Selasa, 23 Januari 2018

Dua Guru Paling Berpengaruh Bagi Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela (32)

Mbah Raden Ardisela diketahui mempunyai dua guru yang paling berpengaruh dalam hidupnya.Yang pertama adalah Kiai Ardisela,guru masa mudanya,dan Mbah Muqoyim guru yang begitu akrab di usia dewasanya.Kedua tokoh itu benar-benar mempengaruhi kehidupan Mbah Raden Ardisela.
Kiai Ardisela yang ditemuinya saat Mbah Raden Ardisela masih terbilang muda dan sedang mencari jati diri,telah mengantarkannya pada pribadi yang tangguh.Gemblengan aneka ilmu yang diajarkan oleh Kiai Ardisela begitu membekas di hatinya.Ilmu agama dan ilmu kanuragan adalah dua ilmu yang intens dipelajari olehnya dari Kiai Ardisela gurunya tersebut.Berbagai ujian dijalani oleh Mbah Raden Ardisela,sehingga beliau menjadi pribadi yang tangguh dan gagah berani.Dawuan Sela menjadi tempat yang tidak bisa dipisahkan dari guru dan murid tersebut,karena di sanalah keduanya dipertemukan.

Di Dawuan Sela ini pula Mbah Raden Ardisela bertemu dengan Mbah Muqoyim gurunya tersebut.Mbah Muqoyim yang akrab dengan dunia keraton banyak mengajarkan aneka ilmu agama,politik atau siyasah,ketatanegaraan,dan lain sebagainya.Saat itu Mbah Muqoyim sudah keluar dari Keraton Kanoman dan mulai membuka pesantren Buntet,tak jauh dari Dawuan Sela,tempat Kiai Ardisela menggembleng para muridnya.

Ketika terjadi pertempuran di Pesawahan dan kemudian ada upaya pengejaran dan penangkapan terhadap Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim oleh penjajah,perpisahan antara Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela terjadi.Kiai Ardisela pergi ke arah Indramayu,dan Mbah Muqoyim memutuskan lari ke Pemalang,Jawa Tengah.Untuk mengecoh pihak penjajah,Mbah Muqoyim memutuskan tinggal sementara di Tuk Karangsuwung,tak jauh dari kediaman Mbah Raden Ardisela.

Kiai Ardisela tak kembali lagi ke Cirebon,karena ternyata beliau wafat terkena racun oleh utusan penjajah yang menyamar sebagai santrinya saat beliau berada di tempat pelariannya di Indramayu.Akhirnya Kiai Ardisela dimakamkan di desa di mana beliau terakhir kali tinggal,yaitu Desa Sleman,Kecamatan Sliyeg,Kabupaten Indramayu.

Mbah Muqoyim sendiri berhasil kembali pulang ke Cirebon.Saat Mbah Muqoyim kembali sekitar tahun 1809 .Mbah Raden Ardisela sudah bertugas sebagai demang Sindang Laut Dan tinggal di Tuk Karangsuwung.Mbah Muqoyimpun kembali membuka Pesantren Buntet yang sempat ditinggalkannya.Selain aktif kembali membuka pesantren,Mbah Muqoyim juga aktif mengisi pengajian di Tuk Karangsuwung,yang saat itu dikenal sebagai pusat Kademangan Sindanglaut.Karena banyak menghabiskan waktu di Tuk,akhirnya Mbah Muqoyim membuka pesantren di Tuk juga.

Di usia dewasanya,Mbah Raden Ardisela banyak bergaul dan belajar pada Mbah Muqoyim,sehingga beliau begitu terpengaruh oleh pemikiran Mbah Muqoyim,terutama dalam hal dakwah Islam.Hal inilah yang membuat Mbah Raden Ardisela begitu perduli pada pendidikan,terutama pendidikan Agama Islam.Saat itu beliau mendorong ulama-ulama di sekitar tempatnya tinggal untuk mendirikan pesantren dan membantunya sebisa mungkin.
Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim,benar-benar dua guru yang paling berpengaruh dalam hidup dan kehidupan Mbah Raden Ardisela.

Senin, 22 Januari 2018

Mbah Raden Ardisela,Penyokong Perjuangan dan Dakwah

Mbah Raden Ardisela (30)

Sebagai seorang pemimpin wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Kasepuhan Cirebon yang sangat kental dengan keislamannya,setiap pemimpin wilayah mulai kuwu (kades),demang (setingkat camat/wedana),dan pemimpin lainnya,banyak juga yang faham betul tentang ajaran Agama Islam.Hal ini pulalah yang terjadi pada Mbah Raden Ardisela,di mana beliau termasuk seorang pemimpin yang juga mumpuni dalam ilmu agama.

Semasa menjadi pemimpin wilayah,Mbah Raden Ardisela dikenal sebagai orang yang sangat perduli pada masyarakat yang dipimpinnya.Aneka bentuk perjuangan melawan penjajah dan kegiatan dakwah beliau sokong,baik secara materi maupun non materi.Lembaga pendidikan pesantren yang nota bene didirikan oleh keluarga,saudara,teman atau kerabat dekat lainnya beliau sokong dengan sepenuh hati.Tak aneh bila namanya sering kali dikaitkan dengan beberapa nama pesantren yang ada di wilayah yang dulu menjadi daerah yang dipimpinnya.

Sebagai seorang kepala sebuah wilayah kademanagan atau yang biasa disebut demang,Mbah Raden Ardisela tentu saja mempunyai penghasilan yang bisa dibilang lebih untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya.Kelebihan harta yang beliau miliki ini beliau sumbangkan untuk kepentingan perjuangan dan dakwah bagi para pejuang serta ulama Cirebon bagian timur khususnya,seperti Sindanglaut dan sekitarnya.Saat itu memang banyak demang yang perduli pada negeri dan menjadi penyokong gerakan perjuangan dalam melawan penjajah.

Keturunan Mbah Raden Ardisela di Masa Penjajahan,Antara Keraton dan Pesantren

Mbah Raden Ardisela (29)

Mbah Raden Ardisela yang mempunyai dua putri yang bernama Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris,mempunyai cucu laki-laki dan perempuan.Karena dari jalur perempuan,maka para keturunannya sudah tak mau mencatatkan diri lagi ke bagian penulisan staat Keraton Kasepuhan.Bagi cucunya atau keturunanya yang laki-laki dan hendak mencatatkan silsilahnya di Keraton Kasepuhan,maka akan mengambil jalur ayahnya,yang tentu saja bukan ke Mbah Raden Ardisela.

Nyi Raden Aris yang menikah dengan sepupunya sendiri yang bernama Raden Rangga Nitipraja masih mencatatkan silsilah anak-anaknya ke Keraton Kasepuhan,karena Raden Rangga Nitipraja adalah anak dari kakak laki-lakinya yang bernama Raden Arungan,yang sama-sama putra dari Raden Demang Bratanata.Sementara Nyi Raden Aras yang menikah bukan dengan keluarga Keraton Kasepuhan tidak lagi membuat catatan silsilah dari pihak laki-laki atau staat turunan laki-laki di Keraton Kasepuhan.

Cucu Mbah Raden Ardisela diketahui banyak yang melanjutkan jejak leluhurnya,masih bekerja yang ada kaitannya dengan Kesultanan Kasepuhan.Keraton Kasepuhan memang tidak bisa lepas dari Mbah Raden Ardisela dan keturunannya,karena dari sinilah mereka semua berasal.Cucu Mbah Raden Ardisela ada juga yang melanjutkan jejaknya sebagai pemangku wilayah atau demang.Sementara cucu yang lainnya bertugas di bagian lain.

Di era cicit Mbah Raden Ardisela,tidak semua keturunannya mau bekerja yang ada kaitannya denga keraton.Tidak semua cicitnya juga yang mau mencatatkan diri ke keraton dan dibukukan dalam lembaran silsilah yang biasa disebut staat dengan alasan keamanan.Saat itu tak sedikit cicit Mbah Raden Ardisela yang menjadi incaran penjajah untuk dipenjarakan atau dibunuh.Hal ini terjadi karena banyak dari cicit Mbah Raden Ardisela yang sudah mulai terang-terangan melawan penjajah.

Selain kepada keraton,perhatian para keturunan Mbah Raden Ardisela terhadap pesantren juga tidak mengendur.Para anak,cucu dan keturunan Mbah Raden Ardisela ini tetap perduli pada pengembangan ajaran Islam.Bagi yang mampu dalam bidang agama,maka mereka akan terjun sebagai guru atau ulama di samping menekuni bidang pekerjaan lainnya.Bagi yang tidak terlalu pandai dalam bidang agama mereka biasanya perduli pada pengadaan sarana dan prasarana ibadah dan lembaga pendidikan.

Di Tuk Karangsuwung sendiri tercatat ada dua pesantren,yang pertama pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyim di era Mbah Raden Ardisela.Pesantren yang kedua adalah pesantren yang didirikan seorang ulama di era cucu Mbah Raden Ardiselaerhatian keturunan Mbah Raden Ardisela terhadap pesantren-pesantren tersebut sangat besar.Bahkan akhirnya tak sedikit dari keturunan Mbah Raden Ardisela yang berjodoh dengan putra dan putri para ulama dari pesantren-pesantren yang ada di Tuk Karangsuwung dan sekitarnya.

