Minggu, 01 September 2019

Makam Ki Layaman

Makam Ki Layaman

Ki Layaman dikenal sebagai seorang yang sakti mandraguna dan juga sebagai seorang ahli ilmu agama yang tawadhu.Ki Layaman diyakini banyak orang sebagai seorang waliyullah,sehingga tak aneh jika makamnya hingga kini banyak diziarahi oleh banyak orang.Para peziarah yang datang tak hanya dari Cirebon saja,tetapi juga dari luar Cirebon.

Makam Ki Layaman ini terletak di Blok Rancang,Dawuan,Tengah Tani,Cirebon.Untuk menuju makam ini tidaklah susah,karena letaknya begitu strategis yaitu dekat dengan jalan raya yang menghubungkan Cirebon Bandung atau Cirebon Jakarta.Jika dari arah Bandung atau Jakarta,letak makamnya berada di sebelah kanan,bila dari Cirebon atau Jawa Tengah,letaknya ada di sebelah kiri.Hanya berjarak sekitar 20 meter,di belakang rumah penduduk.

Makam Ki Layaman dapat dengan mudah dijangkau dengan kendaraan umum atau pribadi.Apabila naik kendaraan umum dari Bandung atau Jakarta,turun setelah pertigaan Tengah Tani,jika dari arah Cirebon atau Jawa Tengah turun sebelum pertigaannya.Dari terminal Cirebon biasanya para peziarah bisa naik angkutan elf jurusan Bandung,Gegesik atau Indramayu.Bila dari Kota Cirebon,naik saja angkot jurusan Plered atau Palimanan.Di tepi jalanpun sudah ada tulisan nama makamnya.Hampir sebagian besar Mobil umum atau angkot tahu makam ini,karena letaknya yang memang begitu dekat denga jalan raya.


Jumat, 30 Agustus 2019

Aneka Foto 7

Aneka Foto (7)


Makam Mbah Raden Dikrama dan istrinya.Mbah Raden Dikrama adalah salah seorang teman seperjuangan dan orang kepercayaan Mbah Raden Ardisela.Beliau dikenal sebagai ahli pembuat senjata dan mpu keris.



Salah satu tombak buatan Mbah Raden Dikrama yang disimpan dan dirawat oleh keturunannya.

Rabu, 28 Agustus 2019

Kiai Layaman,Waliyullah yang Tawadhu

Kiai Layaman,Waliyullah yang Tawadhu

Ki Layaman dikenal sebagai seorang yang ahli dalam ilmu agama Islam dan seorang yang sakti mandraguna,sama seperti Buyut Muji ayahnya.Di kalangan masyarakat di sekitarnya saat itu,beliau dikenal sebagai seorang yang tawadhu.Ketawadhuan tersebut lakukan dalam kehidupannya sehari-hari.Hal inilah yang membuatnya dikenal sebagi seorang yang rendah hati dan tidak sombong.

Dalam bidang pekerjaan,Kiai Layaman tidak pernah mau  memandang sebelah mata pekerjaan apapun.Baginya semua pekerjaan adalah sama baiknya,yang penting pekerjaan itu halal.Sehingga walau beliau dikenal mempunyai kemampuan lebih dibanding orang kebanyakan pada umumnya,beliau memilih pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terlalu dianggap bergengsi di kalangan banyak orang.Kiai Layaman memilih pekerjaan sebagai pengurus kuda-kuda milik Kesultanan Kasepuhan Cirebon.Pekerjaan yang dulu dilakukan oleh ayahnya itu dilanjutkan olehnya tanpa rasa sungkan.

Sebagai seorang yang ahli dalam bidang agama dan dikenal sebagai orang sakti yang bisa mengobati aneka macam penyakit,Ki Layaman sebenarnya bisa saja  mendapatkan pekerjaan lain dan memperoleh uang lebih dari keahliannya itu.Kalau mau,beliau bisa saja memanfaatkan kemampuannya tersebut,sehingga beliau tak harus repot-repot bekerja sebagai pengurus kuda yang cukup menguras tenaga.

Kesempatan lain juga bisa diperolehnya,karena para iparnya termasuk orang-orang terpandang dan mempunyai jabatan yang baik di Kesultanan Cirebon.Namun walau kakak dan adik ipar Ki Layaman hampir semuanya mempunyai jabatan,tak sedikitpun beliau mau memanfaatkan peluang tersebut untuk kepentingan pribadinya.Padahal jika mau,tentu sangat mudah baginya untuk melakukan hal tersebut.

Ketawaduan atau kerendah hatian memang begitu melekat pada diri Ki Layaman.Ketawadhuan ini  beliau terapkan dalam kehidupannya sehari-hari,termasuk dalam hal pekerjaan yang belum tentu bisa dilakukan oleh banyak orang pada umumnya.Karena ketawadhuannya ini,di kemudian hari akhirnya beliaupun dikenal sebagai seorang waliyullah yang tawadhu.

Selasa, 27 Agustus 2019

Kolam-kolam Milik Mbah Raden Ardisela

Kolam-kolam Milik Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela dikenal sebagai orang yang suka memancing ikan,baik itu memancing di sungai,di laut,atau di kolam.Kebiasaan ini sudah beliau lakukan sejak kecil.Ketika beranjak dewasa hingga masa tuanya,kebiasaan itu tetap dilakukannya.

Ketika menjabat sebagai pemangku wilayah atau demang Sindanglaut,Mbah Raden Ardisela membuat kolam untuk memelihara aneka jenis ikan.Selain karena hobi,tujuan pembuatan kolam tersebut adalah upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui bidang perikanan.Kolam atau balong pertama yang beliau buat di Sindanglaut,tepatnya di Desa Cipeujeuh,di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Balong Raden yang berada di Blok Peradenan.Untuk mengalirkan air dari sungai di sekitarnya yang letaknya lebih rendah,Mbah Raden Ardisela meminta orang-orang kepercayaannya untuk membendung sungai untuk mengalirkan air ke kolam tersebut.

Ketika Mbah Muqoyim melarikan diri dari kejaran penjajah di Pesawahan Sindanglaut,Mbah Raden Ardisela menyembunyikan Mbah Muqoyim di kediamannya di Tuk Karangsuwung.Mengetahui jika Mbah Muqoyim suka dengan ikan,kembali Mbah Raden Ardisela membuat beberapa kolam ikan lagi di Tuk Karangsuwung.Sehingga ketika Mbah Muqoyim ingin makan ikan,maka tak perlu repot-repot pergi ke kolam yang ada di Sindanglaut,cukup mengambilnya di Tuk Karangsuwung,di sekitar rumah Mbah Raden Ardisela.

