliki oleh setiap orang,t erutama yang laki-laki.

Semakin hari pesantren yang didirikan oleh Kiai Ardisela ini semakin ramai oleh para santri.Nama Kiai Ardiselapun semakin dikenal luas oleh banyak orang.Tak hanya keilmuan agamanya saja yang dikenal,tapi juga kesaktiannya sudah bukan menjadi  rahasia lagi.Di pesantrennya inilah beliau menempa santri dari semua kalangan agar menjadi seorang ulama,pejabat keraton,pejuang yang tangguh,dan lain sebagainya.

Kiai Ardisela tak hanya berdakwah dan mengajar di pesantrennya saja,tapi beliau juga berdakwah di desa-desa sekitarnya juga.Hal  inilah yang membuatnya semakin dekat dengan masyarakat.Menurut beberapa sumber,Kiai Ardisela tak hanya membuka pesantren di daerah Dawuan Sela saja,tetapi juga di tempat lainnya.Pesantren-pesantren tersebut dibuka saat beliau bersembunyi karena dikejar-kejar oleh serdadu penjajah Belanda untuk ditangkap.

Pesantren-pesantren yang didirikan oleh Kiai Ardisela tidak pernah berumur lama,karena pihak penjajah Belanda tak pernah suka dengan keberadaanya dan selalu saja mencari cara untuk menutup atau menghancurkannya.Pesantren Kiai Ardisela memang sudah tidak ada,tapi pesantren-pesantren yang didirikan oleh anak cucu atau muridnya hingga kini masih banyak berdiri dan tersebar di Nusantara.

Minggu, 17 September 2017

Kiai Ardisela (5)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (5)

Asal Mula Nama Kiai Ardisela

Kiai Ardisela bukanlah nama asli,melainkan nama julukan.Namun sayang,hingga kini nama aslinya tidak diketahui,bahkan oleh para keturunannya sendiri.Nama Kiai Ardisela ini bermula dari sebuah kejadian,di mana saat itu di Dawuan Sela tempatnya menetap ada sebuah prosesi pemakaman.Kiai Ardisela yang sedang memimpin prosesi pemakaman tersebut memerintahkan kepada santrinya untuk membuat lubang yang digunakan untuk mengubur jenazah.Setelah jenazah di kubur,di atasnya diberi batu sebagai penanda bila ada makam di bawahnya.

Suatu hari Kiai Ardisela sedang diburu oleh penjajah Belanda dan antek-anteknya.Karena tahu dirinya sedang diburu,Kiai Ardisela pun membuat rencana agar tak tertangkap oleh pihak musuh.Prosesi pemakaman yang telah dilakukannya beberapa waktu lalu membuahkan ide di benaknya.Beliaupun akhirnya membuat lubang berbentuk dengan ukuran dua kali satu setengah meter.Lubang tersebut digunakannya untuk mengelabui orang-orang yang sedang mengejarnya.

Setelah jadi Kiai Ardisela masuk ke dalam lubang tersebut.Di dalam lubang itu beliau memasukkan sebuah batu untuk tempat duduknya.Beliaupun segera memerintahkan para santrinya untuk menutup lubang tersebut sebelum pihak musuh mengetahuinya.Agar beliau tetap bisa bernafas,lubang tersebut diberi bambu untuk jalannya udara.

Ketika pihak penjajah Belanda datang,mereka tidak menemukan Kiai Ardisela.Semua penjuru tempat mereka periksa dengan seksama,namun tak juga diketemukan keberadaannya.Yang mereka temukan hanya gundukan tanah seperti kuburan yang tentu saja tidak dihiraukan oleh mereka.Para serdadu itu mengira jika gundukan tanah tersebut adalah kuburan dan mereka kembali dengan tangan hampa.

Dari kedua kejadian tersebut,Kiai Ardisela selalu saja berhubungan dengan tanah dan batu.Dari sinilah nama beliau berasal.Ardhi atau Ardi berarti bumi dalam Bahasa Arab,dan Sela yang berarti batu dalam bahasa Cirebon atau Jawa tempo dulu.Sejak saat itu para santri dan masyarakat sekitar selalu memanggilnya Kiai Ardisela.

Sabtu, 16 September 2017

Raden Rustam Mencari Jati Diri

Mbah Rasen Ardisela (5)

Masa kecil Raden Rustam atau Mbah Raden Ardisela dilalui seperti masa kecil anak-anak keturunan keraton lainnya pada masa  itu.Hari-harinya dilalui dengan bermain dan belajar,baik di lingkungan keluarga,lingkungan keraton (kademangan) maupun di lingkungan pengajian atau perguruan Islam.Menurut beberapa sumber,Raden Rustam kecil ini termasuk anak yang nakal dan suka protes atau memberontak jika ada sesuatu hal yang tidak berkenan di hatinya.

Saat menginjak remaja kenakalan Raden Rustam semakin bertambah dengan kebiasaannya yang suka melawan atau protes terhadap apa-apa yang tidak disukainya.Para orang tua yang biasa mendidik anak-anaknya untuk menjaga sopan santun dan tidak suka protes menilai kelakuan Raden Rustam ini sebagai kelakuan anak yang benar-benar nakal dan tidak menghormati orangtua.Lebih-lebih di masa itu.Hal ini tentu saja membuat Raden Demang Bratanata ayahnya dan juga ibunya semakin bingung dibuatnya.Kedua orangtuanya ini menjadi sedih dan marah dibuatnya.

Semakin lama semakin banyak saja hal yang menjadi suatu masalah dan menimbulkan perselisihan dengan orangtuanya,terutama sang ayah.Hal ini akhirnya membuat Raden Rustam berfikir mengapa berlaku seperti itu, yang seringkali membuat kedua orangtuanya menjadi marah dan malu karenanya.Beliau ingin merubah diri,tapi entah harus dimulai dari mana.

Karena banyak hal yang membuatnya tidak nyaman berada di kediamannya,Raden Rustampun kemudian memutuskan untuk keluar dari kediaman ayahnya.Beliau memutuskan untuk mengembara,pergi dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari jati diri dan mengetahui tujuan dan hakekat kehidupan.Keputusan ini dengan berat hati diterima oleh kedua orangtuanya,semua demi kebaikan Raden Rustam.

Dalam pengembaraannya itu banyak orang yang Raden Rustam  datangi untuk belajar aneka ilmu.Berbagai daerah,baik itu daerah yang sudah ramai ataupun masih sepi tak lupa beliau kunjungi.Jika daerah yang dihuni oleh orang,biasanya karena beliau berguru pada seorang ulama atau orang pintar lainnya.Bila daerah yang tidak berpenghuni biasanya beliau datangi untuk beruzlah atau mengasingkan diri.Pengembaraan itu beliau lakukan hingga bertahun-tahun lamanya,hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang semakin dewasa dalam hal usia maupun dalam hal pemikiran.

Setelah pencarian jati diri yang berlangsung lama dengan aneka suka dan dukanya tersebut,di kemudian hari Raden Rustam akhirnya berubah menjadi seorang yang baik,gagah berani,dan penuh tanggung jawab.Pengembaraan itu telah membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.Hal ini tentu saja membuat kedua orangtuanya menjadi senang.Perubahan yang sangat besar dalam kehidupan Raden Rustam telah membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik.Bahkan,di kemudian hari beliau dikenal sebagai seorang pemimpin wilayah dan pejuang yang disegani.

Kiai Ardisela (4)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (4)

Kiai Ardisela dan Dawuan Sela

Suatu hari Kiai Ardisela yang merupakan seorang ulama keraton ini pergi dari Cirebon ke arah timur.Beliau pergi dari Keraton karena merasa tidak cocok lagi dengan keadaan keraton.Pada saat itu keraton sudah tak sesuai lagi dengan aneka hukum Islam dan tradisi baru yang berkembang di keraton juga semakin jauh dari nilai-nilai keislaman.

Penjajah Belanda memang semakin menancapkan kukunya di lingkungan keraton dan membuat para keluarga keraton tak betah dibuatnya.Para ulama atau kiai juga banyak yang dibuat tidak kerasan berada di lingkungan keraton,terutama para ulama yang sangat menentang keberadaan penjajah Belanda di Cirebon.Salah satu ulama yang begitu membenci penjajah Belanda tersebut adalah Kiai Ardisela.

Kepergian Kiai Ardisela dari lingkungan keraton ini sangat disayangkan oleh berbagai pihak,tapi Kiai Ardisela tetap bertahan pada pendiriannya untuk meninggalkan Keraton.Ketika sampai di sebuah daerah yang tidak terlalu jauh dari Desa  Kanci,beliau berhenti untuk melaksanakan sholat.Karena air sungai tidak terlalu banyak,maka beliau membuat sebuah bendungan kecil dari bebatuan untuk mengumpulkan air untuk berwudu.Di kemudian hari tempat tersebut dikenal dengan nama Dawuan Sela yang berarti bendungan batu.Selain cerita di atas,sebagian orang ada yang meyakini jika nama Dawuan sudah ada sejak dulu,sementara Kiai Ardisela hanya singgah saja.Semenjak kedatangan Kiai Ardisela itulah maka di akhir kata nama Dawuan ditambahkan nama Sela,hingga akhirnya bernama Dawuan Sela.