Di masa penjajahan,perhatian keturunan Mbah Raden Ardisela memang tak lepas dari keraton dan pesantren,dua lembaga yang terkadang berseberangan dalam berbagai ide dan pandangan.

Berziarah ke Makam Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela

Berziarah ke Makam Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela

Dahulu di era penjajahan Belanda hingga awal kemerdekaan Indonesia,para anggota keluarga atau keturunan kiai dari  Pesantren Buntet,Pemijen,Benda Kerep,Gedongan,dan beberapa pesantren lainnya tak hanya berziarah ke makam Mbah Raden Ardisela yang makamnya ada di Desa Tuk Karangsuwung Cirebon saja,namun juga suka berziarah ke makam Kiai Ardisela yang makamnya ada di Desa Sleman Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu.Mereka kadang berjalan kaki menuju kedua makam ulama sekaligus pejuang tersebut.

Kebiasaan berziarah ke makam Kiai Ardisela di Indramayu ini diungkapkan oleh Nyai Fatimah binti Kiai Ilyas Abdussalam Pesantren Buntet,yang pernah berziarah bersama suaminya yang bernama Kiai Masduki bin Kiai Bakri Kasepuhan Cirebon.Kiai Masduki tak lain adalah cucu Kiai Abdul Jamil dari putrinya yang bernama Nyai Mu'minah.Nyai Fatimah dan Kiai Masduki melakukan ziarah ke makam Kiai Ardisela tersebut ketika keduanya baru menikah.Kejadian tersebut berlangsung kurang lebih di tahun 1947 M.Keduanya berziarah dengan cara berjalan kaki dari Kasepuhan menuju Desa Sleman di Indramayu.Selain keduanya,masih banyak orang lain yang berziarah ke makam Kiai Ardisela,terutama orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan pesantren di Cirebon.

Sejalan dengan bergulirnya waktu,hanya berziarah ke makam Mbah Raden Ardisela saja yang masih dilakukan,hal ini karena makam Mbah Raden Ardisela yang berada di Cirebon mudah diakses dari manapun.Sementara itu kebiasaan berziarah ke makam Kiai Ardisela di Indramayu tidak berlanjut lagi.Para sesepuh yang dulu suka berziarah ke Indramayu tak lagi diikuti kebiasaanya oleh para keturunannya.Bahkan,sekarang ini tak sedikit yang menyangka jika makam yang ada di Indramayu hanyalah petilasan saja.

Seiring majunya zaman dan pembangunan yang terjadi di Indonesia,transportasipun semakin mudah.Namun kisah yang tidak tersampaikan dengan baik ke generasi berikutnya,adalah hal yang membuat para pemuda-pemudi keturunan para kiai pesantren dan juga para santri tak lagi melanjutkan kebiasaan berziarah ke makam Kiai Ardisela di Indramayu tersebut.Padahal,Kiai Ardisela yang makamnya di Indramayu ini adalah orang yang banyak melahirkan kiai-kiai dan pesantren-pesantren di Cirebon di era tahun 1780 an hingga awal tahun 1800 an M.

Pada akhirnya banyak orang yang menyangka jika Ardisela yang ada hubungannya dengan Mbah Muqoyim itu hanya satu orang saja.Orang-orang juga banyak yang tidak tahu akan keberadaan makam Kiai Ardisela di Indramayu tersebut.Kalaupun ada yang tahu,maka mereka menyangka jika makam Kiai Ardisela atau yang lebih dikenal dengan sebutan makam Kiai atau Buyut Ardhi Sela di Indramayu itu hanyalah petilasannya saja,dan makam Kiai Ardisela yang ada di Tuk adalah makam yang asli.Jelas ini keliru,karena sebenarnya ada dua orang dengan nama Ardisela,dan kedua makam tersebut benar berisi dengan dua orang Ardisela yang berbeda satu sama lainnya.

Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela adalah dua orang yang berbeda.Keduanya sama-sama berjasa dalam perjuangan dalam melawan Penajajah Belanda dan juga dalam Syiar Agama Islam.Bahkan,selain kedua nama Ardisela tersebut,masih ada beberapa nama Ardisela lainnya,karena nama Ardisela saat itu adalah nama kelompok dan dimiliki oleh banyak orang.

Upaya Penjajah Belanda Memecah Belah Pesantren dan Keraton

Upaya Belanda Memecah Belah Pesantren dan Keraton

Keraton sebagai pusat pemerintahan yang sudah dikecilkan perannya di tengah-tengah rakyat,masih juga ingin dikecilkan hingga tak bisa memberikan pengaruh sedikitpun kepada rakyat.Berbagai cara dilakukan oleh penjajah dalam upaya untuk mencapai tujuannya tersebut.Mengatur dan membatasi wewenang sultan dan keraton adalah salah satu hal yang dilakukan oleh penjajah.Aneka konflik pun diciptakan di dalam keraton.Peraturan-peraturan baru yang seringkali bertentangan dengan adat istiadat dan hukum yang berlaku di Keraton juga sengaja dibuat oleh penjajah.

Pesantren yang saat itu sebagian besar didirikan oleh keluarga keraton juga tak luput dari usaha pelemahan agar tak menjadi 'keraton' baru yang bisa mengancam keberadaan penjajah.Berbagai upaya dilakukan oleh mereka agar pesantren ditutup,terutama pesantren yang ulama atau pemimpinnya terang-terangan tidak memihak pada kepentingan penjajah.

Kekuatan keraton dan pesantren bila digabungkan menjadi satu memang akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat.Hal ini yang disadari oleh pihak penjajah,oleh karena itu penjajah selalu berusaha melemahkan kedua lembaga ini.Bahkan tak hanya berusaha dilemahkan,tapi juga harus dihancurkan secara cepat atau perlahan agar kekuasaan mereka semakin kuat dan langgeng.Pada akhirnya keraton dan pesantrenpun seringkali dibenturkan satu sama lain.

Mbah Raden Ardisela bersama para saudara dan teman-teman seperjuangannya menyadari hal itu.Berbagai cara agar kebersamaan antara keraton dan pesantrenpun dilakukan.Akhirnya Mbah Raden Ardisela bersama saudara dan teman-teman yang seide dan seperjuangan dengannya menjembatani kedua lembaga tersebut.Aneka berita atau informasi dari keraton yang terkait dengan perjuangan disampaikan kepada pihak pesantren,begitu juga sebaliknya.Semuanya tentu saja tidak dilakukan secara terang-terangan,namun dilakukan secara rahasia agar tidak diketahui oleh pihak penjajah dan antek-anteknya.

Perkawinan Raden Rangga Nitipraja dan Nyi Raden Aris

Perkawinan Raden Rangga Nitipraja dan Nyi Raden Aris

Tak diceritakan apa sebab pernikahan antara putri Mbah Raden Ardisela dan putra Mbah Raden Arungan kakaknya,apakah karena dijodohkan atau karena saling cinta yang menyebabkan pernikahan Nyi Raden Aris dan Raden Rangga itu terlaksana.Yang jelas kedua saudara sepupu itu akhirnya menikah.Sebelum menikahi putrinya,Mbah Raden Ardisela sempat menanyakan kesanggupan Raden Rangga Nitipraja untuk menghidupi dan melindungi Nyi Raden Aris.Mendengar kesanggupan keponakannya tersebut,akhirnya Mbah Raden Ardisela dan istrinya memutuskan untuk segera menikahkan mereka berdua.

Tanggal dan hari pernikahan telah diputuskan dan aneka persiapan untuk menyambut pernikahan tersebut segera dilaksanakan.Sanak saudara dari kedua belah pihak sudah sibuk menyambut pernikahan tersebut jauh-jauh hari.Para pengobeng (orang yang ikut membantu saat acara pernikahan) juga sudah terlihat menyiapkan aneka kue dan perlengkapan lainnya untuk pesta.Sanak saudara yang dari jauh sudah ada yang datang dan menginap di kediaman Mbah Raden Ardisela,atau di rumah kerabat dan sahabatnya.

Ketika hari pernikahan tiba,Tuk yang saat itu hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga menjadi ramai oleh para tamu yang datang.Iring-iringan pengantin laki-laki yang datang disertai keluarga dan sanak saudara datang dari arah barat.Mereka berombongan melalui jalan raya yang sekarang ini sudah menjadi jalan kereta api.Kuda,delman dan kereta kuda yang menjadi tranportasi umum saat itu akhirnya memenuhi pelataran rumah Mbah Raden Ardisela.

Mbah Raden Ardisela yang seorang pemimpin wilayah menjadikan tamu yang datang lumayan banyak.Tak hanya sanak keluarga dan kerabat serta tetangga dekat,masyarakat umum,para pemimpin dusun atau desa,para demang,ulama,hingga keluarga besar dari Keraton Kasepuhan,Kanoman,Kacirebonan dan Gebang juga turut diundang dan datang ke acara perkawinan ini.Dari kalangan pesantren hanya ada Pesantren Buntet dan Tuk yang saat itu sudah didirikan oleh Mbah Muqoyim dan Pesantren Pesawahan yang didirikan oleh Kiai Ismail.