Selain di Peradenan Cipeujeuh Wetan dan Tuk Karangsuwung,Mbah Raden Ardisela juga membuat kolam di daerah Ciburuy Wangkelang.Ketiga kolam tersebut dirawat dengan baik hingga menghasilkan ikan-ikan yang lumayan banyak setiap kali dipanen.Karena kolam ikan dan ikan-ikannya semakin banyak,maka ikan-ikan tersebut tak hanya dinikmati oleh Mbah Raden Ardisela,keluarga dan para pegawainya saja.Setiap kali memanen ikan di kolam,ikan-ikan tersebut pada akhirnya beliau bagikan kepada masyarakat umum,terutama masyarakat yang berada di sekitar kolamnya.Kebiasaan ini beliau lakukan hingga akhir hayatnya.

Sepeninggal Mbah Raden Ardisela,kolam-kolam di Peradenan Cipeujeuh Wetan,Blok Muara Bengkeng Tuk Karangsuwung dan Ciburuy Wangkelang tersebut diwariskan kepada anak cucu dari Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.Hingga beberapa generasi,kolam-kolam tersebut masih ada dan dipelihara dengan baik oleh keturunan yang mendapat hak atau bagian waris dari kedua putri Mbah Raden Ardisela tersebut.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Kisah Unik Seputar Ardisela

Kisah Unik Seputar Ardisela

Penulis yang lahir dan besar di Tuk Karangsuwung,di mana ada makam Mbah Raden Ardisela dan makam Mbah Muqoyim berada,seringkali mendapati hal-hal unik berkaitan dengan kisah Ardisela.Ketika berkunjung ke beberapa pesantren atau tempat lainnya yang ada kaitannya dengan kedua tokoh tersebut,hal yang didapati juga tak jauh berbeda.Beberapa hal yang menarik adalah cerita beserta aneka perdebatan karena berbedanya kisah dan pendapat tentang siapa sebenarnya Ardisela ini.Hal ini terjadi sebelum penulis dan banyak orang tahu jika Ardisela adalah nama sekelompok pejuang,sama seperti orang-orang yang bercerita dan berdebat tersebut.Beberapa hal unik yang seeing diceritakan atau menjadi perdebatan di antaranya adalah :

1.Mengenai asal-usulnya

Asal-usul Ardisela ini seringkali jadi perdebatan panjang.Karena di Tuk Karangsuwung dan beberapa pesantren lainnya itu memang terdiri dari banyak keturunan para Ardisela yang berbeda,maka perdebatan itu tak bisa dihindarkan.Yang satu bilang berasal dari Indramayu,yang lain bilang berasal dari Cirebon,sementara yang lain bilang berasal dari Arab alias Timur Tengah.Perdebatan panjang yang tak ada habisnya,bahkan hingga penulis dewasa.Ternyata semuanya benar,karena Ardisela adalah sekelompok pejuang yang berasal dari wilayah berbeda namun mempunyai kesamaan visi dan misi dalam berjuang.

2.Mengenai pekerjaannya

Apasih profesi atau pekerjaan Ardisela?.Mengenai hal ini juga selalu dibahas hingga tak selesai-selesai.Ada yang bilang ulama atau kiai,ada yang bilang pemangku wilayah atau demang,atau lainnya.Profesi para Arsisela itu nyatanya bermacam-macam,ada yang pemangku wilayah,ulama atau kiai,ahli senjata,ahli pengobatan atau ahli hikmah,dan profesi lainnya.

3.Mengenai istrinya

Hal lain yang sering diperdebatkan adalah nama istri Ardisela.Siapakah istri Ardisela itu?,ada yang bilang adik Mbah Muqoyim,ada yang bilang keponakannya,ada yang bilang anaknya,ada yang bilang bukan ketiganya.Ternyata semuanya benar.Yang menikah dengan adik Mbah Muqoyim adalah Kiai Ardisela yang menikah dengan adik Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Alfan.Yang menikah dengan keponakannya adalah Ardisela Jaha atau Buyut Jaha,beliau menikah dengan keponakan Mbah Muqoyim,yaitu Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela.Yang menikah dengan anak Mbah Muqoyim adalah Kiai Gozali yang biasa disebut Kiai Ardisela Gozali.Beliau menikah dengan Nyai Fatimah,putri Mbah Muqoyim dari istri yang tinggal di Tuk Karangsuwung.Sementara yang menikah dengan wanita yang tidak ada kaitannya dengan Mbah Muqoyim adalah Mbah Raden Ardisela,dan Ardisela lainnya.

4.Mengenai silsilahnya

Ada yang bilang Ardisela itu satu,tapi banyak kiai atau keturunan para Ardisela yang mempunyai silsilah yang berbeda.Di sebuah catatan milik kiai dari Losari,Kiai Ardisela adalah keturunan Sunan Kalijaga dan Ardisela yang satunya tertulis sebagai menantu Kiai  Ardisela.Sementara kiai lain memegang silsilah jika Kiai Ardisela adalah keturunan Sunan Gunung Jati.Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan.Mengapa satu orang tapi ayah atau silsilah jalur laki-lakinya berbeda-beda.Setelah diketahui jika Ardisela yang sezaman dengan Mbah Muqoyim adalah nama sekelompok pejuang,barulah orang-orang sadar jika silsilah yang dipegang oleh masing-masing keturunan adalah benar.Kalau ada yang mempunyai silsilah yang berbeda dalam satu keluarga,itu karena antara keturunan para Ardisela satu sama lain saling menikah.

5.Mengenai keluarga dan anak keturunannya

Setiap keturunan Ardisela yang berbeda mencatat nama istri,anak,dan keturunan yang berbeda.Nama anak keturunan Ardisela yang satu dengan nama keturunan Ardisela yang lainnya tentu saja berbeda-beda.Yang satu mencatat istri dengan dua anak,sementara yang lainnya lebih dari dua.Yang satu mencatat satu laki-laki dan satu perempuan,yang satu lagi mencatat semua anaknya perempuan,yang lain mencatat anaknya laki-laki saja,sementara yang lainnya mencatat anaknya berbeda lagi.Karena hal ini,anak keturunan Ardisela yang satu dengan Ardisela yang lainnya sering saling klaim dan saling menghina.Sungguh sangat disayangkan,karena hal yang tidak terpuji terjadi karena ketidaktahuan akan sejarah.Karena tidak ingin ada saling klaim dan saling  menghina itulah yang akhirnya memutuskan penulis meneliti Ardisela secara mendalam selama bertahun-tahun hingga akhirnya tahu jika 'Ardisela di era Mbah Muqoyim adalah sekelompok pejuang dengan orang yang berbeda'.