Karena merasa cocok dengan tempat tersebut,akhirnya Kiai Ardisela memutuskan untuk tinggal dan membuka sebuah padepokan atau pesantren.Di pesantren ini beliau tidak hanya berniat untuk menjauh dari keraton,tapi juga berniat untuk mengabdikan dirinya untuk mengajarkan bermacam ilmu agama.Selain untuk belajar ilmu agama,beliau juga mengajarkan ilmu kanuragan.Hal ini beliau lakukan guna mempersiapkan para santri yang tangguh dan siap untuk melakukan perjuangan dalam membela negeri.

Pesantren Kiai Ardisela ini diperuntukkan untuk siapa saja dan menerima semua santri dari berbagai macam kalangan.Walau tak lagi menjadi ulama keraton,para pemuda keturunan keraton tetap banyak yang belajar padanya.

Kiai Ardisela (2l

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (2)

Keluarga dan Keturunan Kiai Ardisela

Kiai Ardisela diketahui menikah dengan Nyai Alfan Putri dari Kiai Abdul Hadi dan Nyai Anjasmara.Nyai Alfan sendiri  tak lain adalah adik bungsu Mbah Muqoyim,jadi hubungan antara Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim adalah hubungan kakak dan adik ipar.Dari perkawinan ini Kiai Ardisela dan Nyai Alfan dikaruniai dua orang anak,yaitu Kiai Muhamad Imam dan Nyai Kapiun (Khafiun).

Kiai Muhamad Imam tidak diketahui menikah dengan siapa,tetapi dalam sebuah catatan silsilah ditulis jika beliau mempunyai putra yang bernama Kiai Jalalen (Jaelan).Kiai Jaelan menikah dengan dua orang istri yang bernama Nyai Asiyah (cucu Mbah Muqoyim) dan Nyai Sarpiah.Di kemudian hari,dari pernikahan keduanya dengan Nyai Sarpiah ini beliau dikaruniai empat orang anak laki-laki yaitu Kyai Anwarudin (Kiai Kriyan),Kiai Kilir,Kiai Abror dan Kiai Muntahar.

Putri Kiai Ardisela yang bernama Nyai Kapiun menikah dengan Kiai Mas Khanafi Jaha atau yang lebih dikenal dengan nama Buyut Jaha.Buyut Jaha dan Nyai Kapiun dikaruniai beberapa anak yang seorang laki-laki dan toga orang perempuan,yaitu Kiai Idris,Nyai Latifah,Nyai Qonaah,dan Nyai ....Keturunan keduanya ini banyak juga yang terdapat di pesantren-pesantren,seperti Pesantren Buntet,Benda Kerep,Pemijen Asem,Dongkol,Gedongan dan beberapa pesantren lainnya.

Anak cucu Kiai Ardisela banyak yang melanjutkan kiprahnya dalam berdakwah dan berjuang.Di kemudian hari banyak dari keturunannya yang menjadi ulama dan mendirikan pesantren.Salah satu keturunan Kiai Ardisela yang paling dikenal dan makamnya banyak diziarahi oleh banyak orang adalah Kiai Anwarudin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Krian.Julukan Krian ini disematkan padanya karena beliau dianggap sebagai wali Karian atau wali belakangan.

Kia Ardisela yang seusia dengan Mbah Muqoyim mempunyai anak yang sebagian usianya tidak terlalu berjauhan dengan anak-anak Mbah Muqoyim.Di kemudian hari anak cucu Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim ada yang menikah,seperti antara Kiai Jaelan dan Nyai Ratu Asiyah.Selanjutnya keturunan Kiai Ardisela banyak yang menikah dengan keturunan Mbah Muqoyim,yang sebagian besar di antaranya banyak yang melanjutkan jejak keduanya.

Selain di pesantren-pesantren,tak sedikit pula keturunan Kiai Ardisela yang tinggal di luar pesantren namun tetap melanjutkan jejak beliau dengan ikut berdakwah dengan cara membuka musholla atau tajug dan membuka pengajian-pengajian yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

* Untuk keturunan Kiai Ardisela,terutama yang berada di Tuk Karangsuwung sebagian ada yang merupakan keturunan Kiai Ardisela dan juga Mbah Raden Ardisela,dua orang berbeda dengan nama Ardisela yang sering dikira satu orang yang sama.Karena ketidaktahuan inilah yang pada akhirnya banyak menimbulkan kesalahpahaman di antara keturunan keduanya.Selain itu,karena ketidaktahuan ini akhirnya juga menimbulkan kesimpangsiuran mengenai kisah hidup dan perjuangan Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela.

Kiai Ardisela (3)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (3)

Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim Dalam Perang Aceh

Kiai Ardisela muda dikenal sebagai seorang pemberani.Sejak muda beliau selalu melakukan hal-hal positif yang bermanfaat dan dilakukan tak hanya untuk dirinya sendiri,melainkan untuk orang banyak.Masa muda Kiai Ardisela sudah banyak terlibat dengan perjuangan bersama Mbah Muqoyim.Tak ada yang tahu mana yang lebih dulu yang membuatnya menjadi begitu dekat dengan Mbah Muqoyim,apakah persahabatannya terlebih dulu,ataukah perkawinannya dengan adik Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Alfan.

Salah satu kisah yang menceritakan kedekatan keduanya adalah saat Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim masih muda pergi ke Aceh.Saat itu mereka berdua pergi ke Aceh untuk membantu perjuangan rakyat Aceh yang sedang berjuang melawan penjajah Belanda.Aceh sendiri bukanlah daerah yang asing bagi sebagian orang Cirebon saat itu,termasuk bagi Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim.Hal ini disebabkan karena hubungan antara keraton-keraton di Cirebon dan Aceh memang sudah terjalin keakraban sejak lama,sejak awal Cirebon berdiri.

Aceh yang saat itu sedang dilanda peperangan melawan penjajah Belanda membutuhkan banyak pejuang,khususnya para pemuda untuk melawan para penjajah.Walau berbeda kerajaan,banyak juga rakyat dari kerajaan lain dan datang dan ingin membantu rakyat Aceh saat itu,termasuk kedua sahabat ini.Hal ini didasari oleh kesamaan misi dalam membebaskan Nusantara dari penjajahan Belanda.

Keberadaan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim di Aceh ini tidak diketahui secara pasti tahunnya dan berapa lama waktunya.Namun menurut sebuah sumber,Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim ikut berjuang di Aceh dalam waktu yang lama.Ketika hendak pulang,keduanya sempat diberi kenang-kenangan oleh masyarakat Aceh berupa senjata khas daerah tersebut,yaitu rencong.

Jumat, 15 September 2017

Kiai Ardisela (1)

Kiai Ardisela,Guru Para ' Laskar Ardisela' (1)

Kiai Ardisela,Sang Ulama Dan Pejuang

Kiai Ardisela adalah seorang ulama tasawuf yang tidak suka dengan hingar-bingar kehidupan duniawi.Beliau adalah seorang yang sangat dihormati dan juga disegani,baik oleh kalangan masyarakat umum,masyarakat pesantren,maupun juga oleh kalangan masyarakat dari keraton-karaton di Cirebon.Hal ini karena didasari oleh ilmunya yang sangat mumpuni,keperduliannya pada pendidikan masyarakat,juga karena kerendahan hatinya terhadap siapa saja.

Selain dikenal sebagai seorang ulama tasawuf,Kiai Ardisela adalah seorang guru silat yang mempunyai ilmu Kanuragan yang cukup tinggi.Oleh karena itu,setiap santri yang belajar padanya tidak hanya diajari ilmu agama,tapi juga ilmu Kanuragan yang sangat berguna untuk membela diri juga membela negeri.Hal inilah yang pada akhirnya membuat pihak penjajah Belanda menjadi khawatir dibuatnya,lebih-lebih lagi karena banyak para pemuda keraton yang belajar padanya,yang di kemudian hari banyak yang menentang dan melawan penjajahan Belanda.

Kiai Ardisela adalah teman seperjuangan sekaligus adik ipar Mbah Muqoyim,karena beliau menikah dengan adik bungsu Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Alfan.Dari perkawinan ini Kiai Ardisela mempunyai dua orang anak,yaitu Kiai Muhamad Imam dan Nyai Kapiun (Khafiun).Kiai Imam di kemudian hari mempunyai anak Kiai Jalalen,dan Kiai Jalalen mempunyai anak yang salah satunya bernama Kiai Anwarudin atau Kiai Kriyan.Nyi Kapiun sendiri menikah dengan Kiai Mas Khanafi atau Buyut Jaha Sampiran.Dari kedua anaknya inilah yang di kemudian hari banyak melahirkan ulama-ulama yang meneruskan perjuangan Kiai Ardisela dalam mengembangkan ajaran agama Islam.

