Jumat, 30 Agustus 2019

Aneka Foto 7

Aneka Foto (7)


Makam Mbah Raden Dikrama dan istrinya.Mbah Raden Dikrama adalah salah seorang teman seperjuangan dan orang kepercayaan Mbah Raden Ardisela.Beliau dikenal sebagai ahli pembuat senjata dan mpu keris.



Salah satu tombak buatan Mbah Raden Dikrama yang disimpan dan dirawat oleh keturunannya.

Rabu, 28 Agustus 2019

Kiai Layaman,Waliyullah yang Tawadhu

Kiai Layaman,Waliyullah yang Tawadhu

Ki Layaman dikenal sebagai seorang yang ahli dalam ilmu agama Islam dan seorang yang sakti mandraguna,sama seperti Buyut Muji ayahnya.Di kalangan masyarakat di sekitarnya saat itu,beliau dikenal sebagai seorang yang tawadhu.Ketawadhuan tersebut lakukan dalam kehidupannya sehari-hari.Hal inilah yang membuatnya dikenal sebagi seorang yang rendah hati dan tidak sombong.

Dalam bidang pekerjaan,Kiai Layaman tidak pernah mau  memandang sebelah mata pekerjaan apapun.Baginya semua pekerjaan adalah sama baiknya,yang penting pekerjaan itu halal.Sehingga walau beliau dikenal mempunyai kemampuan lebih dibanding orang kebanyakan pada umumnya,beliau memilih pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terlalu dianggap bergengsi di kalangan banyak orang.Kiai Layaman memilih pekerjaan sebagai pengurus kuda-kuda milik Kesultanan Kasepuhan Cirebon.Pekerjaan yang dulu dilakukan oleh ayahnya itu dilanjutkan olehnya tanpa rasa sungkan.

Sebagai seorang yang ahli dalam bidang agama dan dikenal sebagai orang sakti yang bisa mengobati aneka macam penyakit,Ki Layaman sebenarnya bisa saja  mendapatkan pekerjaan lain dan memperoleh uang lebih dari keahliannya itu.Kalau mau,beliau bisa saja memanfaatkan kemampuannya tersebut,sehingga beliau tak harus repot-repot bekerja sebagai pengurus kuda yang cukup menguras tenaga.

Kesempatan lain juga bisa diperolehnya,karena para iparnya termasuk orang-orang terpandang dan mempunyai jabatan yang baik di Kesultanan Cirebon.Namun walau kakak dan adik ipar Ki Layaman hampir semuanya mempunyai jabatan,tak sedikitpun beliau mau memanfaatkan peluang tersebut untuk kepentingan pribadinya.Padahal jika mau,tentu sangat mudah baginya untuk melakukan hal tersebut.

Ketawaduan atau kerendah hatian memang begitu melekat pada diri Ki Layaman.Ketawadhuan ini  beliau terapkan dalam kehidupannya sehari-hari,termasuk dalam hal pekerjaan yang belum tentu bisa dilakukan oleh banyak orang pada umumnya.Karena ketawadhuannya ini,di kemudian hari akhirnya beliaupun dikenal sebagai seorang waliyullah yang tawadhu.

Selasa, 27 Agustus 2019

Kolam-kolam Milik Mbah Raden Ardisela

Kolam-kolam Milik Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela dikenal sebagai orang yang suka memancing ikan,baik itu memancing di sungai,di laut,atau di kolam.Kebiasaan ini sudah beliau lakukan sejak kecil.Ketika beranjak dewasa hingga masa tuanya,kebiasaan itu tetap dilakukannya.

Ketika menjabat sebagai pemangku wilayah atau demang Sindanglaut,Mbah Raden Ardisela membuat kolam untuk memelihara aneka jenis ikan.Selain karena hobi,tujuan pembuatan kolam tersebut adalah upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui bidang perikanan.Kolam atau balong pertama yang beliau buat di Sindanglaut,tepatnya di Desa Cipeujeuh,di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Balong Raden yang berada di Blok Peradenan.Untuk mengalirkan air dari sungai di sekitarnya yang letaknya lebih rendah,Mbah Raden Ardisela meminta orang-orang kepercayaannya untuk membendung sungai untuk mengalirkan air ke kolam tersebut.