6.Mengenai kisah hidupnya

Karena berbeda asal usul,pekerjaan,silsilah,istri,anak keturunan dan beberapa hal lainnya,tentu saja kisah hidupnyapun berbeda-beda.Hal inilah yang sering membuat banyak orang menjadi bingung.Kisah hidup yang berbeda ini sering diceritakan oleh para orangtua,bahkan oleh para kiai ketika sedang berceramah.Hal ini terjadi selama puluhan tahun.Contohnya yang dikhauli adalah Ardisela Tuk,yang diceritakan Ardisela lainnya.Yang jadi panitia,anak keturunan,jamaah hanya bisa manggut-manggut sambil merasa kebingungan.Ketika yang diceritakan tentang perjuangannya hampir semua tak terlalu masalah,karena semuanya adalah pejuang,tapi ketika bercerita mengenai anak keturunannya,barulah banyak yang bertanya-tanya.Mau interupsipun tidak bisa,karena dalam ceramah atau tabligh biasanya tak ada tanya jawab.

7.Mengenai makamnya

Ada banyak makam Ardisela dan tersebar di banyak tempat atau wilayah berbeda.Di Tuk Karangsuwung saja ada beberapa makam Ardisela.Ada yang di Muara Bengkeng,ada juga yang dekat Mbah Muqoyim.Sementara yang lainnya ada yang di Sleman Indramayu,Cirea Kuningan,Sumedang,Banyuwangi, dan lain sebagainya.Karena belum tahu sejarah Ardisela,banyak orang yang mengira jika makam-makam Ardisela yang banyak tersebut adalah petilasan atau tempat persinggahan Kiai Ardisela.Setelah tahu sejarahnya,barulah orang-orang itu tahu jika makam tersebut adalah asli dan benar adanya.
Kalau nama asli Ardisela sudah diketahui dan diberitahukan kepada banyak orang,biasanya sebutan Ardisela ini sudah tidak terlalu sering diucapkan lagi,bahkan seringkali sudah dilupakan.Sebutan makamnya hanya disebut dengan nama makam tokohnya langsung tanpa tambahan Ardisela,baik itu di depan ataupun di belakangnya.Contohnya adalah makam Ardisela yang berada di Keradenan,Dukuh Puntang Cirebon.

Rabu, 14 Agustus 2019

Kiai Hasan,Sang Kiai Penyabar

Kiai Hasan,Sang Kiai Penyabar

Kiai Hasan adalah anak pertama dari dua bersaudara,putra dari Kiai Muhammad dan Nyai Ning.Adiknya bernama Kiai Husain.Hasan dan Husain,dua nama yang diambil dari nama cucu Nabi Muhammada SAW.Tak banyak informasi tentang ayah atau ibu dari Kiai Hasan ini,namun yang pasti ayah Kiai Hasan ini termasuk kiai dan ibunya juga putri seorang kiai atau ulama juga.

Kiai Hasan kecil berguru kepada beberapa guru mengaji,salah satu guru yang diketahui secara pasti adalah Kiai Anwarudin atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Krian,ulama Keraton Kasepuhan yang paling dikenal saat itu.Tak diketahui di mana Kiai Hasan belajar pada Kiai Krian,apakah di sekitar Kasepuhan di dekat Kiai Krian tinggal,Pesantren Benda Kerep,ataukah di Pesantren  Buntet,karena selain dikenal sebagai ulama Keraton Kasepuhan,Kiai Krian juga diketahui turut mengajar para santri di kedua pesantren tersebut.

Setelah dewasa Kiai Hasan menikah dengan Nyai Nurhanid dan dikarunia seorang putri bernama Nyai Mukhsinah.Beliaupun memulai langkahnya sebagai guru mengaji di sekitar rumahnya di Jati Sari Plered.Di sini beliau mendirikan Pesantren yang biasa disebut Pesantren Jati Sari,sebuah pesantren yang hingga kini masih berdiri dan diteruskan oleh anak keturunanya.Saat mengajar santrinya inilah akhirnya Kiai Hasan diminta menikah lagi dengan adik dari Kiai Maksum,santri senior yang diajarnya.Dari istri keduanya ini Kiai Hasan dikaruniai seorang putra bernama Kiai Ibrohim.

Seiring bertambahnya usia dan pengalaman dalam mengajar,Kiai Hasanpun semakin dikenal oleh berbagai kalangan saat itu.Semakin lama akhirnya semakin banyak pula ulama Cirebon dan sekitarnya yang mempercayai dan menitipkan anaknya untuk dididik oleh Kiai Hasan.Beberapa santrinya yang di kemudian hari dikenal sebagai ulama di Cirebon di antaranya adalah Kiai Jauhari (Pesantren Balerante),Kiai Harun (pendiri Pesantren Kempek),Kiai Hanan (Pesantren Babakan),Kiai Abas (putra Kiai Abdul Jamil Pesantren Buntet),Habib Syekh (Pesantren Jagasatru),dan beberapa ulama lainnya.Setelah wafatnya Kiai Krian,Kiai Hasanlah yang sering menjadi rujukan para ulama Cirebon pada saat ada masalah dalam urusan agama yang tidak terpecahkan.

Selain dikenal sebagai ulama yang pandai,Kiai Hasan juga dikenal sebagai ulama yang penyabar.Hampir tak pernah ada orang yang  melihat bila beliau pernah marah atau menunjukkan rasa kesalnya di hadapan orang lain.Karena kesabarannya yang sangat kuat itulah yang membuat beberapa orang penasaran dan ingin sekali melihat Kiai Hasan marah.Berbagai carapun dilakukan.Suatu saat seorang santrinya berulah dengan maksud agar Kiai Hasan marah,namun ulah santrinya itu tak membuahkan hasil juga.Di lain waktu seorang penjahit dengan sengaja membuat baju pesanan Kiai Hasan yang tak sesuai dengan keinginanya,namun bukannya marah tetapi beliau malah tetap memakai baju tersebut tanpa sedikitpun menunjukkan ekspresi kesalnya.