Perkawinan Raden Rangga Nitipraja dan Nyi Raden Aris ini termasuk perkawinan yang meriah namun tidak mewah.Setelah perkawinan itu,Raden Rangga Nitipraja tinggal menetap di Tuk Karangsuwung bersama Mbah Raden Ardisela.Oleh Mbah Raden Ardisela,anak dan menantunya itu diberi sebidang tanah di timur langgar agung yang kemudian dibangun sebuah rumah di atasnya.

Kiai Ardisela (19)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (19)
Kaderisasi Ulama

Kiai Ardisela Buntet,Kiai Muqoyim,Kiai Ismail Pesantren Pesawahan yang masih terikat hubungan persaudaraan ini bahu membahu mempersiapkan pemimpin selanjutnya.Bersama para ulama lainnya,mereka semua tak kenal lelah untuk mempersiapkan generasi islami yang siap berjuang dan berjihad.Yang mereka persiapkan adalah demi untuk melanjutkan perjuangan mereka semua,terutama untuk meneruskan jejak mereka sebagai ulama.Untuk kalangan pemimpin atau umaro,ketiganya juga tak lupa mempersiapkannya,hal ini mereka lakukan mengingat pemimpin yang baik akan membuat wilayah yang dipimpinnya juga baik.

Kiai Mas Khanafi Jaha dan Kiai Muhamad Imam,adalah dua orang yang di kemudian hari menjadi ulama sebagai penerus dalam bidang dakwah.Sementara dalam kepemimpinan ada nama Mbah Ardisela yang menjadi demang Sindang Laut dan juga ada seorang putra Sultan Kanoman yang di kemudian hari menjadi Sultan Kacirebonan pertama.

Kaderisasi ulama ini dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi.Kiai Ardisela yang dikenal sebagai ulama tasawuf akhirnya banyak melahirkan pesantren-pesantren traditional yang dikenal sebagai pesantrennya kaum sufi,yang jauh dari hingar bingar dunia luar.Kiai Mas Khanafi yang tak lain adalah menantu Kiai Ardisela Buntet dikenal sebagai pendiri Pesantren Jaha Sampiran,Talun Cirebon,yang beberapa dekade dikenal sebagai pesantren tradisional.Selanjutnya menantu Kiai Mas Khanafi yang bernama Kiai Takrifudin mendirikan Pesantren Pemijen Asem Sampih,Sindang Laut Cirebon.Menantu Kiai Takrifudin yang bernama Mbah Soleh bin Mbah Mutaad mendirikan Pesantren Benda Kerep.Anak cucu Kiai Takrifudin juga selanjutnya mendirikan Pesantren Dongkol dan Cikalapa.Hingga awal kemerdekaan dan bahkan setelahnya,pesantren-pesantren tersebut tetap dikenal sebagai pesantren tradisional yang hanya menyelenggarakan pengajian saja,tanpa mengadakan pendidikan umum seperti sekolah atau kursus.

Pesantren yang didirikan oleh Kiai Ismail dan Mbah Muqoyim di kemudian hari dikenal sebagai pesantren yang mengajarkan aneka ilmu agama dan umum.Di tangan anak cucu dan keturunannya,pesantren-pesantren tersebut akhirnya mendirikan sekolah-sekolah dan menjadikannya pesantren yang cukup modern.

Kaderisasi ulama terus berlangsung di masa Kiai Arisela dan Mbah Muqoyim hidup.Bahkan setelah lamanya kepergian mereka dan para sahabat lainnya,kaderisasi itu masih terus berlangsung.Hingga saat ini pesantren-pesantren tersebut masih berdiri dan mengajarkan aneka ilmu pengetahuan.Tak sedikit pula ulama yang lahir dari pesantren-pesantren tersebut yang akhirnya ikut mendirikan Pesantren,baik yang berada di Cirebon maupun luar Cirebon.

Persahabatan Antara Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi

Persahabatan Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi

Persahabatan antara Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi alias Buyut Jaha terjalin begitu erat.Hal ini dikarenakan usia keduanya tidak terlalu jauh,ditambah lagi saat itu Kiai Mas Khanafi memang banyak menghabiskan waktunya di kawasan Sindanglaut dan sekitarnya, seperti Dongkol-Leuwidingding,Pemijen-Asem,Cipeujeuh-Sindanglaut,dan Lemahabang.Beberapa tempat yang sering disinggahinya tersebut berdekatan dengan kediaman Mbah Raden Ardisela di Tuk Karangsuwung.

Mbah Raden Ardisela yang berperan sebagai seorang pemimpin wilayah Sindanglaut dan sekitarnya,pada saat itu memang membutuhkan ulama atau guru agama yang bertugas untuk mendidik masyarakat yang dipimpinnya.Setelah Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim tidak ada,peran ini dilanjutkan oleh Kiai Mas Khanafi.Beliau yang berperan sebagai seorang guru agama pada  akhirnya mendapatkan kepercayaan untuk melanjutkan kiprah Kiai Ardisela mertuanya dan Mbah Muqoyim paman iparnya tersebut.Hal ini tentu saja tidak dilakukan oleh Kiai Mas Khanafi seorang diri,namun dilakukan bersama ulama atau guru agama lainnya.

Persahabatan Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi itu berlangsung lama.Walau tempat tinggal keduanya berjauhan,namun persahabatan tersebut berlanjut hingga keduanya meninggal dunia.Bahkan setelah keduanya telah tiadapun,anak-anak keduanya pada akhirnya juga turut serta  melanjutkan persahabatan keduanya tersebut.

Salah satu anak Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi yang turut melanjutkan persahabatan keduanya adalah Nyi Raden Aris binti Mbah Raden Ardisela yang menikah dengan Raden Rangga Nitipraja dan Nyai Latifah binti Kiai Mas Khanafi yang menikah dengan Kiai Takrifudin pendiri Pesantren Pemijen-Asem.Salah satu bukti persahabatan keduanya adalah dengan adanya perjodohan dan pernikahan putra Nyi Raden Aris dan Raden Rangga Nitipraja yang bernama Raden Raksa dan putri Nyi Latifah dan Kiai Takrifudin yang bernama Nyai Sofroh (Nyai Masufroh/Mas Supra).

Persaudaraan dan Perkawinan Demi Perjuangan

Persaudaraan dan Perkawinan Demi Perjuangan

Selain Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela,dan Mbah Raden Ardisela,sebenarnya banyak sekali ulama-ulama dan para bangsawan lain yang ikut bergabung dalam perjuangan di masa penjajahan tersebut.Yang mereka lakukan adalah demi melanjutkan perjuangan dalam syiar Islam dan juga perlawanan terhadap penjajah Belanda dan penjajah-penjajah lainnya.

Persaudaraan dan perkawinan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam perjuangan mereka semua.Mbah Muqoyim dan adik-adiknya,dan juga para saudaranya bahu membahu dalam berjuang.Kiai Ardisela yang tak lain adalah adik iparnya juga turut berandil besar dalam perjuangan itu.

Di kemudian hari,anak cucu Mbah Muqoyim,Kiai Ardsela dan Mbah Raden Ardisela juga turut serta dalam perjuangan.Salah satu cara untuk melanjutkan perjuangan mereka adalah dengan cara perkawinan antar keturunan ketiganya.Perkawinan antara saudara dekat adalah sebagai perekat dalam perjuangan demi melanjutkan cita-cita dan perjuangan para leluhur.Di kemudian hari antara Keturunan Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela, dan Mbah Raden Ardisela pun banyak yang saling menikah.

Keturunan Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela hingga saat ini tersebar di banyak daerah,baik di dalam maupun luar pesantren,tak hanya di Cirebon dan sekitarnya,tapi hingga keluar pulau Jawa,bahkan hingga mancanegara.Memang tidak semuanya berkecimpung dalam dunia pesantren,tapi sebagian besar tetap masih perduli pada perkembangan ajaran Islam.

Ikatan persaudaraan dan perkawinan memang menjadi cara yang tepat dalam melanjutkan perjuangan para leluhur tersebut.Dari ikatan persaudaraan dan perkawinan tersebut mereka semua saling bantu dalam syiar Islam.Hingga kini,hingga seabad lebih sejak kepergian ketiganya,kebiasaan menikah antar saudara dekat  tersebut masih berlaku,terutama di kalangan keluarga yang tinggal di pesantren-pesantren.

Makan-Makam Keturunan Pangeran Alas

Makam Pangeran Alas dan Keturunannya
1. Makam Pangeran Alas,Desa Luwung Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon
2. Pangeran Sutangkara,Raden Demang Bratanata dan Keturunannya,Desa Sepat Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Majalengka
3.Makam Raden Ardisela bin Demang Bratanata dan keturunannya,Desa Tuk Karangsuwung Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon
4.Makam Raden Arungan Bin Demang Bratanata,di pemakaman Amparan Jati Gebang Udik,Kecamatan Gebang,Kabupaten Cirebon

Minggu, 21 Januari 2018

Mbah Raden Ardisela,Antara Karangsuwung,Sindanglaut dan Tuk Karangsuwung

Mbah Raden Ardisela,Antara Karangsuwung ,Sindanglaut dan Tuk Karangsuwung

Karangsuwung adalah pedukuhan baru yang dibuka oleh Mbah Raden Ardisela setelah beliau belajar aneka ilmu di Dawuan Sela dan pergi ke Gunung Ciremai untuk beruzlah atau mengasingkan diri.Lambat laun semakin banyak orang yang datang ke Karangsuwung,dan Karangsuwungpun akhirnya menjadi semakin ramai.Tempat yang semula angker itu sudah tidak menakutkan lagi.