Siapa Kiai Ardsela ini sebenarnya?,banyak orang yang tahu cerita dan riwayat Kiai Ardisela namun tak tahu pasti siapa dan dari mana asalnya.Di sebuah catatan silsilah yang dipegang seorang kiai hanya tercatat nama anak dan keturunannya,namun tidak tercatat siapa nama ayah dan ibunya.Di catatan tersebut tertulis jika Kiai Ardisela merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga.Dari Junti Indramayu ada yang menjelaskan jika Kiai Ardisela adalah sepupu Mbah Muqoyim.Dijelaskan bila ada dua orang Pangeran dari Keraton Kanoman yang menikahi dua wanita asal Lrangkeng Indramayu.Satu Pangeran menikah dengan Nyai Anjasmara atau Anjasmoro,yang di kemudian hari melahirkan Mbah Muqoyim,Mbah Yahya,Mbah Ismail,dan Nyai Alfan.Sementara pangeran yang satunya lagi menikah dengan seorang wanita yang di kemudian hari melahirkan Kiai Ardisela.

Keturunan Kiai Ardisela juga sebagian besar tidak tahu silsilah ke atasnya.Yang jelas beliau ini bukan Mbah Raden Ardisela yang makamnya ada di Tuk Karangsuwung,karena beliau lebih tua dan masa hidupnya lebih dulu dibandingkan Mbah Raden Ardisela Tuk yang mempunyai nama lain Raden Rustam.Kiai Ardisela merupakan guru dari Mbah Raden Ardisela Tuk,dan juga guru dari orang-orang dengan nama atau julukan Ardisela yang hidup semasa dengannya.

Masa hidup Kiai Ardisela ini banyak beliau habiskan untuk mengajarkan ajaran agama Islam dan juga berjuang melawan penjajah Belanda.Selain dikenal sebagai ulama,Kiai Ardisela juga dikenal sebagai seorang pejuang yang gigih dalam melawan penjajah Belanda.Berkat didikannya banyak sekali ulama dan pejuang yang gagah dan gigih dalam membela agama dan bangsa.

Kamis, 22 Juni 2017

Tiga Serangkai Ketiga (Terakhir)

Tiga Serangkai Ketiga (Terakhir)

(Persahabatan Antara Raden Raksa,Kiai Kriyan Dan Mbah Soleh)

Bila tiga serangkai pertama diisi oleh Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela dan tiga serangkai kedua diisi oleh menantu Mbah Raden Ardisela yang bernama Raden Rangga Nitipraja,cucu menantu Kiai Ardisela yang bernama Kiai Ta'rif /Kiai Takrifudin dan cucu menantu Mbah Muqoyim yang bernama Kiai Muta'ad,maka tiga serangkai ketiga ini diisi oleh keturunan langsung dari ketiga serangkai pertama.Dari Mbah Raden Ardisela ada Raden Raksa yang merupakan cucunya,yaitu anak dari putrinya yang bernama Nyi Raden Aris yang menikah dengan Raden Rangga Nitipraja bin Raden Arungan.Kiai Ardisela Buntet diwakili oleh cicitnya yang bernama Kiai Anwarudin atau Kiai Kriyan.Sementara Mbah Muqoyim diwakili oleh cicitnya yang bernama Mbah Soleh.

Kiai Kriyan adalah kakak ipar Mbah Soleh,karena Kiai Kriyan menikah dengan kakak Mbah Soleh.Raden Raksa dan Mbah Soleh juga kakak dan adik ipar,karena keduanya menikah dengan kakak beradik putri dari Kiai Ta'rif dari Pesantren Pemijen.Selain sebagai kakak dan adik ipar,keduanya juga di kemudian hari menjadi besan,di mana dua putri Raden Raksa ada yang menikah dengan putra dari Mbah Soleh.

Raden Raksa melanjutkan tugas ayahnya berkecimpung di dunia pekerjaan yang masih ada kaitannya dengan Keraton Kasepuhan,Kiai Krian menjadi Mufti atau penghulu di Keraton Kasepuhan,dan Mbah Soleh menjadi ulama.Walau sibuk dengan urusan masing-maaing,namun ketiganya tidak melupakan cita-cita dan perjuangan leluhurnya.Diketahui jika Raden Raksa dan Ki Krian turut serta membantu akan kelangsungan Pesantren Benda yang didirikan oleh Mbah Soleh tersebut.

Selain ketiganya,masih banyak ulama dan pejuang lain yang ikut bekerja sama.Pesantren Buntet saat itu dipimpin oleh Kiai Abdul Jamil,Pesantren Benda Kerep didirikan oleh Mbah Soleh,dan Pesantren Gedongan didirikan oleh Kiai Said.Pesantren Buntet yang didirikan oleh Mbah Muqoyim yang dibantu oleh Kiai Ardisela Buntet dan Mbah Raden Ardisela memang semakin banyak melahirkan pesantren dan ulama-ulama baru.

Tuk Karangsuwung masih menjadi basis perjuangan,tapi tidak menjadi basis utama seperti saat masih dipimpin oleh Mbah Raden Ardisela atau Raden Rangga Nitipraja.Rupanya semua ini dikarenakan Belanda sudah mencium gelagat yang mencurigakan  dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang keluar masuk ke Tuk Karangsuwung,sehingga orang yang keluar masuk ke wilayah ini selalu diperhatikan dan tak jarang diinterogasi oleh penjajah.Puncaknya adalah ketika para ulama yang dimotori Mbah Soleh,Kiai Said dan Kiai Abdul Jamil mengeluarkan Fatwa Ciremai yang dikhawatirkan mengganggu jalannya pemerintahan di bawah penjajahan.Tuk Karangsuwung benar-benar sudah tak aman lagi untuk para pejuang berkumpul.

Tak hanya Tuk Karangsuwung,Pesantren Buntet juga rupanya sudah menjadi tempat yang dicurigai oleh Belanda,sehingga gerak-gerik orang yang keluar masuk tempat ini juga selalu diperhatikan.Tuk Karangsuwung sedikit demi sedikit sudah tak lagi menjadi basis utama dalam menyusun strategi perjuangan oleh para pejabat Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman,ulama dan pejuang lainnya.Tiga Serangkai pada akhirnya berakhir,namun perjuangan dalam melawan penjajah tetap berlanjut.Karena di kemudian hari ada anak-anak Kiai Abdul Jamil,Raden Raksa,Mbah Soleh,Kiai Said,dan ulama lainnya yang terus menggelorakan gerakan perlawanan terhadap penjajah.

Aneka Foto (1)

Aneka Foto (1)



Bangunan Makam Mbah Raden Ardisela




Pintu tengah makam 



Makam Mbah Raden Ardisela


Makam Raden Rangga Nitipraja bin Raden Arungan (keponakan sekaligus menantu Mbah Raden Ardisela).Di sampingnya adalah makam Nyi Raden Aris binti Mbah Raden Ardisela.Di sekelilingnya,sebagaian besar adalah makam anak keturunannya.



Tiga Serangkai Kedua

Tiga Serangkai Kedua

(Persahabatan Raden Rangga Nitipraja,Kiai Ta'rif,dan Kiai Muta'ad)

Persahabatan antara Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela terjalin begitu erat.Ketiganya selalu berjalan beiringan dalam Syiar Islam dan dalam berjuang melawan Penjajah.Ketiganya patut disebut sebagai tiga serangkai, yang melanjutkan jejak pendahulu mereka.Ternyata Tiga Serangkai tersebut tidak hanya berakhir di era Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela saja.Setelah kerjasama tersebut,kerja sama-kerja sama selanjutnya tetap ada di antara keturunan ketiganya.

Mbah Raden Ardisela yang berusia jauh lebih muda,di kemudian hari menjadi motor penggerak yang melanjutkan dakwah dan perjuangan kedua ulama tersebut bersama anak dan cucu Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim.Sepeninggal Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim,perjuangan dilanjutkan oleh Mbah Raden Ardisela bersama Kiai Mas Khanafi Jaha dan Kiai Gozali.Kiai Mas Khanafi Jaha disebut sebagai Ardisela Jaha,beliau adalah menantu dari Kiai Ardisela yang menikah dengan putrinya yang bernama Nyai Khafiun.Kiai Gozali disebut sebagai Ardisela Gozali,beliau adalah menantu dari Mbah Muqoyim yang menikah dengan putrinya yang bernama Nyai Fatimah dari istri terakhirnya  yang bertempat tinggal di Pesantren Tuk.Karena Kiai Mas Khanafi Jaha tinggal agak berjauhan dengan Mbah Raden Ardisela dan Kiai Gozali,pertemuan antara ketiganya tidak terlalu sesering pertemuan para pendahulunya.