Kiai Hasan Sang Kiai Penyabar,begitulah kesan yang diberikan oleh para santri dan orang-orang yang pernah berhubungan langsung dengannya.

Sabtu, 10 Agustus 2019

Aneka Foto (6)

Aneka Foto (6)


Muara Benteng yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Muara Bengkeng.Kolam berisi air buatan Mbah Raden Ardisela yang didoakan oleh Mbah Muqoyim agar bisa memberi manfaat.Letaknya berada di depan/utara Masjid Mbah Raden Ardisela.



Sumur Jimat Tuk Karangsuwung dibuat oleh Mbah Raden Dikrama sang empu keris dan senjata.Beliau adalah sahabat sekaligus orang kepercayaan Mbah Raden Ardisela.Sumur ini terletak di perbatasan Desa Tuk Karangsuwung dan Leuwidingding.

Aneka Foto (5)

Aneka Foto (5)



Masjid Mbah Raden Ardisela Tuk Sida Parta,Tuk Karangsuwung,Lemahabang,Cirebon.


Mushola yang didirikan oleh Mbah Muqoyim yang dulunya berada di tengah-tengah Pesantren Tuk.Sekarang masuk blok Kamer/Gang Kiai Kamali,Lemahabang Kulon,Lemahabang,Cirebon.

Aneka Foto (4)

Aneka Foto (4)


Makam Mbah Muqoyim di Tuk Karangsuwung,Lemahabang.Beliau adalah guru sekaligus teman seperjuangan Mbah Raden Ardisela.


Makam Mbah Muta'ad,cucu mantu Mbah Muqoyim yang tak lain adalah teman seperjuangan Raden Rangga Nitipraja.Makamnya berada tak jauh dari makam Mbah Muqoyim.


Makam Mbah Takrifudin pendiri Pesantren Pemijen,Asem Lemahabang.Beliau adalah teman seperjuangan sekaligus besan dari Raden Rangga Nitipraja.

Jumat, 09 Agustus 2019

Aneka Foto (3)

Aneka Foto (3)



Kitab tulisan tangan milik Raden Kalyubi Abdullah,yang merupakan warisan dari leluhurnya.Kitab ini berisi catatan ilmu fikih,tauhid,dan lain-lain (foto atas).Beberapa catatan kaki yang ditulis oleh anak cucu Mbah Raden Ardisela yang terdapat di kitab ini (foto bawah)





Mbah Raden Ardisela,Mbah Raden Arungan dan Nyi Raden Katijem

Mbah Raden Ardisela,Mbah Raden Arungan dan Nyi Raden Katijem

Mbah Raden Ardisela dan Mbah Raden Arungan adalah dua kakak beradik yang sama-sama putra dari Mbah Raden Demang Bratanata.Sebagai kakak dan adik,hubungan keduanya terbilang begitu dekat.Dari segi usia,usia keduanya terpaut cukup jauh dan diperkirakan lebih dari sepuluh tahun.Mbah Raden Arungan adalah anak kedua,sedangkan Mbah Raden Ardisela adalah anak kesepuluh dari sebelas bersaudara.Walau usia keduanya terpaut cukup jauh,namun hubungan keduanya terbilang dekat.

Bila Mbah Raden Ardisela bertempat tinggal di Karangsuwung dan Tuk Karangsuwung,maka Mbah Raden Arungan bertempat tinggal di Gebang.Hubungan kakak beradik ini sering dikisahkan oleh keturunan keduanya secara turun temurun.Lebih-lebih anak keduanya ada yang menikah,yaitu antara putri Mbah Raden Ardisela yang bernama Nyi Raden Aris dan anak Mbah Raden Arungan yang bernama Raden Rangga,yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Raden Rangga Nitipraja.

Di dalam sebuah catatan kitab tua yang kebetulan selamat dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab,terdapat kisah yang menjelaskan tentang kepergian cucu Mbah Raden Ardisela dan Mbah Raden Arungan yang bernama Raden Sulaeman beserta anak dari Raden Niti Atmareja kakaknya.Dalam catatan itu Raden Sulaeman pergi ke Gebang Udik.Kunjungan itu dilakukan untuk melayat seseorang yang disebut mama,yang diduga adalah paman dari Raden Sulaeman dan Raden Nitiatmareja,anak Mbah Raden Arungan yang meninggal dunia.

Selain dekat dengan kakaknya yang bernama Mbah Raden Arungan,Mbah Raden Ardisela juga diketahui dekat dengan kakak perempuannya yang bernama Nyi Raden Katijem.Bila Mbah Raden Arungan tinggal di Gebang,Nyi Raden Katijem tinggal tak jauh dengan Mbah Raden Ardisela di Tuk Karangsuwung.Keduanya tinggal di desa ini hingga akhir hayatnya.Keturunan dari keduanya banyak yang bertempat tinggal di desa Tuk Karangsuwung,Sindanglaut dan sekitarnya secara turun temurun hingga saat ini.

Sujud Terakhir Kiai Ilyas Abdussalam

Sujud Terakhir Kiai Ilyas Abdussalam

Kiai Ilyas bin Kiai Abdussalam adalah putra dari Kiai Abdussalam dan Nyai .....Beliau adalah menantu dari Kiai Mu'thi bin Mbah Mutaad,suami dari putrinya yang bernama Nyai Fatonah.Dari pernikahannya dengan Nyai Fatonah ini Kiai Ilyas Abdussalam dikarunia sembilan anak,yaitu Kiai Arsyad,Nyai Naimah,Nyai Siti Aminah,Kiai Aqib,Kiai Abdullah,Nyai Aisyah,Nyai Khodijah,Nyai Saodah dan Nyai Fatimah.Masa hidup Kiai Ilyas Abdussalam banyak dihabiskan di Pesantren Buntet bersama istri dan anak-anaknya,dekat dengan keluarga besar Mbah Mutaad dan Mbah Muqoyim lainnya.

Saat usianya tak lagi muda,ada beberapa masalah yang berkaitan dengan prinsip hidupnya,baik itu berkaitan dengan masalah keluarga maupun dengan lingkungan sekitarnya,terutama kaitannya dengan masalah tarekat.Sepupu istrinya yang bernama Kiai Abas Abdul Jamil yang dikenal sebagai sesepuh Pesantren Buntet sempat menasihatinya agar Kiai Ilyas Abdussalam lebih lunak dan fleksibel dalam menghadapi aneka masalah,namun Kiai Ilyas Abdussalam yang dikenal tegas ini tetap pada pendiriannya.