Suatu saat di daerah Sindanglaut ada gerombolan orang yang suka mengacau dan mengganggu masyarakat.Pihak Keraton Kasepuhan yang mendengar kejadian itu akhirnya berusaha menangkap mereka.Namun ternyata tidak mudah untuk meringkus para penjahat itu,maka pihak Keraton pun memberikan pengumuman,barang siapa yang bisa menumpas para penjahat itu maka akan diberikan tanah yang nanti akan dibebaskan pajaknya.

Mengetahui bila di Sindanglaut ada orang-orang yang suka mengganggu masyarakat,maka Mbah Raden Ardisela mencoba mendatangi mereka untuk memberi peringatan.Namun bukannya didengar,mereka justru menantang Mbah Raden Ardisela.Pertarunganpun terjadi.Walau jumlah mereka banyak,namun Mbah Raden Ardisela berhasil mengalahkan mereka semua dan membuat mereka sadar dan berjanji tak akan mengulangi perbuatan mereka kembali.

Sesuai janji,pihak Keraton Kasepuhanpun akhirnya memberikan sebidang tanah di sebuah wilayah yang sekarang ini letaknya berada di Tuk Karangsuwung dan tanah itu dibebaskan dari pajak.Dulu tanah Tuk yang diberikan kepada Mbah Raden Ardisela itu termasuk wilayah Sindanglaut,tapi karena beliau saat itu sedang memimpin Karangsuwung,maka tanah Tukpun akhirnya dimasukkan menjadi  bagian dari Karangsuwung.

Karena tahu jika yang mengatasi para pembuat onar di kalangan  masyarakat adalah seorang putra keturunan keraton,maka Keraton Kasepuhanpun akhirnya memberikan kepercayaan tambahan.Sultan Kasepuhan mempercayakan daerah Sindanglaut pada Mbah Raden Ardisela untuk dipimpin olehnya.Dari sini Mbah Raden Ardisela semakin dikenal oleh berbagai kalangan di Cirebon dan sekitarnya.

Karena kesibukannya lebih banyak di Sindanglaut,maka Mbah Raden Ardiselapun akhirnya memutuskan untuk pindah ke Sindanglaut.Beliaupun memutuskan untuk membangun rumah di Tuk,tepatnya di Blok Muara Bengkeng yang sekarang ini menjadi tempat pemakamannya.Sebelum diberi nama Tuk,orang-orang biasa menyebutnya dengan sebutan Karang Panas yang berarti tempat yang panas.Selain nama Karang Panas,nama lain dari Tuk saat itu adalah Sida Parta.Namun setelah Mbah Raden Ardisela membuat sebuah sumber air,lambat laun tempat tinggalnya itu diberi nama Tuk,yang berarti sumber mata air yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan sumber mata air Muara Bengkeng.

Karangsuwung,Sindanglaut dan Tuk Karangsuwung adalah tempat yang tak bisa dipisahkan dari Mbah Raden Ardisela,karena ketiganya mempunyai kisah yang menyimpan jejak perjuangan Mbah Raden Ardisela,selain Dawuan Sela,Buntet,dan Pesawahan (Cirebon),dan sekitar Gunung Ciremai (Kuningan),serta Indramayu.

Tiga Serangkai Pertama

Mbah Raden Ardisela (13)

(Persahabatan Antara Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela)

Tiga serangkai,mungkin itulah julukan yang pantas disematkan kepada tiga pejuang yang terdiri dari Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela.Ketiga orang ini begitu gigih dalam melawan penjajah dan juga dalam Syiar agama Islam.Bersama ulama,kaum bangsawan,dan juga masyarakat umum lainnya,ketiganya telah berhasil membuat penjajah Belanda menjadi tak tenang dibuatnya.

Kiai Ardisela yang terkenal ahli dalam ilmu kanuragan sekaligus sebagai seorang ulama yang juga sufi.Mbah Muqoyim yang semula sebagai mufti dan ulama di Keraton Kanoman yang akhirnya melepaskan jabatannya dan lebih memilih hidup bersama masyarakat umum.Dan yang terakhir adalah Mbah Raden Ardisela yang merupakan murid keduanya,yang di kemudian hari menjadi seorang pemimpin atau pemangku wilayah (demang) yang gagah berani,dan ahli tata negara dan siasat (politik) yang begitu perduli pada masyarakat.Ketiganya bahu-membahu dalam mendirikan pesantren,dan tak henti mendidik santri dan mengajak masyarakat umum agar mau membela negerinya yang tengah dijajah.Pesantren Buntet adalah saksi bisu akan kebersamaan ketiganya,yang hingga kini masih bisa dijumpai keberadaannya dan masih bisa dirasakan manfaatnya bagi banyak orang.Dari pesantren inilah yang di kemudian hari lahir pesantren-pesantren baru,baik yang berada di Cirebon atau di luar Cirebon.Dari tangan Tiga Serangkai Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim,dan Mbah Raden Ardisela inilah ribuan santri akhirnya lahir dan turut melanjutkan kiprah ketiganya dalam berjuang.

Banyak misteri yang melingkupi kisah ketiganya,terutama berkaitan dengan nama dua Ardisela yang ada bersama Mbah Muqoyim.Banyak sekali orang yang menyangka jika nama Ardisela adalah untuk satu orang,padahal bukan.Sebenarnya beberapa orang dengan nama Ardisela yang selalu berjuang bersama-sama Mbah Muqoyim.

Dulu,kisah Tiga Serangkai ini sangat rahasia.Di era penjajahan,kiprah ketiganya hanya disampaikan dari mulut ke mulut saja,baik itu yang disampaikan oleh anak keturunannya,para santri atau masyarakat lainnya yang perduli akan perjuangan mereka.Seiring perjalanan waktu dan berakhirnya masa penjajahan,maka cerita perjuangan ketiganya mulai disampaikan secara terbuka.Kini kisah  perjuangan ketiganya dapat dengan mudah ditemui,baik itu melalui cerita lisan,atau juga melalui tulisan,seperti dari buku atau media lainnya.

Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela adalah generasi pertama dari Tiga Serangkai.Di kemudian hari tiga serangkai ini dilanjutkan oleh anak,menantu atau cucu dan cicit ketiganya.Bersama masyarakat Cirebon dan sekitarnya,mereka semua bahu membahu demi kebaikan bersama.

Mbah Raden Ardisela,Sang Penglima Perang

Mbah Raden Ardisela (9)

Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela semakin tua,namun kiprah keduanya tidak berhenti.Bukannya malah meredup kiprahnya,justru semakin tua semakin banyak hal yang bisa keduanya lakukan.Pesantren tetap menjadi basis utama bagi keduanya untuk menggembleng para santri yang siap terjun ke dalam masyarakat.

Ketika terjadi perang besar yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Santri atau Perang Kedondong sekitar tahun 1806 hingga 1811 M,keduanya memang sudah tidak terlalu banyak berhadapan secara langsung dengan penjajah,mengingat usianya yang semakin tua.Saat Perang kedondong,usia keduanya diperkirakan sudah di atas 60 tahun lebih.Tapi bukan berarti peran keduanya kecil,karena dari tangan keduanya lah banyak pejuang yang terlahir dan siap mempertaruhkan jiwa raga mereka demi bangsa dan negara.Di antara murid keduanya adalah Raden Rustam atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Ardisela,Kiai Mas Khanafi Jaha,dan lain lain.

Gerak dan langkah Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim memang sejalan dengan apa yang menjadi tujuan Raden Ardisela dan para anggota keluarga dan keturunan keraton lainnya yang membenci penjajah.Saat itu Mbah Raden Ardisela pulalah yang menjadi penghubung antara keturunan keraton,pesantren dan masyarakat umum untuk sama-sama berjuang.

Saat berperang,Mbah Raden Ardisela yang termasuk tokoh pemuda maju di garis depan sebagai panglima perang,bersama tokoh-tokoh lainnya baik itu dari kalangan bangsawan keraton,kalangan santri dan ulama,juga kalangan masyarakat umum yang terdiri dari petani,nelayan,pekerja,pedagang,dan lain sebagainya.Selain sebagai panglima perang,Mbah Raden Ardisela banyak juga melatih para pemuda agar berani maju ke medan perang untuk membela bangsa.Salah satu pemuda yang menjadi murid kebanggaannya adalah keponakan sekaligus menantunya sendiri yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Raden Rangga Nitipraja.

Wafatnya Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela (35)

Di pintu tengah yang merupakan pintu asli sebelum makam Mbah Raden Ardisela dipugar terdapat sebuah tulisan tahun dalam huruf dan angka Arab. Di pintu berukir itu tertulis angka tahun 1241  dan di sampingnya ada tulisan angka 3413.Tak terlalu jelas apa maksud dari tulisan itu,ada yang berpendapat jika tulisan tersebut menjelaskan tentang tanggal wafatnya Mbah Raden Ardisela,namun ada juga yang berpendapat jika tulisan tersebut adalah mengenai saat digantinya pintu.Apakah pintu itu pintu bekas rumah Mbah Raden Ardisela atau memang pintu makam,juga belum bisa dipastikan.Hal ini dikarenakan dulu di area ini adalah bekas rumah dan halaman milik Mbah Raden Ardisela,sementara makam Mbah Raden Ardisela ini dulunya sangat sederhana sekali,bukan berbentuk bangunan seperti sekarang ini.