Sepeninggal Mbah Raden Ardisela,Raden Rangga Nitipraja yang merupakan keponakan sekaligus menantu Mbah Raden Ardisela melanjutkan gerak langkah pamannya tersebut sebagai pemimpin.Sementara dari Kiai Ardisela ada cucu mantunya yang bernama Kiai Ta'rif / Kiai Takrifudin yang menikah dengan cucu Kiai Ardisela yang bernama Nyai Latifah binti Kiai Mas Khanafi Jaha,dan beliaulah yang menggantikan kakek mertuanya tersebut.Sama seperti Kiai Ta'rif,Mbah Muta'ad juga melanjutkan jejak langkah kakek mertuanya,yaitu Mbah Muqoyim.

Dari segi usia antara Raden Rangga Nitipraja,Kiai Takrifudin dan Mbah Mutaad memang tidak jauh berbeda.Tempat tinggal ketiganyapun berdekatan,sehingga pertemuan ketiganya dalam melanjutkan gerak langkah perjuangan para pendahulunya lebih sering dilakukan.Karena hal tersebut ketiganya sering disebut sebagai tiga serangkai kedua.Selain ketiganya,tentu saja masih banyak anak dan cucu atau menantu Kiai Ardisela Buntet,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela yang turut serta melanjutkan perjuangan ketiganya.Raden Rangga Nitipraja,Kiai Ta'rif,dan Kiai Muta'ad,ketiga orang inilah yang dikenal sebagai orang-orang yang berada di garda terdepan dalam melanjutkan perjuangan para pendahulu mereka tersebut.

Sebagai bentuk persahabatan dan kebersamaan ketiganya dalam berjuang,di kemudian hari mereka saling menikahkan anak-anak  mereka.Raden Rangga Nitipraja menikahkan putranya yang bernama Raden Raksa dengan putri Kiai Ta'rif yang bernama Nyai Sofroh atau Masufroh.Sementara Mbah Muta'ad juga mengambil menantu dari putri Kiai Ta'rif untuk putranya yang bernama Kiai Soleh yang di kemudian hari mendirikan Pesantren Benda Kerep Kota Cirebon.

Di era tiga serangkai ini Pesantren Buntet yang berada di bawah kepemimpinan Mbah Muta'ad semakin memperlihatkan kemajuannya dengan berbagai macam terobosan terbaru yang dibuatnya.Setelah anak-anaknya beranjak dewasa,anak dan menantunya juga ada yang membuka pesantren baru,seperti Pesantren Benda Kerep,dan Gedongan.Sementara itu Pesantren Pemijen yang didirikan oleh Kiai Ta'rif juga semakin banyak kedatangan santri untuk belajar ilmu agama.Pesantren Tuk yang didirikan oleh Mbah Muqoyim masih tetap berlanjut di bawah asuhan anak dan menantu Kiai Gozali.

Pesantren Buntet adalah sebuah pesantren yang lebih terbuka pada pengaruh luar dan hal-hal baru, dan mau menerima pada hal-hal yang lebih modern dan dari waktu ke waktu sangat memperhatikan perkembangan pesantrennya.Sementara itu Pesantren Pemijen dan Tuk  adalah pesantren salaf atau tradisional yang mengajarkan aneka ilmu agama termasuk tasawuf yang mempertahankan pesantrennya dari pengaruh luar.Hal inilah yang di kemudian hari mempengaruhi langkah Kiai Soleh untuk membuka Pesantren Benda Kerep.
Di lain bidang,Raden Rangga Nitipraja tetap fokus dengan tugasnya sebagai seorang pemimpin wilayah melanjutkan kepemimpinan Mbah Raden Ardisela.Beliau menetap di Tuk Karangsuwung dan tetap menjadikan desa ini sebagai pusat pertemuan untuk membahas dan menyusun aneka strategi dakwah dan perjuangan,bersama Kiai Ta'rif dan Mbah Mutaad,beserta tokoh-tokoh lainnya.

Sabtu, 17 Juni 2017

Jalan Kereta Api,Jalan Penghubung Tuk dan Karangsuwung

Jalan Kereta Api,Jalan Penghubung Tuk Karangsuwung dan Karangsuwung

Setelah beberapa lama tinggal di Karangsuwung,akhirnya Mbah Raden Ardisela memilih untuk tinggal di daerah Karang Panas atau Sida Parta yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Desa Tuk Karangsuwung.Di Tuk ini akhirnya beliau membangun rumah dan hidup bersama istri dan kedua orang anak perempuannya.

Saat Mbah Raden Ardisela pindah ke Tuk belum ada jalan kereta api seperti sekarang ini,sehingga antara Karangsuwung dan Tuk masih merupakan satu wilayah yang tak terpisah dan masih menyatu, tak seperti setelah ada jalan kereta api.Ketika itu perjalanan dari Karangsuwung dan desa-desa lainnya di sekitar Karangsuwung menuju Tuk,Sindang Laut atau Cirebon biasanya melalui jalan umum yang sekarang ini sudah berganti menjadi jalan kereta api.Jarak yang ditempuh dari jalur ini memang lebih dekat dan bisa mempersingkat waktu tempuh.

Di jalan yang menghubungkan Tuk dan Karangsuwung ini terdapat sebuah sungai yang mengalir dari arah Gunung Ciremai menuju Laut Cirebon.Penduduk biasanya melewati jembatan di atas sungai yang menghubungkan bagian induk desa (Karangsuwung) dan bagian anak desa (Tuk).Keberadaan sungai yang sekarang ini berada di bawah jembatan kereta api, saat itu terbilang bersih dan seringkali digunakan untuk mandi,mencuci pakaian dan aneka perabot rumah tangga,dan lain sebagainya.

Jalan kereta api Cirebon yang melintasi Tuk Karangsuwung dan Karangsuwung ini baru dibangun sekitar tahun 1888 hingga 1900 an,puluhan tahun setelah Mbah Raden Ardisela wafat.Saat itu pihak Belanda hanya meminta tanah penduduk tanpa memberikan ganti rugi.Setelah ada jalan kereta api ini,antara Tuk dan Karangsuwung masih tetap menjadi satu desa yaitu Desa Karangsuwung namun dengan keadaan wilayah yang terpisah.Rumah-rumah penduduk yang semula ada di seberang sungai akhirnya dipindahkan ke bagian Tuk dan tanahnya dirubah menjadi perkebunan atau persawahan.

Keadaan terpisah antara Tuk dan Karangsuwung ini berlangsung hingga berpuluh tahun lamanya.Kalau ingin berjalan kaki ke desa induk,biasanya masyarakat Tuk lebih memilih jalan kereta sebagai jalan utama karena lebih dekat dan lebih cepat sampai.Tapi jika naik sepeda,motor,dokar,atau mobil,biasanya akan menempuh jalur berputar melewati desa-desa lainnya,melewati beberapa desa di sekitarnya seperti Leuwidingding dan Picungpugur (selatan) atau Lemahabang dan Sarajaya (utara).Karena dinilai kurang efektif secara lokasi dan administrasi,maka akhirnya Desa Karangsuwung ini dimekarkan menjadi dua desa sekitar tahun 1980 an,yaitu menjadi Desa Karangsuwung dan Desa Tuk Karangsuwung.

Sabtu, 13 Mei 2017

Buntet,Sindang Laut,Tuk Karangsuwung dan Pesawahan

Buntet,Sindang Laut,Tuk Karangsuwung dan Pesawahan

Suatu saat Pesantren Buntet yang sudah dicurigai oleh penjajah Belanda dikepung oleh mereka.Untunglah,kejadian ini sudah diketahui oleh orang-orang yang dekat dengan Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Mengetahui itu,Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela beserta keluarga segera menyelamatkan diri dan pergi menuju ke Pesawahan,tempat di mana adik Mbah Muqoyim yang bernama Kiai Ismail tinggal.Pihak penjajah yang kesal karena tak mendapati kedua ulama itu segera membakar pesantren milik Mbah Muqoyim dan menembak dengan cara membabi buta,sehingga mengenai santri dari desa sekitar yang kebetulan berada di sekitar tempat kejadian.

Kisah lain menceritakan jika Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela dikepung oleh penjajah.Untunglah keduanya berhasil menyelamatkan diri.Para penduduk serta santri menjadi kalang kabut dibuatnya.Bahkan santri Mbah Muqoyim ada yang tewas dalam penyerbuan itu.Saat dikejar penjajah dari Buntet, Mbah Muqoyim menyelamatkan diri ke Pesawahan,sebuah desa di mana adik laki-lakinya yang bernama Kiai Ismail  tinggal.