Suatu hari Kiai Ilyas Abdussalam pergi ke Pesantren Benda Kerep guna menemui saudaranya yang tak lain adalah putra dan putri dari Mbah Soleh.Setelah selesai silaturohim,Kiai Abdussalam yang pergi bersama istri dan putri bungsunya itupun berpamitan pulang.Perjalanan dari Pesantren Buntet ke Benda Kerep dan sebaliknya ditempuh dengan cara berjalan kaki melewati Kanggraksan.Sebuah perjalanan yang melelahkan namun umum dilakukan oleh orang yang hidup di awal tahun 1900 an hingga masa kemerdekaan.

Ketika sampai di Kanggraksan beliau mampir di rumah saudaranya di Kanggraksan selama beberapa jam.Ketika hendak melanjutkan perjalanan pulang,entah mengapa beliau memutuskan untuk tak pulang ke Pesantren Buntet tapi pergi ke Tuk Karangsuwung,ke rumah anak dan menantunya yang tinggal di Blok Muara Bengkeng.Setelah mengantarkan anak dan istrinya pulang ke Pesantren Buntet,beliau melanjutkan perjalanan ke Tuk Karangsuwung seorang diri.

Di Tuk Karangsuwung ini Kiai Ilyas tinggal di rumah Nyai Siti Aminah anaknya,yang menikah dengan Raden Kalyubi keponakannya sendiri,putra dari Nyai Ruhilah adiknya yang menikah dengan Raden Abdullah Raksa.Di sini beliau merasa betah karena jauh dari hiruk pikuk aneka masalah,terutama permasalahan tarekat yang sedang memanas di Pesantren Buntet dan Benda Kerep.Selain Nyai Aminah,di dekat Tuk Karangsuwung ini tinggal juga dua putri Kiai Ilyas lainnya,yaitu Nyai Naimah yang menikah dengan Kiai Abu dan tingal di Dongkol Asem,serta Nyai Khodijah yang menikah dengan Kiai Sahid dan tinggal di Lemahabang,dua tempat yang saat itu masih merupakan pesantren dengan banyak santri.

Di Tuk Karangsuwung ini Kiai Ilyas Abdussalam menghabiskan masa tuanya untuk beribadah.Kiai Ilyas Abdussalam sangat gemar berpuasa dan melaksanakan sholat sunah.Selain suka puasa dan sholat sunah,beliau juga dikenal sebagai orang yang suka berbagi kepada fakir miskin.Saat tinggal di Pesantren Buntet atau di Tuk Karangsuwung,kebiasaan ini tak berubah.Ketika hendak makan beliau seringkali mencari atau mendatangi orang yang kemungkinan belum makan.

Saat sakit,Kiai Ilyas Abdussalam tak sedikitpun mau merubah kebiasaannya dalam beribadah.Suatu hari,Kiai Ilyas melaksanakan sholat sendirian.Tak dijelaskan apakah sholat wajib atau sunah,namun yang pasti beliau begitu lama saat bersujud.Ketika anaknya memanggil,Kiai Ilyas tetap diam dalam sujudnya.Setelah beberapa lama,barulah anak menantunya memberanikan diri menghampirinya.Kiai Ilyas tetap tak bergerak.Barulah anak menantunya sadar jika ternyata Kiai Ilyas Abdussalam sudah meninggal,itu adalah sholat sekaligus sujud terakhir Kiai Ilyas Abdussalam.

Ada dua pemakaman  yang terdapat di Tuk Karangsuwung,yaitu pemakaman Tuk Lor dan Tuk Kidul.Walau sebagai keturunan Mbah Muqoyim yang makamnya ada di Tuk Lor,namun anak dan menantu Kiai Ilyas Abdussalam memutuskan untuk memakamkannya di Tuk Kidul.Hal ini karena beliau tinggal bersama anak menantunya di Muara Bengkeng yang tak jauh dari makam Tuk Kidul.Akhirnya beliaupun dimakamkan satu blok dengan keluarga besar Raden Abdullah Raksa yang tak lain adalah adik ipar sekaligus besannya itu.

Senin, 08 April 2019

Kademangan Sindanglaut di Era Mbah Raden Ardisela

Kademangan Sindanglaut di Era Mbah Raden Ardisela

Sebagai wilayah kademangan,Kademangan Sindanglaut termasuk wilayah yang cukup luas.Saat dijadikan wilayah Kawedanaan (penghubung antara kantor camat dan bupati),Kawedanaan Sindanglaut meliputi Kecamatan Lemahabang,Karangsembung dan Astanajapura.Sementara itu Kecamatan Lemahabang di mana Kawedanaan Sindanglaut berada meliputi beberapa wilayah yang sekarang ini sudah  menjadi kecamatan sendiri karena sudah terjadi pemekaran,yaitu Kecamatan Lemahabang,Kecamatan Sedong (perbatasan Cirebon dan Kuningan),dan Kecamatan Susukan Lebak.

Era tahun 1700 an akhir,Sindanglaut yang sudah berdiri sejak era Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati ini termasuk ke dalam daerah yang tidak terlalu ramai.Hal ini dikarenakan Sindanglaut yang letaknya jauh dari pantai tidak terlalu mudah dijangkau oleh angkutan air yang menjadi andalan transportasi kala itu.Di akhir tahun 1700 an atau awal 1800 M,lambat laun Sindanglaut berubah dan semakin maju.Lebih-lebih ketika Mbah Raden Ardisela memimpin Kademangan Sindanglaut.

Mbah Raden Ardisela memegang jabatan untuk memimpin wilayah Cirebon bagian timur.Daerah-daerah kecil di sekitarnya biasanya akan melapor aneka hal atau masalah kepada Mbah Raden Ardisela terlebih dulu,sebelum akhirnya dilaporkan kepada Sultan Kasepuhan yang menjadi atasan dari Mbah Raden Ardisela yang bertugas sebagai pemangku wilayah atau Demang Sindanglaut.