Tak jelas kapan Mbah Raden Ardisela wafat,karena tak ada catatan pasti mengenai tanggal wafatnya.Ada yang memperkirakan jika beliau wafat sekitar tahun 1837 M.Beliau wafat di usia yang tidak terlalu tua,sekitar 60 hingga usia 70 an tahun lebih.

Saat Mbah Raden Ardisela wafat,belia sudah tidak lagi menjabat sebagai demang karena jabatan tersebut telah beliau serahkan kepada keponakan sekaligus menantunya yang bernama Raden Rangga Nitipraja.Di usia senjanya beliau lebih banyak habiskan waktunya untuk Syiar agama Islam dan berjuang bersama-sama mayarakat lainnya.Hal ini tidak terlepas dari pengaruh beberapa ulama yang merupakan guru,saudara atau temannya,di antaranya adalah pengaruh dari Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.

Agar nama aslinya tidak diketahui pihak penjajah,maka ketika beliau wafat semua anak menantu,saudara dan kerabatnya tetap merahasiakan nama sebenarnya dan hanya menyebutnya Ardisela.Hal ini tentu saja untuk melindungi anak keturunan Mbah Raden Ardisela dari penjajah.Tempatnyapun sangat dirahasiakan,berada di halaman rumahnya sendiri.

Wafatnya Mbah Raden Ardisela ini adalah kesedihan dan kehilangan besar bagi keluarga dan juga orang-orang yang mencintainya.Para saudara,penduduk yang dulu pernah dipimpin olehnya,teman,sahabat,kerabat,rekan sejawat,dan juga teman seperjuangannya banyak yang bersedih dan merasa kehilangan atas kepergian beliau yang dikenal sebagai seorang pemimpin,ulama dan pahlawan yang gigih dalam berjuang tersebut.

Tidak dijelaskan mengapa Mbah Raden Ardisela tidak dimakamkan di pemakaman yang berada di Tuk Lor di mana Mbah Muqoyim yang tak lain sebagai guru sekaligus sahabatnya itu dimakamkan.Beliau justru dimakamkan di pemakaman khusus yang terletak di barat masjid,yang dulunya merupakan bekas rumah atau keratonnya sendiri.Ada beberapa pendapat jika Mbah Raden Ardisela ingin dimakamkan di pemakaman khusus antara lain karena beliau ingin bisa berkumpul dengan anak keturunannya,kerabat dan orang-orang kepercayaannya dalam satu area pemakaman.Pendapat kedua mengatakan beliau dimakamkan di makam khusus tersebut karena keberadaannya sangat dirahasiakan,karena sedikit banyak rahasianya sudah diketahui oleh pihak penjajah.

Pemakaman Mbah Raden Ardisela ini semula adalah halaman rumah atau keratonnya.Dulu di pemakaman baru ini hanya khusus untuk Mbah Raden Ardisela sendiri.Tapi karena ada pengikut setia dan anggota keluarga besarnya yang ingin dimakamkan di dekat beliau,maka akhirnya makam di sini bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun.Semula makam Mbah Raden Ardisela juga tidak seperti sekarang ini,bangunannya terbilang sederhana.Beberapa kali makam beliau mengalami perbaikan yang dilakukan oleh keturunan dan orang-orang lain yang ingin membangun makamnya menjadi lebih baik lagi,semua sebagai bentuk penghormatan sekaligus agar bisa memberikan rasa nyaman bagi para peziarah.

Sebelum dikenal dengan nama Pemakaman Mbah Raden Ardisela,orang-orang biasa menyebut nama pemakaman ini dengan nama Sida Parta.Ada beberapa arti dari kata Sida Parta ini,ada yang mengatakan bila Sida di sini diartikan kaum bangsawan,karena di Tuk ini dulunya memang terdapat Keraton Mbah Raden Ardisela dan juga Keraton Raden Rangga Nitipraja.Tapi ada juga yang mengatakan bila Sida di sini berarti jadi dalam Bahasa Cirebon,berarti mati atau wafat yang diambil dari Bahasa Jawa,yaitu sedo.Bisa jadi semuanya benar.Sida Parta,karena Mbah Raden Ardisela adalah ksatria yang meninggal sebagai pahlawan.

Minggu, 14 Januari 2018

Makam Penyamunan

Makam Penyamunan

Pemakaman penyamunan adalah pemakaman yang cukup banyak didatangi orang dari berbagai penjuru daerah.Di pemakaman ini ada dua makam tokoh yang sering didatangi oleh banyak peziarah,yaitu makam Syeh Datuk Khafid dan Makam Mbah Buyut Maijah.Keduanya dikenal sebagai ulama yang menyebarkan ajaran Islam di kawasan Sedong dan sekitarnya.Makam para tokoh tersebut berada di sebuah bangunan yang cukup luas dan nyaman bagi para peziarah.

Fasilitas yang tersedia di makam ini lumayan baik dan memadai,ada wc,mushola,tempat parkir,dan beberapa sarana pendukung lainnya.Suasana pemakaman yang terdiri dari beberapa puluh makam ini juga lumayan nyaman dan asri.Dengan pepohonan yang rindang,para peziarah bisa lebih nyaman berziarah.

Lokasi Pemakaman Syekh Datuk Khafid dan Mbah buyut Maijah yang lebih dikenal dengan nama Pemakaman Keramat Penyamunan berada di blok Penyamunan,Desa Putat Kecamatan Seeing,Cirebon.Untuk yang berasal dari Kota Cirebon,lokasi pemakaman ini bisa ditempuh dengan naik kendaraan lewat Beber atau Sindang Laut.Bila naik kendaraan umum,dari Sindang Laut naik saja angkutan kota jurusan Sedong.Turun di Desa Putat,Para peziarah bisa naik ojek atau jalan kaki menuju makam keramat Penyamunan.

Sabtu, 13 Januari 2018

Kiai Ardisela (18)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (18)

Ulama Tasawuf yang 'Menjauhi Dunia'

Beberapa sumber lisan menyebutkan jika Kiai Ardisela adalah seorang guru tarekat dan pernah juga menjadi guru ilmu agama di Keraton Kasepuhan.Ketika pemikirannya tidak sejalan dengan pihak keraton yang sudah dicampuri oleh pihak penjajah,beliau akhirnya mengundurkan diri dan lebih memilih untuk mengajar di luar keraton.Di luar keraton beliau lebih bisa bebas menuangkan pemikiran-pemikirannya tanpa dibatasi oleh campur tangan penjajah.Ketika mengajar di dalam keraton,otomatis murid-muridnya hanya kalangan tertentu saja.Ketika di luar keraton murid-muridnya datang dari beragam kalangan.

Walau masih diharapkan keberadaannya di Keraton Kasepuhan,namun Kiai Ardisela menolaknya.Beliau tetap kukuh pada pendiriannya untuk menjauh dari keraton.Saat itu keraton memang masih menjadi magnet bagi para ulama,karena keraton  masih begitu berpengaruh di kalangan masyarakat umum,terutama karena kaitannya sebagai peninggalan Sunan Gunung Jati.
Di dalam maupun di luar keraton,Kiai Ardisela tetap dikenal sebagai ulama 'tasawuf' yang menjauhi 'dunia'.Hal ini yang membuatnya tak segan meninggalkan kedudukannya sebagai ulama keraton dan lebih memilih menjadi ulama 'kampung'.Padahal saat itu kiai yang menjadi ulama keraton sangat disegani dan keberadaanya sangat dihormati oleh masyarakat.

Sikapnya sebagai ulama tasawuf yang menjauhi kehidupan dunia ini banyak diikuti oleh banyak orang,termasuk juga diikuti oleh anak cucu,mantu atau kerabat dekat lainnya.Pesantren-pesantren di Cirebon yang masih ada kaitan dengan Kiai Ardisela ini banyak yang mengadopsi pendidikan ala Kiai Ardisela,yaitu pendidikan yang mengamalkan pendidikan tasawuf yang terkesan menjauhi dunia dan mempertahankan ciri khas tradisional dan anti bekerjasama dengan penjajah.Bahkan hingga di tahun 2010,pesantren-pesantren tersebut masih tetap mempertahankan 'ketradisionalnnya'.Sebut saja Pesantren Jaha Sampiran (didirikan oleh menantu Kiai Ardisela yang bernama Kiai Mas Khanafi/Buyut Jaha,yang menikah dengan putrinya yang bernama Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela),Pesantren Pemijen Asem/Sampih (didirikan oleh cucu mantu Kiai Ardisela yang menikah dengan cucunya yang bernama Nyai Latifah binti Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela),Pesantren Benda Kerep (didirikan oleh Mbah Soleh bin Mbah Mutaad,yang menikah dengan putri Kiai Takrifudin yang bernama Nyai Sarah binti Nyai Latifah binti Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela).Pesantren yang lainnya yang masih ada kaitannya dengan Kiai Ardisela adalah Pesantren Dongkol dan Pesantren Cikalapa Cipeujeuh,dua pesantren yang didirikan oleh keluarga besar Kiai Ardisela dari Pesantren Pemijen.