Selama di Pesawahan,Kiai Muqoyim dan Kiai Ardisela mengajar aneka ilmu pengetahuan agama,ketatanegaraan dan juga kanuragan kepada para santri yang diasuh oleh Kiai Ismail.Lambat laun akhirnya pihak penjajah berhasil juga mencium keberadaan Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Saat Kiai Ismail sedang mengadakan sebuah acara yang menampilkan para santri,pihak penjajah kembali mengepung dan hendak menangkap Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Saat acara berlangsung banyak dihadiri oleh para undangan,termasuk para ulama,pejabat,santri dan masyarakat,termasuk turut hadir juga Mbah Raden Ardisela dan putra Sultan Kanoman yang di kemudian hari menjadi Sultan Kacirebonana pertama.Ketika pihak penjajah hendak menangkap Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela,semua ikut menghalanginya,hinga akhirnya terjadilah pertempuran hebat.Kemampuan Kiai Ardisela ditambah para pejuang lainnya membuat pihak musuh kalang kabut.Belandapun akhirnya kalah dan banyak serdadunya yang tewas.

Setelah merasa Pesawahan tidak aman,Mbah Muqoyim dan Kiai Ardiselapun memutuskan untuk pindah kembali.Mbah Muqoyim berniat pergi ke Pemalang,sementara Kiai Ardisela memutuskan untuk pergi ke Indramayu.Hal ini dilakukan agar pihak penjajah tak lagi mengejar mereka berdua.Atas ajakan Mbah Raden Ardisela,Mbah Muqoyim pergi ke Tuk Sindang Laut dulu,menunggu situasi aman.Sementara Kiai Ardisela langsung ke Indramayu.Di Tuk Sindang Laut ini Mbah Muqoyim tinggal beberapa lama,dekat dengan Mbah Raden Ardisela dan kerabat lainnya.Mbah Muqoyimpun tinggal dan mengajar aneka ilmu agama.

Mbah Muqoyim sempat mendirikan surau atau mushola kecil di Tuk Lor yang sekarang ini letaknya tidak terlalu jauh dari Stasiun Kereta Api Sindang Laut,yang digunakan sebagai tempat sholat dan mengajar santri yang datang dari Lemahabang,Sindang Laut,dan sekitarnya.Selain mushola,beliau juga mendirikan pesantren yang di kemudian hari diteruskan oleh keturunannya.Sayangnya pesantren yang letaknya tidak terlalu jauh dari makam Mbah Muqoyim ini sudah tak berdiri lagi dan ditutup sekitar tahun 1940 an M,sebelum masa kemerdekaan.Salah satu Kiai yang dikenal luas dari pesantren ini adalah Kiai Kamali, yang sekarang ini namanya digunakan sebagai nama gang menuju mushola peninggalan Mbah Muqoyim.

Selain mushola Tuk Lor yang sekarang ini sudah masuk ke wilayah Desa Lemahabang,beliau juga mendirikan mushola bersama masyarakat Sindang Laut,di mana di kemudian hari mushola ini dijadikan masjid,yang letaknya sekarang ini berada di sebelah timur jalan Sindang Laut-Asem (dikenal dengan nama Blok Segogan).Di Tuk sendiri,tepatnya di Blok Muara Bengkeng Mbah Raden Ardisela meminta pegawainya untuk membuatkan sebuah kolam ikan untuk Mbah Muqoyim.Hal ini konon dilakukan oleh Mbah Raden Ardisela karena beliau tahu jika Mbah Muqoyim sangat suka ikan.Untuk mengalirkan airnya dibuatlah parit kecil dari sungai menuju kolam ikan.

Pihak penjajah yang terus mencari tahu keberadaan Mbah Muqoyim akhirnya berhasil menemukan jejaknya kembali.Mbah Muqoyim yang sedang berada di rumah Mbah Raden Ardisela segera diselamatkan olehnya.Penjajah yang mengejar ke Tuk mencecar Mbah Raden Ardisela tentang keberadaan Mbah Muqoyim.Berkat kepandaian Mbah Raden Ardisela dalam berdiplomasi,akhirnya pihak Belanda meyakini jika Mbah Muqoyim tak ada di Tuk.

Karena keberadaannya masih menjadi incaran Belanda,Mbah Muqoyim akhirnya memutuskan untuk segera pergi ke Pemalang Jawa Tengah,hingga keadaan benar-benar aman untuk dirinya.Setelah dirasa aman dan juga kehadirannya dibutuhkan oleh banyak masyarakat,beberapa tahun kemudian akhirnya Mbah Muqoyim kembali lagi ke Cirebon untuk melanjutkan dakwah dan perjuangannya bersama para pejuang lainnya.

Buntet,Sindang Laut,Tuk Karangsuwung dan Pesawahan memang tak dapat dipisahkan dari kisah perjuangan Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela.

Pemakaman Tuk Lor Tuk Karangsuwung

Pemakaman Tuk Lor Tuk Karangsuwung

Pemakaman Tuk Lor Tuk Karangsuwung adalah pemakaman yang sudah berusia tua.Ada yang berpendapat bila pemakaman ini adalah bekas petilasan atau bekas pesantren Mbah Muqoyim,namun ada juga yang berpendapat jika pemakaman ini adalah pemakaman yang sudah ada sejak sebelum Mbah Muqoyim dimakamkan di sini.

Pendapat yang mengatakan jika pemakaman Tuk Lor memang sudah ada sebelum Mbah Muqoyim dimakamkan di pemakaman ini diperkuat karena alasan desa yang berbatasan langsung dan usianya jauh lebih tua dari Desa Tuk Karangsuwung,yaitu Desa Lemahabang tidak mempunyai pemakaman yang lebih luas dari pemakaman Tuk Lor ini,padahal penduduk desa tersebut sejak dulu jauh lebih banyak dari penduduk Tuk Karangsuwung.Sejak dari dulu pula banyak warga desa tersebut yang dimakamkan di makam Tuk Lor ini.

Mbah Muqoyim memang pernah menetap di Tuk Karangsuwung dan Sindang Laut untuk beberapa lama,namun bukan di tempat yang sekarang ini dikenal sebagai Pemakaman Tuk Lor.Tempat tinggal dan pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyim berada di dekat makam ini,tepatnya di sebelah utara makam.Mbah Muqoyim dan beberapa keturunannya sendiri banyak yang dimakamkan di Pemakaman Tuk Lor ini.Hal ini berlanjut hingga cucu Mbah Muqoyim.Setelah ada makam Gajah Ngambung Pesantren Buntet di masa Kiai Haji Abdul Jamil Bin Kiai Mutaad,maka tak ada lagi keturunan Mbah Muqoyim dari Pesantren Buntet yang dimakamkan di Pemakaman Tuk Lor ini.

Sebelum makam Gajah Ngambung Buntet dibuka,para ulama atau keluarga Buntet Pesantren yang meninggal biasanya akan dimakamkan di pemakaman Tuk Lor ini.Sebagian jenazah ada yang sudah dimandikan dan disholatkan di Buntet,namun tak sedikit pula yang dimandikan dan disholati di Tuk Karangsuwung.Tujuan orang yang tidak mempunyai keluarga yang dimakamkan di pemakaman Tuk Lor apabila berziarah ke tempat ini adalah berziarah ke makam Mbah Muqoyim.

Pesarean Cilik (Pemakaman Kecil) Tuk Karangsuwung

Pesarean Cilik (Pemakaman Kecil) Tuk Karangsuwung

Di seberang sungai dekat bekas Keraton Raden Rangga Nitipraja yang berada di timur Masjid Keramat Mbah Raden Ardisela,terdapat sebuah pemakaman kecil yang biasa disebut pesarean cilik.Di pesarean cilik ini hanya ada beberapa makam saja.Ada yang mengatakan bila makam-makam tersebut adalah makam senjata,makam harta karun,dan makam manusia.

Beberapa kali ada orang yang mencoba menggali makam-makam yang ada di pesarean cilik ini,karena mereka meyakini jika makam-makam yang ada di sini menyimpan harta Karun.Hal ini diketahui dari beberapa makam yang rusak di siang hari.Tak ada harta karun atau benda apapun di dalamnya,karena makam-makam ini memang tidak berisi benda-benda berharga seperti yang dipercayai atau diisukan oleh beberapa orang.

Menurut cerita turun-temurun,pesarean cilik ini sebenarnya adalah makam-makam para pejuang yang gugur ketika berperang melawan Penjajah Belanda.Pesarean cilik ini dibuat semasa Mbah Raden Ardiselamasih hidup dan belum ada makam Mbah Raden Ardisela seperti sekarang ini.Setelah Mbah Raden Ardisela wafat,barulah pemakaman berpindah dari pesarean cilik ke pemakaman yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Pemakaman Keramat Mbah Raden Ardisela yang sebelumnya merupakan halaman rumah atau halaman keraton milik Mbah Raden Ardisela.

Pendapat lain menyatakan jika pesarean cilik adalah tempat dimakamkannya para pekerja kereta api yang wafat saat bekerja membangun rel kereta api.Karena mereka berasal dari tempat yang jauh dan tak mungkin dipulangkan,maka akhirnya diputuskan jika mereka yang wafat saat bekerja membangun rel kereta api akan dimakamkan di tempat terdekat.Dan pesarean cilik adalah salah satunya,di mana di tempat inilah para pekerja pembangunan jalan kereta api  yang wafat dimakamkan.Hal ini terjadi di sekitar awal tahun 1900 an.