Beberapa hal yang dilakukan oleh Mbah Raden Ardisela untuk membangun Sindanglaut di antaranya adalah melalui usaha peningkatan di bidang perekonomian dan pendidikan.Usaha peningkatan di bidang ekonomi adalah dengan cara membuka persawahan baru untuk ditanami padi atau tanaman lainnya.Selain bidang pertanian,bidang perikanan juga turut menjadi perhatian Mbah Raden Ardisela.Bidang perikanan ini tak terlepas dari hobi memancing yang sangat digemari oleh Mbah Raden Ardisela.Selain perikanan laut,perikanan darat yang dipelihara di kolam-kolam juga turut digalakkan.Mbah Raden Ardisela sendiri bahkan mencontohkannya secara langsung dengan membangun beberapa kolam ikan,seperti yang ada di Tuk Karangsuwung,Peradenan Cipeujeuh,dan Ciburuy Wangkelang,di mana ikan-ikan hasil panennya sebagian besar dibagikan kepada masyarakat sekitar.

Dalam bidang pendidikan,Mbah Raden Ardisela mendorong berdirinya pesantren-pesantren dikarenakan sistem pendidikannya yang bersifat merakyat,sehingga sistem pendidikannya bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat.Pendidikan pesantren memang berbeda dengan pendidikan yang dikelola oleh pemerintahan penjajah yang hanya diperuntukkan untuk keluarga penjajah dan segelintir kaum bangsawan saja.

Agar masyarakat merasa aman dan pendidikan dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa gangguan dari penjajah,Mbah Raden Ardisela tetap mempertahankan cara berpolitiknya yang selalu berpura-pura mau bekerjasama dengan pihak penjajah.Padahal di pesantren-pesantren tersebut Mbah Raden Ardisela dan para ulama terus mengkader para santri yang siap berjuang membela negeri.

Di era Mbah Raden Ardisela ini Kademangan Sindanglaut kembali menggeliat dan berkembang dengan baik dalam bidang ekonomi maupun bidang pendidikan dan keagamaan.Hal ini tak lepas dari usaha Mbah Raden Ardisela bersama para ulama,kuwu dan tokoh masyarakat lainnya yang berada di Kademangan Sindanglaut.

Senin, 18 Februari 2019

Catatan Pada Kitab- kitab Tua

Catatan Pada Kitab-kitab Tua

Berikut adalah beberapa catatan mengenai kejadian-kejadian yang terdapat pada sebuah kitab yang dimiliki oleh Raden Djunaedi Kalyubi.Kitab tersebut adalah kitab fikih,tauhid,hadis,sedikit amalan mujarobat,catatan harian,dan lain-lain.Benerapa catatan diperkirakan dibuat akhir tahun 1890 an M,sementara usia kitab ini belum diketahui secara pasti.

Tertulis keterangan yang ditulis oleh Raden Sulaeman (ada yang berpendapat tulisan anak Raden Sulaeman)mengenai sebuah catatan tentang Mama (bisa ayah mertua atau pamannya) yang ada kaitannya denganKuwu Gebang Udik.Tak tertulis dengan jelas di catatan siapa yang menulis catatan tersebut.Nama Niti Atmarja /Atmareja juga tertulis di catatan tersebut,seseorang yang dipanggil kakak (kang) oleh Raden Sulaeman.




Tertulis tentang kelahiran seorang anak perempuan bernama Kusmartini (atas) dan anak laki-laki bernama Muhamad Arsyad/Irsyad.Satu hal yang menarik adalah nama Kiiai Said Gedongan yang disebut di catatan ini,yang diharapkan doa atau berkahnya.



Tulisan ini menjelaskan tentang kelahiran Raden Sunah.

Masih ada beberapa tulisan kaki lainnya yang menyebut nama-nama orang yang ada kaitannya dengan penulis catatan dan pemilik kitab ini.

Sabtu, 09 Februari 2019

Kiai Abdul Jamil dan Dua Jantung Hatinya

Kiai Abdul Jamil dan Dua Jantung Hatinya

Kiai Abdul Jamil,atau sebagian orang memanggilnya Mbah atau Buyut Abdul Jamil.Beliau adalah putra Mbah Mutaad yang melanjutkan kepemimpinan Pondok Pesantren Buntet.Kisahnya sudah banyak ditulis dalam berbagai macam artikel,bahkan beberapa buku.Bagi sebagian santri Pesantren Buntet,tentu tidak asing lagi dengan namanya.

Kali ini bukan sejarah atau kisah kepahlawanan atau ketokohannya yang akan ditulis,tapi kisah lucu (mungkin juga menyedihkan) untuk sebagian orang,yaitu kisah perkawinannya dengan dua orang wanita yang mengharu biru.Yang pertama adalah perkawinannya dengan Nyai Sa'diyah,dan yang kedua adalah dengan Nyai Kariah.Dua wanita yang menjadi jantung hati Kiai Abdul Jamil bin Mbah Mutaad.

Dikisahkan,Kiai Abdul Jamil muda yang sejak kecil diasuh oleh Kiai Anwarudin alias Kiai Krian kakak iparnya,hendak dinikahkan dengan putri Kiai Krian dari istri pertamanya yang bernama Nyai Sa'diah.Hal ini  dilakukan dengan berbagai macam alasan.Selain alasan mempererat hubungan kekeluargaan,juga dengan harapan anak-anaknya kelak dapat melanjutkan perjuangan para leluhurnya dalam mensyiarkan ajaran agama Islam.Hal ini dikarenakan Kiai Krian tahu betul perihal siapa Kiai Abdul Jamil yang sudah diasuhnya sejak kecil tersebut.

Saat dinikahkan oleh ayahnya,usia Nyai Sa'diah masih terlalu muda dan belum mengerti arti pernikahan,sehingga beliau sendiri tidak tahu kalau sudah dinikahkan dengan Kiai Abdul Jamil yang tak lain adalah paman tirinya sendiri.Sedih?,jahat?,begitu tahu ada anak remaja tanggung dinikahkan oleh ayahnya?.Jangan sedih atau berfikir itu adalah perbuatan jahat,karena perkawinan itu hanya sebagai ikatan saja,dengan harapan tak ada lagi orang yang akan melamar atau macam-macam dengan Nyai Sa'diah.Pernikahan itu hanya sebagai tali pengikat saja,tak lebih dari itu.Setelah menikah dengan Kiai Abdul Jamil,Nyai Sa'diah tetap tinggal bersama ayah dan ibunya.Beliau tetap bisa bermain seperti anak-anak dan remaja tanggung lain pada umumnya.Tak ada masa kanak-kanak atau remaja yang terenggut darinya,semua berjalan normal seperti biasanya.