Ketika Mbah Muqoyim melarikan diri dari kejaran penjajah di Pesawahan Sindanglaut,Mbah Raden Ardisela menyembunyikan Mbah Muqoyim di kediamannya di Tuk Karangsuwung.Mengetahui jika Mbah Muqoyim suka dengan ikan,kembali Mbah Raden Ardisela membuat beberapa kolam ikan lagi di Tuk Karangsuwung.Sehingga ketika Mbah Muqoyim ingin makan ikan,maka tak perlu repot-repot pergi ke kolam yang ada di Sindanglaut,cukup mengambilnya di Tuk Karangsuwung,di sekitar rumah Mbah Raden Ardisela.

Selain di Peradenan Cipeujeuh Wetan dan Tuk Karangsuwung,Mbah Raden Ardisela juga membuat kolam di daerah Ciburuy Wangkelang.Ketiga kolam tersebut dirawat dengan baik hingga menghasilkan ikan-ikan yang lumayan banyak setiap kali dipanen.Karena kolam ikan dan ikan-ikannya semakin banyak,maka ikan-ikan tersebut tak hanya dinikmati oleh Mbah Raden Ardisela,keluarga dan para pegawainya saja.Setiap kali memanen ikan di kolam,ikan-ikan tersebut pada akhirnya beliau bagikan kepada masyarakat umum,terutama masyarakat yang berada di sekitar kolamnya.Kebiasaan ini beliau lakukan hingga akhir hayatnya.

Sepeninggal Mbah Raden Ardisela,kolam-kolam di Peradenan Cipeujeuh Wetan,Blok Muara Bengkeng Tuk Karangsuwung dan Ciburuy Wangkelang tersebut diwariskan kepada anak cucu dari Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.Hingga beberapa generasi,kolam-kolam tersebut masih ada dan dipelihara dengan baik oleh keturunan yang mendapat hak atau bagian waris dari kedua putri Mbah Raden Ardisela tersebut.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Kisah Unik Seputar Ardisela

Kisah Unik Seputar Ardisela

Penulis yang lahir dan besar di Tuk Karangsuwung,di mana ada makam Mbah Raden Ardisela dan makam Mbah Muqoyim berada,seringkali mendapati hal-hal unik berkaitan dengan kisah Ardisela.Ketika berkunjung ke beberapa pesantren atau tempat lainnya yang ada kaitannya dengan kedua tokoh tersebut,hal yang didapati juga tak jauh berbeda.Beberapa hal yang menarik adalah cerita beserta aneka perdebatan karena berbedanya kisah dan pendapat tentang siapa sebenarnya Ardisela ini.Hal ini terjadi sebelum penulis dan banyak orang tahu jika Ardisela adalah nama sekelompok pejuang,sama seperti orang-orang yang bercerita dan berdebat tersebut.Beberapa hal unik yang seeing diceritakan atau menjadi perdebatan di antaranya adalah :

1.Mengenai asal-usulnya

Asal-usul Ardisela ini seringkali jadi perdebatan panjang.Karena di Tuk Karangsuwung dan beberapa pesantren lainnya itu memang terdiri dari banyak keturunan para Ardisela yang berbeda,maka perdebatan itu tak bisa dihindarkan.Yang satu bilang berasal dari Indramayu,yang lain bilang berasal dari Cirebon,sementara yang lain bilang berasal dari Arab alias Timur Tengah.Perdebatan panjang yang tak ada habisnya,bahkan hingga penulis dewasa.Ternyata semuanya benar,karena Ardisela adalah sekelompok pejuang yang berasal dari wilayah berbeda namun mempunyai kesamaan visi dan misi dalam berjuang.

2.Mengenai pekerjaannya

Apasih profesi atau pekerjaan Ardisela?.Mengenai hal ini juga selalu dibahas hingga tak selesai-selesai.Ada yang bilang ulama atau kiai,ada yang bilang pemangku wilayah atau demang,atau lainnya.Profesi para Arsisela itu nyatanya bermacam-macam,ada yang pemangku wilayah,ulama atau kiai,ahli senjata,ahli pengobatan atau ahli hikmah,dan profesi lainnya.