Keberadaan pesarean cilik ini semakin ditinggalkan dan semakin tidak diperhatikan oleh warga Tuk Karangsuwung.Lambat laun pesarean cilik semakin tak dihiraukan keberadaanya.Hal ini karena memang tempatnya yang terpencil,berada di tengah-tengah kebun dan sawah yang jarang dilalui oleh masyarakat umum.

Jumat, 28 April 2017

Membandingkan Diri dengan Diri Sendiri

Membandingkan Diri dengan Diri Sendiri

Dulu,saat saya kecil saya sering sekali membandingkan Diri Sendiri dengan orang lain,terutama dengan teman-teman.Membandingkan kepandaian,kekayaan,kebahagiaan,dan lain sebagainya.Ada saat selalu bahagia saat membandingkan diri dengan orang lain,ada kalanya juga sedih menghinggapi.

Saat saya membandingkan diri dengan anak-anak yang lain yang dapat nilai rendah padahal sudah belajar mati-matian,semnetara saya mendapat nilai bagus atau lebih tinggi tanpa harus lelah belajar seperti mereka.Di sini saya merasa bangga.Saya merasa senang karena berarti saya termasuk anak yang pintar atau minimal beruntung.

Saat saya membandingkan dengan teman saya yang lebih pintar,saya merasa sedih karena saya kalah pintar.Rasanya ingin sekali saya seperti mereka yang lebih pintar dari saya,tanpa mau tahu akan apa yang sudah mereka lakukan.Mereka bekerja keras,sementara saya asik bersantai-santai.

Selalu saja membandingkan diri dengan orang lain sampai saya lupa membandingkan diri dengan diri sendiri.Membandingkan diri dengan diri sendiri?,ya,dengan diri sendiri.

Kenapa saya tidak membandingkan diri saya dengan diri sendiri?,padahal bila itu saya lakukan dari semenjka anak-anak mungkin saya akan lebih berhasil,atau minimal saya sudah maksimal dengan segala usaha dan do'a.Tapi semuanya tidak pernah saya lakukan dari dulu.

Saya lupa membandingkan diri teman-teman saya yang tidak pandai dengan diri mereka sendiri.Bagaimana jadinya kalau mereka tidak belajar,mungkin mereka akan dapat nilai yang lebih rendah.Sudah berjuang dengan belajar saja mereka mendapat nilai kecil,apalagi tidak belajar.Saya juga lupa membandingkan diri  teman-teman saya yang pintar dengan diri mereka sendiri.Apakah mereka akan tetap dapat nilai bagus saat mereka tidak belajar?.

Kenapa saya lupa membandingkan diri saya yang tidak belajar dengan saya yang belajar.Bisa dibayangkan bila saat kecil dulu saya rajin belajar,bisa saja saya mendapat nilai yang bagus,minimal mendekati nilai-nilai yang diperoleh anak-anak yang lebih pintar dari saya.Seharusnya saya harus membandingkan diri saya yang tidak belajar dengan diri saya yang belajar.Bila saja dari dulu saya rajin belajar,Insya Allah saya akan mendapatkan lebih daripada yang sudah saya dapatkan selama ini.

Sayangnya saya terlena,sehingga cuma bisa membandingkan diri saya dengan orang lain yang tidak lebih dari saya demi kesenangan sendiri.Saya lupa membandingkan diri dengan diri saya sendiri.Pantaslah dari dulu saya tak mau berusaha lebih keras untuk menggapai sesuatu yang lebih baik,sehingga hasil yang saya perolehpun tak lebih baik,dibandingkan jika saya berusaha dengan lebih giat lagi.

Selasa, 25 April 2017

Makam P. Suci Manah,P. Sapu Jagat,P. Jagasatru

Makam P. Suci Manah,P. Sapu Jagat,P. Jagasatru

Di kawasan Jagasatru yang tak jauh dari pusat perdagangan ada tiga buah Makam dalam satu area yang yang sering diziarahi oleh para peziarah.Makam tersebut adalah makam P. Suci Manah,P. Sapu Jagat,dan P. Jagasatru.M mereka semua adalah para penyebar Islam sekaligus pejuang.P. Suci Manah sendiri diketahui sebagai pendiri sebuah pesantren di kawasan Graksan Cirebon.

Apabila hendak berziarah ke makam ini,para pengunjung bisa dengan mudah menemukannya,karena ada beberapa angkot yang melewati daerah ini.Dari terminal bisa naik becak atau ojek,atau juga angkot tapi harus dua kali atau satu kali tapi harus berjalan terlebih dulu untuk sampai ke rute angkot.Angkot Jurusan Gunung Sari-Sumber atau Gunung Sari-Ciperna melewati kawasan Makam ini.Kalau dari Perumnas bisa naik angkot jurusan yang lewat daerah Jagasatru.Dari jalan raya atau Pasar Jagasatru letaknya tidak terlalu jauh,hanya beberapa puluh meter dan bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Ketiga makam ini ada di sebuah pemakaman yang jumlah makamnya tidak terlalu banyak.Di samping pemakaman ini ada sebuah Musholla yang biasa  digunakan untuk sholat,sehingga para peziarah dari luar kota tidak perlu takut kesulitan mencari tempat sholat.Pada bulan maulid biasanya makam ini semakin ramai dikunjungi oleh para peziarah,karena bertepatan dengan acara maulid di Keraton Cirebon yang banyak didatangi oleh banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia.


Makam P. Suci Manah,P.Sapu Jagat,dan P. Jagasatru 

Makam Ki Lobama

Makam Ki Lobama

Ki Lobama adalah salah seorang ulama yang dipercaya hidup sebelum era Gunung Jati.Nama aslinya sendiri bukanlah Ki Lobama,karena nama ini hanyalah sebagai nama julukan saja.Beliau adalah seorang ulama yang mempunyai banyak ilmu agama,maka karena itulah beliau mendapat julukan Ki Lobama alias Kiai yang loba (banyak) ilmu agama.

Makam Ki Lobama terdapat di Desa Mundu Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.Dari Kota Cirebon Makam Ki Lobama ini dapat dicapai dengan naik angkot jurusan Gunung Sari-Mundu,atau bila dari terminal bisa naik Elf jurusan Cirebon-Sindang,Cirebon-Losari,atau Cirebon-Babakan.Turun di depan Pasar Mundu,dilanjutkan naik ojek atau jalan kaki.Dari Pasar Mundu letak  makamnya tidak terlalu jauh.

Suasana makam Ki Lobama bernuansa tempo dulu dengan bata-bata tua.Di depan makam ada sebuah pendopo,halaman dan pintu masuk yang unik,sementara di belakang makamnya terdapat sebuah bangunan yang menyerupai candi yang terbuat dari batu bata.

Selain makam Ki Lobama,di pemakaman ini juga banyak terdapat makam lainnya,baik yang sudah tua ataupun baru,termasuk ada juga makam anak dari Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Brata Kelana.


Makam Ki Lobama 

Jumat, 21 April 2017

Sejarah Para Ardisela

Sejarah Para Ardisela

Ternyata nama Ardisela itu tidak hanya merujuk pada satu orang saja,melainkan merujuk pada beberapa orang berbeda yang menggunakan nama Ardisela ini.Nama Ardisela ini memang ada yang nama asli,nama julukan,atau nama gelar.Nama-nama Ardisela mempunyai kisah tersendiri dan sering kali digunakan sebagai taktik untuk mengelabui pihak Belanda.

Pangeran Alas putra dari Panembahan Girilaya Sultan terakhir sebelum Kesultanan terpecah menjadi dua,diketahui juga mempunyai nama Ardisela.Nama lengkapnya adalah Pangeran Alas Ardisela.Menurut informasi,makam beliau ada di Desa Luwung Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon,satu area dengan makam Pangeran Luwung yang merupakan saudara sepuh sekaligus gurunya dalam berbagai bidang ilmu.

Di Cirebon sekitar tahun 1700 hingga pertengahan 1800 an ada beberapa orang yang menggunakan nama Ardisela.Di Tuk Karangsuwung ada Mbah Raden Ardisela yang merupakan putra Demang Bratanata.Nama kecilnya adalah Raden Rustam,sedangkan nama yang tercatat di Keraton bukan Ardisela atau Rustam.Selain Mbah Raden Ardisela Tuk Karangsuwung,ada juga Kiai Ardisela dan Pangeran atau Raden Ardisela lainnya.Mereka semua adalah orang-orang yang berbeda,ada yang keturunan Syarif Hidayatullah,keturunan Sunan Kalijaga,dan lain sebagainya.