Karena alasan belum bisa berkumpul dengan Nyai Sa'diah  layaknya suami istri,akhirnya Kiai Krianpun mencarikan seorang istri baru untuk Kiai Abdul Jamil.Sebagai ulama Keraton Kasepuhan Cirebon dan guru di beberapa pesantren,Kiai Krian mempunyai banyak teman.Pilihan Kiai Krianpun jatuh kepada anak seorang Penghulu Landraat Cirebon.Akhirnya Kiai Abdul Jamil dijodohkan dan dipertemukan dengan anak sang penghulu tersebut.Nyai Kariah,nama gadis itu,putri seorang penghulu yang masih mempunyai darah Tionghoa dari ibunya.

Pernikahan kali ini dilakukan seperti pernikahan pada umumnya,lengkap dengan acara walimah atau syukuran dan pesta khas tradisi pesantren.Ketika hendak mengantar Kiai Abdul Jamil ke rumah mempelai wanita,Nyai Sa'diah ikut serta rombongan keluarga.Melihat aneka  rangkaian melati yang begitu indah,Nyai Sa'diah yang tak tahu jika Kiai Abdul Jamil adalah suaminya itupun menjadi tertarik dan memintanya kepada paman tiri sekaligus suaminya itu.

"Paman,bolehkah saya minta rangkaian melati ini?",pinta Nyai Sa'diah dengan polosnya.
"Boleh,silahkan saja yi,ambil mana yang kamu suka",jawab Kiai Abdul Jamil sambil mempersilahkan Nyai Sa'diah mengambil sendiri rangkaian melati tersebut.

Entahlah,bagaimana ekspresi Kiai Abdul Jamil saat itu,yang pasti Nyai Sa'diah kecil merasa begitu gembira mendapatkan rangkaian melati tersebut.Nyai Sa'diah tidak tahu bila rangkaian melati itu akan dipakai oleh Kiai Abdul Jamil suaminya dan Nyai Kariah calon istrinya dalam acara pernikahan,calon istri yang tentu saja akan menjadi madu alias istri kedua dari suaminya setelah dirinya.

*Diceritakan oleh Siti Maesaroh,kisah dari Nyai Fatmah putri Nyai Mukminah Abdul Jamil dan Kiai Bakri Kasepuhan

Minggu, 03 Februari 2019

Arti Nama Ardisela

Mbah Raden Ardisela (6)

Nama Ardisela yang dipakai oleh beberapa orang di era tahun 1700 an hingga tahun 1800 an M,sebagian besar bukan nama sebenarnya,melainkan nama lain atau alias.Ada berbagai macam arti dari nama Ardi Sela,ada yang mengatakan bila Ardi berarti bumi atau tanah,sebuah kata yang berasal dari Bahasa Arab,sedangkan Sela sendiri berasal dari bahasa Cirebon yang berarti antara.Pendapat lain mengatakan bila Ardi berarti tanah dan Sela itu batu,Ardi berarti wilayah atau tempat dan Sela berarti batu.

Bila melihat dari beberapa pendapat,bisa jadi semuanya benar,karena satu sama lain masih mempunyai kesamaan arti dengan asal-usul penggunaaan nama Ardisela ini.Beberapa orang yang menggunakan nama Ardisela ini hampir mempunyai kesamaan tindakan atau 'lelakon' nya,yaitu mereka banyak menghabiskan waktu di sebuah wilayah,biasanya duduk di atas batu di antara tanah kosong atau perbukitan sambil berdzikir.

Raden Rustam Bin Demang Bratanata sendiri pada akhirnya juga  memakai nama Ardisela.Nama Ardisela ini diambil karena saat itu Mbah Raden Ardisela memang kerap menghabiskan waktu dengan berkhalwat atau uzlah (mengasingkan diri untuk mendekatkan diri pada Allah swt ),dan beliau biasa menghabiskan waktu menyendiri nya di kawasan Gunung Ciremai.Karena beliau biasa duduk sambil berdzikir di atas batu disela-sela tanah,maka nama inilah yang kemudian beliau gunakan.Pendapat lain mengatakan jika nama Ardisela ini diperoleh karena beliau tergabung dalam kelompok 'Ardisela'.Proses mendapatkan atau menggunakan nama ini hampir sama persis seperti para Ardisela lainnya,yaitu melalui proses tertentu melalui tahapan yang tidak mudah dengan aneka macam gemblengan dan ujian.

Setelah selesai mengasingkan diri dan mencari makna kehidupan,Mbah Raden Ardisela yang semula bernama Raden Rustam tak lantas pulang ke rumah orangtuanya.Beliau lalu pergi ke arah timur Cirebon.Di sebuah wilayah yang masih kosong,sunyi dan angker beliau menghabiskan waktunya untuk membuka pedukuhan atau kampung baru,padahal waktu itu tak ada satu orangpun yang mau menempati daerah tersebut.Karena tempatnya sepi dan angker,beliau beri nama daerah itu Karang Suwung.Karang berati tempat atau wilayah dan Suwung berarti angker atau kosong.

Beberapa tahun kemudian setelah beliau mendapat jabatan yang lebih tinggi,beliau akhirnya pindah ke daerah Tuk.Di Tuk Karangsuwung ini beliau hidup bersama istrinya yang bernama  Nyai Maemunah (Nyai Muntreng),dan kedua anak perempuannya yang bernama Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.Nama Ardisela yang sudah akrab di telinga banyak orang pada akhirnya tetap beliau gunakan,bahkan hingga akhir hayatnya.Di kemudian hari nama Raden Ardisela ini lebih dikenal dibandingkan dengan nama Raden Rustam atau nama beliau lainnya,termasuk nama gelar jabatan beliau yang tercatat di Keraton Kasepuhan.

Senin, 28 Januari 2019

Ikan Beracun dan Kematian Putri Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela (36)

Menurut kisah turun-temurun,Nyi Raden Aras meninggal dalam usia yang tidak terlalu tua.Beliau meninggal di usia 30 hingga 40 an tahun.

Ada dua kisah yang melatarbelakangi kisah kematian Nyi Raden Aras ini.Namun yang pasti beliau meninggal karena keracunan ikan.Menurut satu versi,ikan tersebut adalah ikan dari suaminya yang baru pulang memancing di laut.Tanpa diketahui,ternyata ikan yang dibawa adalah ikan yang beracun.Karena tidak mengerti dan mengolahnya seperti ikan biasa saja,maka racun dalam ikan itu tak hilang.Ketika beliau memakannya,beliaupun akhirnya keracunan ikan tersebut.Karena tak mendapatkan obatnya,Nyi Raden Araspun  akhirnya meninggal dunia.