3.Mengenai istrinya

Hal lain yang sering diperdebatkan adalah nama istri Ardisela.Siapakah istri Ardisela itu?,ada yang bilang adik Mbah Muqoyim,ada yang bilang keponakannya,ada yang bilang anaknya,ada yang bilang bukan ketiganya.Ternyata semuanya benar.Yang menikah dengan adik Mbah Muqoyim adalah Kiai Ardisela yang menikah dengan adik Mbah Muqoyim yang bernama Nyai Alfan.Yang menikah dengan keponakannya adalah Ardisela Jaha atau Buyut Jaha,beliau menikah dengan keponakan Mbah Muqoyim,yaitu Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela.Yang menikah dengan anak Mbah Muqoyim adalah Kiai Gozali yang biasa disebut Kiai Ardisela Gozali.Beliau menikah dengan Nyai Fatimah,putri Mbah Muqoyim dari istri yang tinggal di Tuk Karangsuwung.Sementara yang menikah dengan wanita yang tidak ada kaitannya dengan Mbah Muqoyim adalah Mbah Raden Ardisela,dan Ardisela lainnya.

4.Mengenai silsilahnya

Ada yang bilang Ardisela itu satu,tapi banyak kiai atau keturunan para Ardisela yang mempunyai silsilah yang berbeda.Di sebuah catatan milik kiai dari Losari,Kiai Ardisela adalah keturunan Sunan Kalijaga dan Ardisela yang satunya tertulis sebagai menantu Kiai  Ardisela.Sementara kiai lain memegang silsilah jika Kiai Ardisela adalah keturunan Sunan Gunung Jati.Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan.Mengapa satu orang tapi ayah atau silsilah jalur laki-lakinya berbeda-beda.Setelah diketahui jika Ardisela yang sezaman dengan Mbah Muqoyim adalah nama sekelompok pejuang,barulah orang-orang sadar jika silsilah yang dipegang oleh masing-masing keturunan adalah benar.Kalau ada yang mempunyai silsilah yang berbeda dalam satu keluarga,itu karena antara keturunan para Ardisela satu sama lain saling menikah.

5.Mengenai keluarga dan anak keturunannya

Setiap keturunan Ardisela yang berbeda mencatat nama istri,anak,dan keturunan yang berbeda.Nama anak keturunan Ardisela yang satu dengan nama keturunan Ardisela yang lainnya tentu saja berbeda-beda.Yang satu mencatat istri dengan dua anak,sementara yang lainnya lebih dari dua.Yang satu mencatat satu laki-laki dan satu perempuan,yang satu lagi mencatat semua anaknya perempuan,yang lain mencatat anaknya laki-laki saja,sementara yang lainnya mencatat anaknya berbeda lagi.Karena hal ini,anak keturunan Ardisela yang satu dengan Ardisela yang lainnya sering saling klaim dan saling menghina.Sungguh sangat disayangkan,karena hal yang tidak terpuji terjadi karena ketidaktahuan akan sejarah.Karena tidak ingin ada saling klaim dan saling  menghina itulah yang akhirnya memutuskan penulis meneliti Ardisela secara mendalam selama bertahun-tahun hingga akhirnya tahu jika 'Ardisela di era Mbah Muqoyim adalah sekelompok pejuang dengan orang yang berbeda'.

6.Mengenai kisah hidupnya

Karena berbeda asal usul,pekerjaan,silsilah,istri,anak keturunan dan beberapa hal lainnya,tentu saja kisah hidupnyapun berbeda-beda.Hal inilah yang sering membuat banyak orang menjadi bingung.Kisah hidup yang berbeda ini sering diceritakan oleh para orangtua,bahkan oleh para kiai ketika sedang berceramah.Hal ini terjadi selama puluhan tahun.Contohnya yang dikhauli adalah Ardisela Tuk,yang diceritakan Ardisela lainnya.Yang jadi panitia,anak keturunan,jamaah hanya bisa manggut-manggut sambil merasa kebingungan.Ketika yang diceritakan tentang perjuangannya hampir semua tak terlalu masalah,karena semuanya adalah pejuang,tapi ketika bercerita mengenai anak keturunannya,barulah banyak yang bertanya-tanya.Mau interupsipun tidak bisa,karena dalam ceramah atau tabligh biasanya tak ada tanya jawab.