Di Indramayu,tepatnya di Desa Sleman Kecamatan Sliyeg ada makam Ardisela.Ada yang mengatakan jika Makam tersebut hanyalah petilasannya saja,namun ada juga yang meyakini jika makam tersebut benar-benar makam orang yang mempunyai nama Ardisela.Menurut sebagian orang-orang keturunan Pesantren Buntet,Pemijen,Dongkol,dan beberapa pesantren lainnya di Cirebon,makam Ardisela yang berada di Desa Sleman ini adalah makam Kiai Ardisela Buntet,yang tak lain adalah teman seperjuangan dan sekaligus adik ipar Mbah Muqoyim.Di Cirebon sendiri selain nama Raden Ardisela Tuk,ada juga nama Kiai Ardisela Buntet atau Dawuan Sela yang sering disebut oleh sesepuh terdahulu.Kiai Ardisela Buntet inilah yang makamnya ada di Desa Sleman tersebut.Sementara pendapat lain mengatakan makam Kiai Ardisela berada di Tuk Karangsuwung juga,tepatnya berdekatan dengan makam Mbah Muqoyim.Sementara pendapat lain mengatakan jika makam Ardisela yang berada di area yang tidak jauh dari makam Mbah Muqoyim adalah makam Kiai Ardisela Gozali,yang tak lain adalah menantu Mbah Muqoyim.

Dalam buku 'Perlawanan Dari Tanah Pengasingan' hal 16 disebutkan Kiai Ardisela ini menikah dengan adik Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Alfan,yang akhirnya dikaruniai dua anak yaitu Kiai Muhamad Imam dan Nyi Kapiyun.Kiai Muhamad Imam sendiri pada akhirnya banyak menurunkan ulama yang turut membantu perkembangan pesantren-pesantren di Cirebon,terutama di Pesantren Buntet dan Benda.Salah satu cicit Kiai Ardisela dengan Nyi Alfan yang dikenal banyak orang sebagai ulama adalah Kiai Anwarudian alias Kiai Kriyan.

Nyai Kapiun putri Kiai Ardisela dan Nyai Alfan ini menikah Dengan Kiai Mas Khanafi Jaha atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah atau Buyut Jaha.Buyut Jaha sendiri sebenarnya orang yang dulunya sering disebut dengan sebutan Ardisela juga,yaitu Ardisela Jaha.Makam Mbah Buyut Jaha ini ada di Desa Sampiran,Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon.

Di daerah Kuningan juga ada makam Ki Ageng Ardisela,tepatnya berada di Desa Cirea,Kecamatan Mandirancan Kuningan.


Di Cirebon nama Ardisela ini ada lebih dari satu namun hanya beberapa saja yang kisah dan makamnya diketahui.Di Blok keradenan Desa Sindangmekar Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon juga ada makam dengan nama Ardisela.Namun sedikit orang yang mengetahuinya.Dukupuntang dulunya memang dikenal sebagai basis perjuangan para pejuang,baik dari keluarga keraton,ulama,dan mayarakat umum lainnya yang hendak menyusun strategi dalam melawan penjajah.

Di Sumedang ada Ardisela yang merupakan seorang ulama yang juga seorang pejuang.Usia dan masa hidupnya diperkirakan tak jauh dengan Ardisela yang lainnya.Nama beliau adalah Pangeran atau Raden Asyrofudin,yang merupakan keturunan Sultan Kasepuhan.Beliau ini dikenal sebagai pendiri Pesantren Ardisela Singa Naga,yang sekarang ini namanya sudah berganti menjadi Pondok Pesantren Asyrofudin.

Di Banyuwangi dan Pekalongan ada juga makam seorang pejuang yang bernama Ardisela,namun entah ada kaitannya dengan Ardisela yang berada di Cirebon,Indramayu,Sumedang,Kuningan atau tidak.Menurut sebuah sumber,saat itu para pejuang yang menggunakan nama Ardisela diketahui jati dirinya dan diminta pergi meninggalkan Cirebon,agar tidak ada lagi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka dan para pejuang lainnya.

Senin, 17 April 2017

Belajar dari Mbah Fanani dan Masyarakat Dieng

Belajar dari Mbah Fanani dan Masyarakat Dieng

Ketika Mbah Fanani datang ke Dieng,tak seorangpun tahu siapa beliau,asal usulnya,kedudukannya,dan lain sebagainya.Yang orang tahu adalah Mbah Fanani hidup seorang diri tanpa sanak saudara, tanpa harta atau benda.Melihat Mbah Fanani dengan pakaian ala kadarnya,tak bertempat tinggal dan entah makan dari mana,orang-orang yang melihatnya menjadi iba dan perduli,ketulusan mereka diuji.

Pada akhirnya mereka memberikan tempat berteduh untuk Mbah Fanani,memberinya makan,pakaian dan lain sebagainya,dan tentu saja semua itu mereka lakulan tanpa mengharap apapun,apalagi meminta balasan dari Mbah Fanani.Sungguh sebuah cerita yang indah,di mana orang-orang begitu peduli pada Mbah Fanani yang menurut mereka hanya orang biasa,bukan siapa-siapa dengan segala cerita dan embel-embelnya.

Lambat laun banyak orang mendatangi Mbah Fanani,konon hal ini mereka lakukan karena mereka mengetahui kelebihan-kelebihan beliau.Cerita yang dulu hanya diketahui dari mulut ke mulut dan di kalangan keluarga serta kerabatnya saja,di era internet dan medsos ini ceritanya menjadi begitu cepat menyebar.Mbah Fanani menjadi sebuah fenomena dan semakin banyak saja orang-orang yang berlomba mendatanginya.Mereka yang datang tentu saja dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.Ada yang bertujuan baik,namun tak sedikit juga yang bertujuan kurang baik.Ada yang sekedar sowan atau bersilaturohim,namun tak sedikit pula yang berharap banyak setelah menemuinya.

Mbah Fanani dan Masyarakat Dieng,sebenarnya mereka sedang mengajarkan kepada kita untuk perduli pada sesama,tanpa memandang status,tanpa memandang asal usul.Menolong orang yang perlu ditolong,perduli pada siapa saja.

Seandainya Mbah Fanani diketahui tak mempunyai kelebihan,masih adakah orang yang mau perduli padanya?,masih adakah orang yang mau mendatanginya untuk sekedar bersilaturohim?,asakah orang yang melakukan hal seperti apa yang dilakukan oleh masyarakat Dieng saat mereka memperlakukan Mbah Fanani,sejak pertama kali Mbah Fanani datang beberapa belas tahun lalu tanpa mereka tahu siapa Mabh Fanani yang sebenarnya.

Sepertinya saya harus banyak belajar pada Mbah Fanani dan masyarakat Dieng.Perduli dan ikhlas.

Minggu, 16 April 2017

Antara Keraton dan Pesantren di Cirebon

Mbah Raden Ardisela (20)

Keraton,bagaimanapun adalah sentral atau pusat peradaban Islam di Cirebon dan sekitarnya.Begitulah peran keraton dari masa ke masa,semenjak keraton Cirebon berdiri hingga beberapa generasi.Namun lambat laun peran keraton sebagai pusat peradaban Islam itu semakin terkikis,hal ini tidak terlepas dari pengaruh dan campur tangan penjajah Belanda dan penjajah dari bangsa lainnya.

Semenjak Belanda semakin turut campur tangan dalam kehidupan keraton,semenjak itu pula peran keraton sebagai pusat penyebaran ajaran Islam semakin redup.Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya putra dan putri keraton yang keluar dari lingkungan keraton,terutama para keturunan yang masih perduli pada ajaran Agama Islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

Pengaruh Belanda yang masih terlihat hingga kini adalah berupa benda-benda peninggalan Belanda yang memang sangat jauh sekali dengan nilai-nilai Islam.Contoh yang masih ada adalah gambar-gambar di keramik yang terdapat di makam Sunan Gunung Jati.Beberapa keramik khas Belanda tersebut bergambar wanita dengan busana sedikit telanjang,hingga tulisan ini dibuat keramik bergambar tak senonoh itu masih terdapat di tembok bagian luar makam Sunan Gunung Jati.

Banyaknya keturunan keraton yang keluar dari kehidupan keraton memang tak selalu berdampak negatif,karena hal tersebut bisa menjadi berkah tersendiri,baik untuk keraton maupun untuk masyarakat pada umumnya,karena tak sedikit dari keturunan keraton yang akhirnya mendirikan pesantren.Kalaupun dari mereka tidak mendirikan pesantren,paling tidak mendorong dan membantu orang lain untuk mendirikan pesantren.

Pesantren Buntet adalah salah satu contoh pesantren yang didirikan oleh seorang ulama keturunan Syekh Syarif Hidayatullah yang bernama Mbah Muqoyim.Hal ini sebagai bentuk protes dan juga perlawanannya kepada penjajah Belanda yang membuatnya memilih meninggalkan jabatannya sebagai Mufti di Keraton Kanoman.Sementara keturunan Syekh Syarif Hidayatullah lainnya yang bernama Mbah Raden Ardisela membantu perjuangan Mbah Muqoyim dengan sepenuh jiwa.