Sementara itu jejak Kiai Ardisela sebagai ulama keraton ini di kemudian hari juga diteruskan oleh anak cucunya.Kiai Anwarudin bin Kiai Jaelan bin Kiai Muhamad Imam bin Kiai Ardisela atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Krian,adalah cicit Kiai Ardisela yang di kemudian hari dikenal sebagai ulama Keraton Kasepuhan.Walau sebagai ulama Keraton Kasepuhan,Kiai Krian tetap tak mau tunduk pada penjajah.

Di tahun 1990 hingga tahun 2012,salah satu keturunan Kiai Ardisela yang kebetulan termasuk keturunan Mbah Muqoyim juga pernah ada yang menjadi ulama Keraton Kasepuhan atau yang lebih dikenal dengan sebutan penghulu keraton,yaitu K.H. Djunaedi Kalyubi,keturunan Kiai Ardisela yang termasuk generasi ke 7 dari jalur anak perempuannya yang bernama Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela.Kalau dirunut silsilahnya adalah K.H. Djunaedi bin K.R Kalyubi bin K.R Abdullah Raksa bin Nyai Sofroh/Masufroh (istri Raden Raksa) binti Nyai Latifah (istri Mbah Takrifudin pendiri Pesantren Pemijen) binti Nyai Khafiun (istri Buyut Jaha/Kiai Mas Khanafi) binti Kiai Ardisela.

Kiai Ardisela memang dikenal sebagai ulama tasawuf yang menjauhi dunia.Beliau lebih senang menjadi ulama di perkampungan yang sederhana namun bebas berdakwah,daripada menjadi ulama keraton yang geraknya dalam berdakwah dibatasi atau dicampurtangani oleh penjajah,yang menjadikan gerakan dakwahnya tak lagi murni sesuai hati nurani.

Jumat, 12 Januari 2018

Kiai Ardisela (17)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (17)

Kiai Ardisela Dan Mbah Muqoyim Meninggalkan Cirebon

Karena merasa masih menjadi incaran penjajah,maka keduanya memutuskan untuk pergi meninggalkan Cirebon.Usia keduanya saat itu sudah tidak muda lagi.Kiai Ardisela Dan Mbah Muqoyim saat itu diperkirakan sudah berusia sekitar 50 hingga 60 tahun.Usia yang sudah tidak terlalu muda lagi untuk keduanya,namun semangat keduanya untuk berjuang begitu gigih.

Hari yang telah ditentukanpun akhirnya tiba.Kiai Ardisela bersama istrinya memutuskan untuk pergi le arah Indramayu,karena di kota ini juga banyak saudaranya,terutama saudara dari Nyai Alfan yang diketahui berasal dari Indramayu.Untuk mengecoh Belanda,Kiai Ardisela pergi terlebih dahulu,sementara Mbah Muqoyim tinggal sementara di Tuk Karangsuwung bersama Mbah Raden Ardisela.

Kiai Ardisela akhirnya sampai di kawasan Sleman Sliyeg.Indramayu.Beliau memutuskan untuk tinggal dan kembali lagi membuka pesantren seperti saat beliau tinggal di Cirebon.Langkah pertama yang dilakukannya adalah membuat mushola atau langgar,di mana mushola itu bisa digunakan untuk mengajar para santrinya.Ketika dibuka,para santri kembali berdatangan untuk mengaji dan berguru padanya.

Kiai Ardisela memang seorang ulama tulen,sehingga beliau selalu terpanggil untuk mengajarkan aneka ilmu agama kepada masyarakat di sekitarnya,baik muda maupun tua.

Kiai Ardisela (16)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (16)

Perang Santri Pesawahan

Pesantren Pesawahan dengan tiga ulama yaitu Kiai Ismail,Kiai Ardisela,dan Mbah Muqoyim,membuat pesantren ini semakin maju dan ramai.Ketiga ulama yang disegani itu membuat pesantren Pesawahan banyak didatangi para santri untuk  belajar.Semakin hari,pesantren semakin berkembang pesat.

Suatu saat Pesantren Pesawahan hendak mengadakan sebuah acara syukuran.Undanganpun disebar,termasuk untuk penduduk sekitar dan para wali santri.Tamu-tamu Dan masyarakat sekitar  banyak yang hadir menghadiri aacar tersebut.Acara berlangsung ramai.Para undangan disuguhi aneka atraksi,baik oleh para santri maupun oleh para kiai.Di tengah atraksi,tiba-tiba datang serdadu yang mengepung tempat acara.Orang-orang berlarian.Untunglah Kiai Ismail,Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim,para sesepuh dan alumni santri sudah siap menghadapi itu semua.Rupanya mereka sudah belajar dari penyerbuan pesantren terdahulu,saat Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim masih tinggal di kawasan Dawuan Sela dan Buntet.

Para ulama,santri,dan masyarakatpun sigap menghadapi serbuan serdadu penjajah.Merekapun bahu membahu untuk mengalahkan  para serdadu penjajah tersebut.Dengan kerjasama Dan dipimpin oleh kiai-kiai yang sakti mandraguna,akhirnya para serdadu tersebut berhasil dikalahkan.Mereka lari kocar-kacir meninggalkan Pesantren Pesawahan.Bahkan,di antara mereka banyak yang mati.Makam para serdadu yang tewas tersebut pada akhirnya lebih dikenal dengan nama makam Belanda.

Semenjak kejadian itu,Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyimpun berniat pergi meninggalkan Cirebon.Kiai Ardisela memutuskan pergi ke arah Indramayu,sementara Kiai Muqoyim berniat pergi ke arah Jawa bagian tengah.Kejadian ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1798 M,yang di kemudian hari sering disebut dengan perang Santri Pesawahan.

Kiai Ardisela (15)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (15)

Pengepungan Pesantren

Kiai Ardisela dan Kiai Muqoyim beraktifitas seperti biasanya.Keduanya masih disibukkan dengan mengajar para santri yang tinggal dan menetap di pesantren,atau juga yang pulang pergi dari rumah ke pesantren.Tiba-tiba saja keduanya dikejutkan dengan kedatangan informan yang mengabarkan bila Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim hendak ditangkap.Keduanya segera bertindak cepat untuk menyelamatkan diri dan keluarga mereka.

Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim segera pergi meninggalkan kediaman dan pesantren.Mereka semua pergi ke arah selatan,tepatnya ke Pesawahan,di mana ada Kiai Ismail adik Mbah Muqoyim yang sedang merintis pesantren di tempat itu.Perjalanan ke Pesawahan saat itu bukanlah hal mudah,karena sarana jalan dan transportasi tidak seperti sekarang ini.Rumah dan pesantren Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim sudah dikosongkan.Kedua ulama dan keluarganya tersebut sudah pergi meninggalkannya untuk menetap sementara di Pesawahan.

Ketika pihak tentara penjajah datang,alangkah marahnya mereka,karena kedua ulama tersebut sudah tak ada di tempatnya.Untuk melampiaskan kekesalannya,serdadu penjajah tersebut akhirnya menembaki siapa saja yang ada di sekitar pesantren.Saat sedang ada santri yang menetap di sekitar pesantren yang terlihat,santri tersebutpun akhirnya tak luput dari peluru yang dilontarkan oleh serdadu penjajah dan tewas di tempat kejadian.Setelah serdasu pergi,oleh penduduk sekitar santri tersebut dimakamkan tak jauh dari tempat kejadian,yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama makam santri.

Kiai Ardisela (14)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (14)

Para Murid Yang Rindu Mbah Muqoyim

Kepergian Mbah Muqoyim dari Keraton Kanoman membuat murid-muridnya yang berasal dari kota merasa rindu akan sosoknya.Merekapun akhirnya mencari tahu kemana perginya Mbah Muqoyim.Setelah diketahui bila Mbah Muqoyim pergi dan menetap di kawasan Cirebon bagian timur,merekapun akhirnya banyak yang datang menemui Mbah Muqoyim untuk kembali belajar pada ulama Keraton Kanoman tersebut.

Mereka yang berhasil menemui Mbah Muqoyim semakin senang,lebih-lebih di sisi Mbah Muqoyim ada Kiai Ardisela yang juga mumpuni dalam ilmu agama dan kanuragan.Para santri semakin giat belajar aneka ilmu,baik ilmu agama,kwterampilan,pemerintahan,maupun ilmu kanuragan.Do antara mereka terselip putra-putra keraton yang sepakat dengan pemikiran Mbah Muqoyim yang anti penjajahan.

Semakin lama,keberadaan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim semakin banyak diketahui oleh orang.Karena keberadaannya dikhawatirkan semakin membahayakan pihak penjajah,merekapun akhirnya tak tinggal diam.Kaum muda yang suka bepergian ke arah Cirebon bagian timurpun mereka curigai.Telik sandi atau mata-matapun mereka sebar untuk mengetahui keberadaan Mbah Muqoyim.

Setelah mengetahui keberadaan Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim,pihak penjajahpun akhirnya hendak menangkap Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim.Segera mereka mengutus serdadunya untuk menangkap kedua ulama tersebut.

Kiai Ardisela (12)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela'

Kiai Ardisela Kedatangan Mbah Muqoyim

Suatu saat,Mbah Muqoyim yang suda gerah dengan ulah penjajah di Keraton Kanoman,akhirnya bertekad untuk meninggalkan jabatan muftinya di Keraton Kanoman.Orang yang pertama ingin ditujunya adalah sahabat sekaligus adik iparnya,Kiai Ardisela.Beliaupun segera menuju Dawuan Sela.Kedatangan beliau disambut hangat oleh Nyi Alfan adiknya,dan juga keponaknnya.Beliaupun menceritakan kedatangannya kepada adik perempuannya tersebut.Nyai Alfan memberitahu kakaknya jika Kiai Ardisela suaminya sedang melatih anak-anak didiknya di Gunung Ciremai.