7.Mengenai makamnya

Ada banyak makam Ardisela dan tersebar di banyak tempat atau wilayah berbeda.Di Tuk Karangsuwung saja ada beberapa makam Ardisela.Ada yang di Muara Bengkeng,ada juga yang dekat Mbah Muqoyim.Sementara yang lainnya ada yang di Sleman Indramayu,Cirea Kuningan,Sumedang,Banyuwangi, dan lain sebagainya.Karena belum tahu sejarah Ardisela,banyak orang yang mengira jika makam-makam Ardisela yang banyak tersebut adalah petilasan atau tempat persinggahan Kiai Ardisela.Setelah tahu sejarahnya,barulah orang-orang itu tahu jika makam tersebut adalah asli dan benar adanya.
Kalau nama asli Ardisela sudah diketahui dan diberitahukan kepada banyak orang,biasanya sebutan Ardisela ini sudah tidak terlalu sering diucapkan lagi,bahkan seringkali sudah dilupakan.Sebutan makamnya hanya disebut dengan nama makam tokohnya langsung tanpa tambahan Ardisela,baik itu di depan ataupun di belakangnya.Contohnya adalah makam Ardisela yang berada di Keradenan,Dukuh Puntang Cirebon.

Rabu, 14 Agustus 2019

Kiai Hasan,Sang Kiai Penyabar

Kiai Hasan,Sang Kiai Penyabar

Kiai Hasan adalah anak pertama dari dua bersaudara,putra dari Kiai Muhammad dan Nyai Ning.Adiknya bernama Kiai Husain.Hasan dan Husain,dua nama yang diambil dari nama cucu Nabi Muhammada SAW.Tak banyak informasi tentang ayah atau ibu dari Kiai Hasan ini,namun yang pasti ayah Kiai Hasan ini termasuk kiai dan ibunya juga putri seorang kiai atau ulama juga.

Kiai Hasan kecil berguru kepada beberapa guru mengaji,salah satu guru yang diketahui secara pasti adalah Kiai Anwarudin atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Krian,ulama Keraton Kasepuhan yang paling dikenal saat itu.Tak diketahui di mana Kiai Hasan belajar pada Kiai Krian,apakah di sekitar Kasepuhan di dekat Kiai Krian tinggal,Pesantren Benda Kerep,ataukah di Pesantren  Buntet,karena selain dikenal sebagai ulama Keraton Kasepuhan,Kiai Krian juga diketahui turut mengajar para santri di kedua pesantren tersebut.

Setelah dewasa Kiai Hasan menikah dengan Nyai Nurhanid dan dikarunia seorang putri bernama Nyai Mukhsinah.Beliaupun memulai langkahnya sebagai guru mengaji di sekitar rumahnya di Jati Sari Plered.Di sini beliau mendirikan Pesantren yang biasa disebut Pesantren Jati Sari,sebuah pesantren yang hingga kini masih berdiri dan diteruskan oleh anak keturunanya.Saat mengajar santrinya inilah akhirnya Kiai Hasan diminta menikah lagi dengan adik dari Kiai Maksum,santri senior yang diajarnya.Dari istri keduanya ini Kiai Hasan dikaruniai seorang putra bernama Kiai Ibrohim.

Seiring bertambahnya usia dan pengalaman dalam mengajar,Kiai Hasanpun semakin dikenal oleh berbagai kalangan saat itu.Semakin lama akhirnya semakin banyak pula ulama Cirebon dan sekitarnya yang mempercayai dan menitipkan anaknya untuk dididik oleh Kiai Hasan.Beberapa santrinya yang di kemudian hari dikenal sebagai ulama di Cirebon di antaranya adalah Kiai Jauhari (Pesantren Balerante),Kiai Harun (pendiri Pesantren Kempek),Kiai Hanan (Pesantren Babakan),Kiai Abas (putra Kiai Abdul Jamil Pesantren Buntet),Habib Syekh (Pesantren Jagasatru),dan beberapa ulama lainnya.Setelah wafatnya Kiai Krian,Kiai Hasanlah yang sering menjadi rujukan para ulama Cirebon pada saat ada masalah dalam urusan agama yang tidak terpecahkan.

Selain dikenal sebagai ulama yang pandai,Kiai Hasan juga dikenal sebagai ulama yang penyabar.Hampir tak pernah ada orang yang  melihat bila beliau pernah marah atau menunjukkan rasa kesalnya di hadapan orang lain.Karena kesabarannya yang sangat kuat itulah yang membuat beberapa orang penasaran dan ingin sekali melihat Kiai Hasan marah.Berbagai carapun dilakukan.Suatu saat seorang santrinya berulah dengan maksud agar Kiai Hasan marah,namun ulah santrinya itu tak membuahkan hasil juga.Di lain waktu seorang penjahit dengan sengaja membuat baju pesanan Kiai Hasan yang tak sesuai dengan keinginanya,namun bukannya marah tetapi beliau malah tetap memakai baju tersebut tanpa sedikitpun menunjukkan ekspresi kesalnya.