Ketika terjadi pergolakan di Keraton Kanoman,Mbah Muqoyim beserta para ulama dan santri turut membantu.Putra mahkota yang saat itu diasingkan di luar Jawa akhirnya dikembalikan ke Cirebon dan diberikan kembali haknya.Putra Sultan tersebut hingga kini keturunannya memimpin Keraton Kacirebonan.
Selain Pesantren Buntet,secara bertahap di Cirebon dan sekitarnya sendiri berdiri banyak pesantren yang didirikan oleh ulama-ulama yang masih merupakan keturunan Syekh Syarif Hidayatullah baik dari jalur laki-laki atau perempuan,di mana pesantren-pesantren tersebut tidak saja didatangi oleh santri dari Cirebon dan sekitarnya,tetapi juga dari daerah-daerah lainnya yang terbilang jauh dari Cirebon.Beberapa pesatren tersebut antara lain adalah Pesantren Babakan Ciwaringin,Pesawahan,Tuk Karangsuwung (samping stasiun/dekat makam),Benda Kerep,Gedongan,Kempek,Balerante,dan lain sebagainya.

Walau sudah keluar dari keraton,para putra dan putri keturunan keraton  tetap masih perduli pada keraton beserta dinamika yang menyertainya.Begitu juga dengan para ulama keturunan keraton,mereka masih tetap perduli pada keraton hingga membuat beberapa dari mereka akhirnya kembali bekerja dan merawat  keraton,karena bagaimanapun keraton adalah warisan yang perlu dipelihara dan perlu dijaga kelanjutannya,terutama demi menjaga nilai-nilai ajaran Agama Islam,agar pengaruh negatif penjajah tak semakin merajalela.

Keraton dan pesantren-pesantren yang didirikan oleh ulama-ulama keturunan keraton  benar-benar sudah terpisah sesuai dengan latar belakang dan tujuan masing-masing.Keraton ramai dengan aneka kegiatan budayanya,sementara pesantren ramai dengan aneka kegiatan pendidikan dan keagamaanya.Keraton dan pesantren berjalan sendiri-sendiri namun satu sama lain tetap saling melengkapi.

Makam Buyut Bodri (Kanci)

Makam Buyut Bodri (Kanci)

Selain makam Demang dan makam Sanga,di Kanci juga ada makam lain yang kerap dikunjungi oleh para peziarah,yaitu makam Mbah Buyut Bodri.Nama Buyut Bodri sendiri adalah Pangeran Tunggal Melayu Menurut kisah beliau adalah anak dari Pangeran Kuda Pangrawit yang berasal dari kerajaan Mataram.Saat itu beliau pergi ke arah barat Jawa untuk belajar Agama Islam bersama kedua adiknya,yaitu Nyi Mas Arum Sari (dilkenal juga dengan sebutan Nyi Mas Cempaka Mulya yang makamnya berada di Desa Keraton-Celancang),dan Raden Saputra.

Menurut juru kunci makam,Buyut Bodri hidup sezaman dengan Ki Lobama yang makamnya ada di Mundu Mesigit. Beliau hidup di era sebelum Syarif Hidayatullah.

Untuk mencapai Makam Buyut Bodri tidaklah susah,dari Cirebon naik saja mobil jurusan Sindang Laut dan turun di masjid atau balai desa Kanci Kulon.Dari jalan raya Kanci letak makam Buyut Bodri ini tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Makam Buyut Bodri sendiri terbilang bersih,sudah beratap dan nyaman untuk para peziarah yang hendak berziarah.

Senin, 10 April 2017

Makam Pangeran Drajat

Makam Pangeran Drajat

Di daerah Drajat Kota Cirebon terdapat sebuah makam yang sebenarnya adalah petilasan dari Pangeran Drajat atau Sunan Drajat yang juga sering diziarahi oleh banyak peziarah dari berbagai daerah,tak hanya dari Cirebon saja.Petilasan Pangeran  Drajat terletak di sebuah pemakaman di belakang masjid yang biasa disebut Masjid Drajat.Selain petilasan Pangeran Drajat,di sini ada makam Nyi Mas Ageng Pancuran dan makam Pangeran Sifat Luhung yang merupakan santri dari Pangeran Drajat yang melanjutkan Syiar ajaran Islam yang sudah dilakukan oleh Pangeran Drajat.

Di makam dengan nuansa warna merah yang berada di tengah-tengah Kota Cirebon ini terbilang bersih dan rapih,sehingga membuat betah dan tenang para peziarah.Di sekeliling bangunan utama makam ini sudah padat dengan makam-makam lainnya.

Untuk mencapai pemakaman ini sangat mudah,dari Terminal Harjamukti Kota Cirebon bisa dicapai dengan ojek atau becak dengan biaya yang tidak terlalu mahal.Beberapa angkot yang melewati makam ini adalah angkot jurusan Gunung Sari-Sumber,Gunung Sari-Ciperna,dan beberapa angkot lainnya.


Makam Pangeran Drajat

Minggu, 09 April 2017

Makam Pangeran Suryanegara

Makam Pangeran Suryanegara

Pangeran Suryanegara adalah seorang ulama dan pejuang yang merupakan putra dari seorang Sultan Kasepuhan.Masa hidupnya beliau habiskan untuk berjuang melawan penjajah Belanda yang suka berbuat semena-mena terhadap rakyat dan juga terlalu banyak campur tangan dalam urusan Keraton Kasepuhan.

Makam Pangeran Suryanegara terletak di kawasan Wanacala,Harjamukti Kota Cirebon.Makam beliau dapat ditempuh melewati jalan antara Cirebon-Kuningan.Untuk mencapai Makam ini tidaklah susah,karena letaknya yang strategis dan tidak terlalu jauh dari jalan umum.Untuk mencapai lokasi ini para peziarah bisa naik Elf atau bus jurusan Cirebon-Kuningan,atau angkot jurusan Gunung Sari-Ciperna.Turun di Wanacala,dilanjutkan dengan jalan kaki beberapa puluh meter saja dari jalan raya.

Komplek pemakaman Pangeran Suryanegara terbilang bersih,rapih dan rindang.Suasana bangunan jaman dahulu berpadu dengan bangunan masa kini.Makamnya sendiri berada di sebuah bangunan yang dikelilingi makam-makam lainnya, baik itu Makam keluarga,keturunan,maupun makam lainnnya yang berada di luar bangunan.


Makam Pangeran Suryanegara


Makam-makam lain yang berada di sekeliling Makam utama

Makam Mbah Kiai Ta'rifudin (Pemijen-Asem)

Makam Mbah Kiai Ta'rifudin (Pemijen-Asem)

Mbah Ta'rifudin adalah seorang ulama sekaligus pejuang yang dianggap sebagai waliyullah oleh banyak orang.Beliau adalah pendiri Pesantren Pemijen Desa Asem Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon.Masa hidup beliau bersamaan dan berjarak tidak jauh dengan Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela.

Mbah Kiai Ta'rifudin sendiri dikenal sebagai ulama yang mempunyai menantu yang juga dikenal sebagai ulama-ulama  saat itu.Beliau tercatat sebagai mertua beberapa Kiai di Cirebon di tahun 1800 an,seperti Mbah Sholeh Pesantren Benda,Mbah Raden Raksa Tuk Karangsuwung,dan beberapa ulama lainnya di Cirebon.Beliau adalah leluhur para kiai di Pesantren Buntet,Benda Kerep,Kempek,Gedongan,dan Pemijen sendiri.

Mbah Ta'rifudin dikenal sebagai ulama yang tidak mau bekerjasama dengan Penajajah.Beliau juga dikenal sebagai seorang ulama tasawuf yang tidak suka dengan kehidupan dunia.Pesantren yang didirikannya pun jauh dari kesan mewah,bahkan setelah seabad lebih kepergiannyapun pesantrennya tetap tak jauh berubah,masih tetap sederhana.

Makam Mbah Kiai Ta'rifudin atau yang biasa dikenal dengan nama Mbah Ta'rif berada di Desa Asem.Dari Cirebon Makam ini bisa dicapai dengan naik Elf jurusan Cirebon-Sindang Laut.Setelah berhenti di Cipeujeuh,bisa dilanjutkan dengan naik mobil jurusan Sedong atau ojek ke Desa Asem.

Makam Mbah Kiai Ta'rifudin seperti makam orang kebanyakan.Tak ada kesan mewah atau istemewa.Ada bangunan tapi bukan menaungi makamnya,melainkan di sisi makamnya saja yang biasanya digunakan untuk orang-orang yang berziarah berteduh agar tidak kepanasan dan kehujanan.Pada hari-hari tertentu makamnya banyak diziarahi orang dari berbagai kalangan,terutama para ulama dan santri.


Makam Mbah Ta'rif