Karena takut akan lama di Gunung Ciremai,Mbah Muqoyimpun akhirnya menyusul Kiai Ardisela di Gunung Ciremai.Setelah bertemu di kawasan Gunung Ciremai,Mbah Muqoyimpun segera mengutarakn kedatangannya pada Kiai Ardisela,bahwa beliau hendak ikut menetap tak jauh dari tempatnya tinggal di Dawuan Sela.Mengetahui maksud kedatangan Mbah Muqoyim,betapa senang hati Kiai Ardisela.Beliau dan Mbah Muqoyim segera pulang kembali ke Dawuan Sela.Para santri yang sudah berlatihpun diperintahkan pulang ke rumah masing-masing.

Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim bersiap kembali pulang ke Dawuan Sela.Atas usul Kiai Arsisela,akhirnya Mbah Muqoyim dan keluarganyapun memilih menetap tinggal di dekat Dawuan Sela guna mendirikan pesantren baru dan mengajar santri-santri bersama Kiai Ardisela.

Kedatangan Mbah Muqoyim ke Dawuan Sela membuat suasana kawasan Dawuan Sela dan sekitarnya semakin ramai.Lebih-lebih ketika Mbah Muqoyim telah membuka pesantren sendiri.Para santri semakin banyak yang berdatangan,maklum saja,karena pesantren tersebut dibuka oleh Mbah Muqoyim yang mantan seorang mufti Keraton Kanoman yang dikenal berilmu Dan berpengetahuan luas.

Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyimpun bekerja sama dengan baik sekali.Keduanya bahu membahu menyiapkan santri yang siap membela negeri dari penindasan penajajah Belanda.Kejadian ini  diperkirakan terjadi sekitar tahun 1785 M,ditahun inilah yang diperkirakan menjadi tonggak awal pendirian Pesantren Buntet.

Kiai Ardisela (13)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela'

Mbah Muqoyim dan Dua Ardisela

Nama Mbah Muqoyim tak bisa dipisahkan dengan nama Kiai Ardisela.Orang-orang mengira jika nama Kiai Ardisela ini hanya merujuk kepada satu orang saja.Padahal tidak,ternyata ada lebih dari dua Ardisela yang hidup dalam kurun waktu yang sama atau tidak terlalu jauh masanya dengan Mbah Muqoyim.Nama Ardisela yang menjadi teman Mbah Muqoyim juga tidak hanya satu orang saja, tapi lebih dari seorang.

Perbedaan orang dengan nama Ardisela ini didasari oleh banyak hal,antara lain berkaitan dengan kisah hidup,tahun kelahiran atau usia,silsilah, jabatan,keluarga dan keturunan,makam,dan lain sebagainya.Namun seiring berjalannya waktu,banyak orang yang menyangka jika Ardisela hanya satu.Hal ini dikarenakan kisah perjuangan mereka semua tidak dicatat dan hanya diceritakan dari mulut ke mulut saja,sehingga terjadi ketidakutuhan sejarah.Hal ini karena saat itu memang aneka kisah perjuangan harus dirahasiakan,termasuk merahasiakan nama Ardisela.

Dalam sebuah kisah di ceritakan bila Mbah Muqoyim yang keluar dari Keraton Kanoman memutuskan menuju arah timur Cirebon.Beliau menemui sahabat sekaligus adik iparnya yang bernama Kiai Ardisela yang menikah dengan adiknya yang bernama Nyi Alfan,yang biasa lebih dikenal dengan nama Kiai Ardisela Buntet atau Dawuan.Saat itu Kiai Ardisela dikenal sebagai seorang kepala desa Dawuan,ulama dan juga sekaligus orang yang sakti mandraguna.Di dekat sinilah Mbah Muqoyim akhirnya mendirikan sebuah pesantren yang kemudian dikenal dengan sebutan Pesantren Buntet.

Kerjasama antara Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela dalam mendirikan pesantren ini benar-benar membuat Belanda gerah.Mbah Muqoyim yang ahli ilmu agama dan ilmu tata negara,bertemu dengan Kiai Ardisela Buntet yang dikenal sebagai seorang ahli agama dan juga ahli ilmu kanuragan.Kerjasama ini berhasil mendirikan suatu pesantren yang siap mencetak santri yang siap bela bangsa dan agama.Tak hanya masyarakat umum,kalangan keluarga keraton juga tak sedikit yang ikut belajar pada kedua ulama ini.

Lambat laun keberadaan pesantren Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela Buntet ini diketahui oleh pihak Belanda.Mengetahui itu pihak Belanda yang geram dengan ulah Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela mendatangi Buntet dan hendak menangkap mereka berdua.Untunglah rencana pihak Belanda itu sudah diketahui oleh Kiai Ardisela Tuk (lebih dikenal dengan nama Mbah Raden Ardisela) yang segera memberitahukan rencana itu kepada keduanya.Mbah Raden Ardisela memang sering kali harus melaporkan keadaan wilayah yang dipimpinnya ke Keraton Kasepuhan. Mbah Raden Ardisela sendiri dikenal sebagai seorang kerabat keraton yang berpura-pura bekerjasama dengan pihak Belanda, sehingga pihak Belanda tidak menaruh curiga padanya.Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Mbah Raden Ardisela untuk mencari tahu aneka informasi tentang apa yang akan dilakukan oleh pihak Belanda kepada para pejuang dan ulama.

Mengetahui kabar itu tentang rencana penangkapan mereka,maka dengan cepat Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela Buntet dan keluarganya pergi menyelamatkan diri.Hal ini dilakukan karena mereka tahu jika kekuatan Mbah Muqoyim dan kawan-kawan yang masih sedikit tidak akan mampu melawan Belanda.Mereka semua akhirnya menyelamatkan diri ke Pesawahan,desa di mana Kiai Ismail adik Mbah Muqoyim tinggal.

Ketika sampai ke pesantren,pihak Belanda menjadi kesal karena mereka tidak menemukan Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Mengetahui pesantren dalam keadaan kosong,Belanda akhirnya  membakar pesantren dan menembaki anak-anak kampung yang biasa mengaji,yang saat itu sedang bermain di sekitar pesantren.Anak-anak santri yang gugur itu kemudian dimakamkan tak jauh dari pesantren yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan makam santri.

Berikut ini adalah beberapa hal yang menguatkan jika ada dua Ardisela yang terkait dengan perjuangan Mbah Muqoyim,baik itu dalam perjuangan melawan Penajajah Belanda maupun dalam upaya pendirian Pesantren Buntet,yaitu :

1.Mbah Raden Ardisela diketahui berusia jauh lebih muda dari Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela Buntet.Hal ini didasarkan pada catatan silsilah leluhur dan keturunan masing-masing.Usia Mbah Raden Ardisela ini terpaut jarak hingga dua puluh tahun lebih muda dengan Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela Buntet,sementara usia Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela Buntet sendiri tidak terpaut terlalu jauh.

2.Saat awal pendirian Pesantren Buntet Mbah Muqoyim memang banyak menghabiskan waktu bersama Kiai Ardisela Buntet,tapi setelah kembali dari Pemalang dan membenahi Pesantren Buntet beliau lebih banyak bergaul dengan Mbah Raden Ardisela,lebih-lebih karena pada akhirnya Mbah Muqoyim banyak juga mengisi pengajian di surau-surau atau mushola di Tuk,Sindang Laut dan Lemahabang yang saat itu menjadi kota kecil yang terbilang  ramai.Bahkan hingga akhir hayatnya keduanya dimakamkan di tempat yang tidak berjauhan.

3.Dalam sebuah catatan silsilah tentang Ardisela ini ternyata ada dua catatan silsilah yang berbeda,yang pertama Mbah Raden Ardisela atau Raden Rustam bin Raden Demang Bratanata yang silsilahnya bersambung hingga ke Sunan Gunung Jati.Ardisela yang lain adalah Kiai Ardisela yang silsilahnya bersambung ke Sunan Kalijaga.

4.Dari segi pekerjaan ada perbedaan juga,Kiai Ardisela Buntet selain dikenal sebagai Pemimpin Desa Dawuan,beliau juga dikenal sebagai ulama dan guru ilmu kanuragan yang mempunyai banyak murid.Sementara Mbah Raden Ardisela adalah pemimpin Desa Karangsuwung,dan di kemudian hari beliau diangkat menjadi seorang demang atau wedana di Sindang Laut.Mbah Raden Ardisela juga sebagai ulama,hal ini karena saat itu setiap pemimpin wilayah seringkali juga harus pandai dalam ilmu agama.Tetapi beliau menjadi seorang ulama ketika usianya sudah tua dan jabatan demangnya itu sudah beliau serahkan kepada keponakan sekaligus menantunya yang bernama Raden Rangga Nitipraja.