Kiai Hasan Sang Kiai Penyabar,begitulah kesan yang diberikan oleh para santri dan orang-orang yang pernah berhubungan langsung dengannya.

Sabtu, 10 Agustus 2019

Aneka Foto (6)

Aneka Foto (6)


Muara Benteng yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Muara Bengkeng.Kolam berisi air buatan Mbah Raden Ardisela yang didoakan oleh Mbah Muqoyim agar bisa memberi manfaat.Letaknya berada di depan/utara Masjid Mbah Raden Ardisela.



Sumur Jimat Tuk Karangsuwung dibuat oleh Mbah Raden Dikrama sang empu keris dan senjata.Beliau adalah sahabat sekaligus orang kepercayaan Mbah Raden Ardisela.Sumur ini terletak di perbatasan Desa Tuk Karangsuwung dan Leuwidingding.

Aneka Foto (5)

Aneka Foto (5)



Masjid Mbah Raden Ardisela Tuk Sida Parta,Tuk Karangsuwung,Lemahabang,Cirebon.


Mushola yang didirikan oleh Mbah Muqoyim yang dulunya berada di tengah-tengah Pesantren Tuk.Sekarang masuk blok Kamer/Gang Kiai Kamali,Lemahabang Kulon,Lemahabang,Cirebon.

Aneka Foto (4)

Aneka Foto (4)


Makam Mbah Muqoyim di Tuk Karangsuwung,Lemahabang.Beliau adalah guru sekaligus teman seperjuangan Mbah Raden Ardisela.


Makam Mbah Muta'ad,cucu mantu Mbah Muqoyim yang tak lain adalah teman seperjuangan Raden Rangga Nitipraja.Makamnya berada tak jauh dari makam Mbah Muqoyim.


Makam Mbah Takrifudin pendiri Pesantren Pemijen,Asem Lemahabang.Beliau adalah teman seperjuangan sekaligus besan dari Raden Rangga Nitipraja.

Jumat, 09 Agustus 2019

Aneka Foto (3)

Aneka Foto (3)



Kitab tulisan tangan milik Raden Kalyubi Abdullah,yang merupakan warisan dari leluhurnya.Kitab ini berisi catatan ilmu fikih,tauhid,dan lain-lain (foto atas).Beberapa catatan kaki yang ditulis oleh anak cucu Mbah Raden Ardisela yang terdapat di kitab ini (foto bawah)





Mbah Raden Ardisela,Mbah Raden Arungan dan Nyi Raden Katijem

Mbah Raden Ardisela,Mbah Raden Arungan dan Nyi Raden Katijem

Mbah Raden Ardisela dan Mbah Raden Arungan adalah dua kakak beradik yang sama-sama putra dari Mbah Raden Demang Bratanata.Sebagai kakak dan adik,hubungan keduanya terbilang begitu dekat.Dari segi usia,usia keduanya terpaut cukup jauh dan diperkirakan lebih dari sepuluh tahun.Mbah Raden Arungan adalah anak kedua,sedangkan Mbah Raden Ardisela adalah anak kesepuluh dari sebelas bersaudara.Walau usia keduanya terpaut cukup jauh,namun hubungan keduanya terbilang dekat.

Bila Mbah Raden Ardisela bertempat tinggal di Karangsuwung dan Tuk Karangsuwung,maka Mbah Raden Arungan bertempat tinggal di Gebang.Hubungan kakak beradik ini sering dikisahkan oleh keturunan keduanya secara turun temurun.Lebih-lebih anak keduanya ada yang menikah,yaitu antara putri Mbah Raden Ardisela yang bernama Nyi Raden Aris dan anak Mbah Raden Arungan yang bernama Raden Rangga,yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Raden Rangga Nitipraja.

Di dalam sebuah catatan kitab tua yang kebetulan selamat dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab,terdapat kisah yang menjelaskan tentang kepergian cucu Mbah Raden Ardisela dan Mbah Raden Arungan yang bernama Raden Sulaeman beserta anak dari Raden Niti Atmareja kakaknya.Dalam catatan itu Raden Sulaeman pergi ke Gebang Udik.Kunjungan itu dilakukan untuk melayat seseorang yang disebut mama,yang diduga adalah paman dari Raden Sulaeman dan Raden Nitiatmareja,anak Mbah Raden Arungan yang meninggal dunia.