Versi lain menceritakan jika Nyi Raden Aras meninggal karena ikan beracun yang dikirimkan oleh seorang lelaki yang sakit hati karena Nyi Raden Aris adiknya menikah dengan Raden Rangga Nitipraja sepupunya sendiri.Kejadian itu bermula ketika ada seorang pemuda tetaggga Raden Rangga yang sama-sama dari Gebang,ternyata jatuh cinta juga pada Nyi Raden Aris.Begitu tahu Nyi Raden Aris menikah dengan Raden Rangga,maka dia begitu marah dan dendam.Dia berjanji jika dia tidak mendapatkan Nyi Raden Aris,maka siapapun tak boleh mendapatkannya,termasuk Raden Rangga yang sudah jadi suaminya.

Sang lelaki itu akhirnya mengirimkan ikan untuk Nyi Raden Aris.Seorang pesuruh mengantarkan ikan tersebut dari Gebang ke Tuk Karangsuwung dengan harapan bisa dimakan oleh Nyi Raden Aris.Saat pesuruh itu datang,yang menerima ikan tersebut adalah Nyi Raden Aras.Melihat ikan yang baru dilihatnya dan belum pernah dimakan olehnya,beliaupun akhirnya mencicipi ikan tersebut.Beliau tidak tahu sedikitpun jika ikan tersebut beracun.Karena racun yang terdapat dalam ikan itu cukup kuat,akhirnya nyawa Nyi Raden Araspun tak dapat diselamatkan.Beliaupun akhirnya meninggal dunia.

Nyi Raden Aras meninggalkan seorang suami bernama Raden Nurlayaman dan seorang anak bernama Raden Hasan Mudhofat.Di kemudian hari suami Nyi Raden Aras ini menikah lagi dengan wanita dari luar Tuk Karangsuwung dan memutuskan untuk pindah tempat tinggal.Sementara itu Raden Hasan Mudhofat anaknya dirawat oleh Nyi Raden Aris.Oleh Nyi Raden Aris dan Raden Rangga,Raden Hasan Mudhofat dirawat seperti layaknya anak sendiri.Raden Hasan Mudhofatpun tumbuh dalam asuhan bibi kandunh dan paman iparnya,bersama adik-adik sepupunya yang lain,yaitu Raden Raksa,Raden Pali,Nyi Raden Ayu,Raden Sulaeman dan Nyi Raden Kuning.

Aneka foto (2)

Aneka Foto 2




Makam Mbah Raden Arungan,Astana Gunung Amparan,Gebang Cirebon.Beliau adalah kakak sekaligus besan Mbah Raden Ardisela Tuk Karangsuwung.Anaknya yang bernama Raden Rangga NP menikah dengan putri Mbah Raden Ardisela yang bernama Nyi Raden Aris.


                         Makam istri Mbah Raden Arungan



Sabtu, 19 Januari 2019

Kematian,Bukan Kekalahan

Kematian,Bukan Kekalahan

Saat masih muda,kira-kira ketika saya berusia 20 an,kematian adalah sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan.Baik kematian yang menimpa keluarga besar saya,apalagi saya.Baik yang menimpa pada yang tua,maupun yang muda.Tapi ternyata kematian itu ada,dekat dan nyata.Walau tak mau membayangkannya,cepat atau lambat kematian akan datang juga.

Hal ini terjadi pada keponakan saya.Dia yang begitu saya sayangi,pergi mendahului saya.Dia meninggal ketika usianya masih begitu muda,sekitar usia 13 tahun saat dia duduk di bangku sekolah setingkat smp.Masih begitu muda,jauh lebih muda dari saya yang berumur 10 tahun lebih tua darinya.

Masih teringat begitu kuat,saat itu saya yang sedang berada di Jakarta sedang begitu lupa dengan yang namanya kematian.Ketika suatu malam seseorang menelepon saya di rumah teman yang saya tinggali tentang dekatnya kematian,saya masih yakin bila kematian itu masih jauh.'Keponakanmu sedang koma,kamu disuruh pulang'.Begitu isi percakapan telpon malam itu.

Esoknya saya langsung bergegas pulang kampung di Cirebon tercinta.Begitu saya tiba,saya langsung mendatangi rumah sakit tempat keponakan saya dirawat.Tak ada dialog di sana,hanya ada pemamdangan memilukan di ruang rawat.Badan yang kaku,nafas yang tersengal,mata yang terpejam,dan lantunan suara Al Quran.Tapi saya masih tetap berfikir dan yakin jika kematian itu masih jauh.

Setelah melalui serangkaian pengobatan yang tak membuat baik keadaan keponakan saya,dokter menyarankan agar keponakan dibawa ke Jakarta,di mana rumah sakit dengan fasilitas lengkap dan memadai tersedia.Masih ada asa.Harapannya,walaupun tak ada obatnya paling tidak ada keajaiban di sana.Lebih-lebih ketika mengetahui usaha kedua orangtuanya,dan juga lantunan banyak doa dari orang-orang yang menengoknya.

Membawa seseorang yang dicintai ke rumah sakit itu rasanya seperti berperang,dan berharap kita yang akan memenangkan peperangan tersebut.Usaha dan doa tak pernah berhenti,semua dijalani tanpa lelah dan keluh.Menunggu berhari-hari di rumah sakitpun tak apa-apa,karena berharap kesembuhan itu masih ada.Hingga pada akhirnya dokter memberitahu jika keponakan saya telah tiada.Saat itu saya benar-benar seperti kalah perang.Entahlah keluarga yang lainnya,yang pasti sedih dan kecewa jadi satu.

Setelah beberapa waltu,akhirnya saya tersadar juga,walau segala usaha seperti sia-sia dan doa serasa tiada guna,kematian tetap bukan kekalahan.Kematian adalah takdir Yang Maha Kuasa,yang cepat atau lambat akan datang kepada kita semua.Teruslah berusaha dan berdoa,karena usaha dan doa yang dilakukan secara maksimal adalah wujud rasa cinta.Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita semua,kalau tidak untuk kitaaling tidak yang terbaik untuk seseorang yang telah pergi meninggalkan kita.

Ya,bila kematian datang menjelang pada siapapun,tak perlu merasa kalah,karena sejatinya kematian adalah teman kita sehari-hari,yang akan datang tepat pada waktunya,seberapapun kita berusaha dan berdoa.