5.Kiai Ardisela Buntet yang menikah dengan Nyai Alfan adik Mbah Muqoyim mempunyai dua orang anak,yang bernama Kiai Muhamad Iman dan Nyai Kapiyun.Banyak sekali keturunan Kiai Ardisela ini yang di kemudian hari menjadi ulama, antara lain di Pesantren Buntet,Benda,Pemijen,Gedongan,dan pesantren-pesantren lainnya.Salah satu cicit Kiai Ardisela yang juga dikenal sebagai ulama dan juga pemimpin tarekat adalah Kiai Anwarudin atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Krian.

Mbah Raden Ardisela yang menikah dengan Nyai Maemunah (Nyai Muntreng) dikaruniai dua putri,yaitu Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.Sebagian besar keturunan Mbah Raden Ardisela ini banyak yang menjadi pejabat,pegawai,pengusaha,pedagang atau lainnya.Beberapa ulama yang merupakan keturunan Mbah Raden Ardisela kebanyakan dari cucunya yang bernama Raden Raksa yang menikah dengan putri ulama juga.Putri-putri Raden Raksa yang tak lain adalah cicit Mbah Raden Ardisela beberapa ada yang menikah dengan putra-putra kiai dari Pesantren Buntet dan Benda Kerep,y ang di kemudian hari banyak melahirkan ulama juga.

Kiai Krian (cicit Kiai Ardisela) ini hidup sezaman dengan Raden Raksa (cucu Mbah Raden Ardisela).Umur keduanya juga terpaut tidak terlalu jauh.

6.Makam Kiai Ardisela Buntet yang merupakan adik ipar Mbah Muqoyim berada di Desa Sleman Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu,beliau dimakamkan bersama Nyai Alfan istrinya.Sementara itu makam Mbah Raden Ardisela berada di Desa Tuk Karangsuwung Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon.Di pemakaman Mbah Raden Ardisela ini dimakamkan anak,istri,keluarga,keturunan dan teman-teman Mbah Raden Ardisela 

7.Dahulu keluarga,warga atau santri Pesantren Buntet atau pesantren lainnya di Cirebon tak hanya berziarah ke makam Mbah Raden Ardisela di Tuk Karangsuwung saja,namun banyak juga yang suka berziarah ke makam Kiai Ardisela Buntet di Indramayu.Bahkan tak sedikit dari mereka yang berziarah itu yang menempuh perjalanan ke makam Kiai Ardisela di Indramayu dengan berjalan kaki,hal ini dilakukan pada masa penjajahan hingga awal kemerdekaan.

8.Setelah era Sunan Gunung Jati berlangsung dan dilanjutkan oleh anak Keturunannya,Kesultanan Cirebon menerapkan sebuah strategi pemerintahan yang tidak melupakan dakwah Islam juga.Sebagian keturunan Sunan Gunung Jati ada yang duduk di pemerintahan,namun ada juga yang ditunjuk untuk melanjutkan dalam bidang pendidikan dan dakwah.Untuk bidang pendidikan dan dakwah ini didukung juga oleh ulama keturunan Syekh Quro,Sunan Kalijaga dan keturunan Wali Songo atau ulama lainnya.Mbah Raden Ardisela sendiri diketahui adalah seorang yang duduk dalam pemerintahan dan dipercaya sebagai demang.Dalam bidang pendidikan dan dakwah Islam ini beliau bekerjasama dengan Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela Buntet,dan ulama-ulama lainnya.

9.Mbah Raden Ardisela selain sebagai sahabat juga sebagai murid dari Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Kedua ulama tersebut cukup memberikan pengaruh yang cukup besar pada Mbah Raden Ardisela saat beliau menjadi seorang demang dan saat berjuang melawan penjajah Belanda.

Karena kisah Kiai Ardisela Buntet dan Mbah Raden Ardisela ini tidak tercatat dan seringkali hanya disampaikan dari mulut ke mulut,maka kesalahan dalam penyampaian kisah sering sekali terjadi.Semakin lama kisah Kiai Ardisela Buntet dan Mbah Raden Ardisela ini semakin kabur,karena semakin lama banyak orang yang menyangka jika kedua nama tersebut merujuk pada satu orang yang sama.Padahal ada dua orang dengan nama Ardisela yang terkait dengan kehidupan dan perjuangan Mbah Muqoyim, Pesantren Buntet,dan juga pesantren-pesantren lainnya yang ada di kawasan Cirebon dan sekitarnya.

Ardisela memang tak hanya satu orang,begitu juga Ardisela yang hidup semasa dan seperjuangan bersama Mbah Muqoyim.

Kiai Ardisela (11)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (11)

Dawuan Sela,Bukit Cimandung Dan Gunung Ciremai

Ketika melatih para muridnya,Kiai Ardisela tak hanya menggunakan satu tempat saja.Hal ini ada kaitannya agar para muridnya semakin kuat fisiknya dan mengetahui banyak medan,sehingga mereka akan siap bila harus berperang melawan penjajah sewaktu-waktu.Beberapa daerah yang menjadi tempat latihannya antara lain Dawuan Sela,Bukit Cimandung Cirebon Girang,Dan Gunung Ciremai Kuningan

Dawuan Sela adalah tempat Kiai Ardisela melatih semua muridnya dari semua kalangan dan usia untuk tingkatan pemula.Dawuan Sela sendiri adalah tempat kediaman Kiai Ardisela sehari-hari,di mana para muridnya datang ke rumahnya untuk belajar mengaji dan ilmu kanuragan.Di sini,latihan ilmu kanuragan yang diberikan tidaklah terlalu berat.

Untuk tingkatan selanjutnya,Kiai Ardisela mengajak muridnya berlatih di Bukit Cimandung Cirebon Girang.Latihan yang diberikanpun semakin keras.Hanya murid-murid yang sudah lulus tes saja yang bisa ikut berlatih di tempat ini.Dari usiapun,mereka yang berlatih di tempat ini termasuk usia yang cukup matang.Until yang lulus,maka selanjutnya mereka akan melanjutkan pelatihan bela diri di Gunung Ciremai Kuningan,sementara yang tidak mampu hanya belajar sampai di tempat ini saja.

Bagi yang lulus,mereka akan melanjutkan latihan di kawasan Gunung Ciremai Kuningan.Di tempat ini para santri tak hanya diajar dan mempraktekkan ilmu kanuragannya saja,tetapi mereka juga diajar cara mengendalikan diri sendiri dan diminta untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.Di sini mereka dilepas satu persatu dan diperintahkan untuk mencari lokasi yang bisa untuk mereka hidup mandiri dan mengamalkan ilmu yang telah mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari.

Kiai Ardisela memang seorang ulama Dan guru kaniragan yang mumpuni,dari hasil didikannya ini di kemudian hari muncul pemimpin-pemimpin yang mumpuni,bail dalam bidang pemerintahan,keagamaan maupun lainnya.Beberapa santrinya yang hingga kini dikenal dan makamnya sering diziarahi adalah Kiai Ma's Khanafi atau Ardisela Jaha yang menjadi menantunya sendiri,yang menikahi anak perempuan Kiai Ardisela dan Nyai Alfan yang bernama Nyai Khafiun.Kiai Mas Khanafi Jaha pada akhirnya juga dikenal sebagai ulama.Sementara murid lainnya yang menonjol adalah Raden Rustam atau Raden Ardisela,yang semasa hidupnya pernah menjadi pemangku wilayah atau demang.

Selain kedua Ardisela tersebut,sebenarnya masih banyak Ardisela-Ardisela lainnya,yang menjadi ulama atau pemimpin suatu wilayah.

Jumat, 05 Januari 2018

Kia Ardisela (8)

Kiai Ardisela Dan Para 'Laskar Ardisela' (8)

Sebagai seorang ulama dan pejuang yang bertanggung jawab,Kiai Ardisela benar-benar menggembleng para muridnya dengan sungguh-sungguh.Mereka digembleng dengan aneka ilmu agama dan ilmu kanuragan.Tak hanya masyarakat biasa,kalangan masyarakat dari keraton yang membenci Belandapun banyak yang ikut serta menjadi muridnya.Semua murid dianggap sama,tak dibedakan berdasarkan statusnya atau dari mana asal-usulnya.Hanya murid-muridnya yang pandai,berani dan tangguhlah yang beliau tunjuk sebagai ketua untuk memimpin murid-murid lainnya yang siap berperang melawan Belanda.

Untuk murid-murid pilihannya,Kiai Ardisela memberinya nama Ardisela.Agar tidak saling keliru mengenali,maka Kiai Ardisela memberi julukan Ardisela dengan embel-embel tertentu.Ada Ardisela Jaha atau Buyut Jaha yang nama aslinya adalah Mas Khanafi,ada Raden Ardisela Tuk yang nama aslinya adalah Raden Rustam,dan beberapa nama Ardisela lainnya.Para Ardisela itu digembleng dengan aneka latihan yang tidak mudah.Hal ini tentu saja agar mereka siap menghadapi Belanda.

Peralatan perang yang tak semodern pihak penjajah memang menharuskan para laskar pimpinan Kiai Ardisela ini digembleng dengan sungguh-sungguh.Sehingga ketika harus berhadapan dengan musuh,mereka bisa menghadapinya.Kiai Ardisela tenth saja tidak melakukan tugas seorang diri,karena banyan tokoh-tokoh lainnya yang turut serta melatih para laskar,termasuk juga para laskar Ardisela.Tetapi,memang Kiai Ardiselalah yang paling menonjol di antara guru-guru lainnya.