Selain dekat dengan kakaknya yang bernama Mbah Raden Arungan,Mbah Raden Ardisela juga diketahui dekat dengan kakak perempuannya yang bernama Nyi Raden Katijem.Bila Mbah Raden Arungan tinggal di Gebang,Nyi Raden Katijem tinggal tak jauh dengan Mbah Raden Ardisela di Tuk Karangsuwung.Keduanya tinggal di desa ini hingga akhir hayatnya.Keturunan dari keduanya banyak yang bertempat tinggal di desa Tuk Karangsuwung,Sindanglaut dan sekitarnya secara turun temurun hingga saat ini.

Sujud Terakhir Kiai Ilyas Abdussalam

Sujud Terakhir Kiai Ilyas Abdussalam

Kiai Ilyas bin Kiai Abdussalam adalah putra dari Kiai Abdussalam dan Nyai .....Beliau adalah menantu dari Kiai Mu'thi bin Mbah Mutaad,suami dari putrinya yang bernama Nyai Fatonah.Dari pernikahannya dengan Nyai Fatonah ini Kiai Ilyas Abdussalam dikarunia sembilan anak,yaitu Kiai Arsyad,Nyai Naimah,Nyai Siti Aminah,Kiai Aqib,Kiai Abdullah,Nyai Aisyah,Nyai Khodijah,Nyai Saodah dan Nyai Fatimah.Masa hidup Kiai Ilyas Abdussalam banyak dihabiskan di Pesantren Buntet bersama istri dan anak-anaknya,dekat dengan keluarga besar Mbah Mutaad dan Mbah Muqoyim lainnya.

Saat usianya tak lagi muda,ada beberapa masalah yang berkaitan dengan prinsip hidupnya,baik itu berkaitan dengan masalah keluarga maupun dengan lingkungan sekitarnya,terutama kaitannya dengan masalah tarekat.Sepupu istrinya yang bernama Kiai Abas Abdul Jamil yang dikenal sebagai sesepuh Pesantren Buntet sempat menasihatinya agar Kiai Ilyas Abdussalam lebih lunak dan fleksibel dalam menghadapi aneka masalah,namun Kiai Ilyas Abdussalam yang dikenal tegas ini tetap pada pendiriannya.

Suatu hari Kiai Ilyas Abdussalam pergi ke Pesantren Benda Kerep guna menemui saudaranya yang tak lain adalah putra dan putri dari Mbah Soleh.Setelah selesai silaturohim,Kiai Abdussalam yang pergi bersama istri dan putri bungsunya itupun berpamitan pulang.Perjalanan dari Pesantren Buntet ke Benda Kerep dan sebaliknya ditempuh dengan cara berjalan kaki melewati Kanggraksan.Sebuah perjalanan yang melelahkan namun umum dilakukan oleh orang yang hidup di awal tahun 1900 an hingga masa kemerdekaan.

Ketika sampai di Kanggraksan beliau mampir di rumah saudaranya di Kanggraksan selama beberapa jam.Ketika hendak melanjutkan perjalanan pulang,entah mengapa beliau memutuskan untuk tak pulang ke Pesantren Buntet tapi pergi ke Tuk Karangsuwung,ke rumah anak dan menantunya yang tinggal di Blok Muara Bengkeng.Setelah mengantarkan anak dan istrinya pulang ke Pesantren Buntet,beliau melanjutkan perjalanan ke Tuk Karangsuwung seorang diri.

Di Tuk Karangsuwung ini Kiai Ilyas tinggal di rumah Nyai Siti Aminah anaknya,yang menikah dengan Raden Kalyubi keponakannya sendiri,putra dari Nyai Ruhilah adiknya yang menikah dengan Raden Abdullah Raksa.Di sini beliau merasa betah karena jauh dari hiruk pikuk aneka masalah,terutama permasalahan tarekat yang sedang memanas di Pesantren Buntet dan Benda Kerep.Selain Nyai Aminah,di dekat Tuk Karangsuwung ini tinggal juga dua putri Kiai Ilyas lainnya,yaitu Nyai Naimah yang menikah dengan Kiai Abu dan tingal di Dongkol Asem,serta Nyai Khodijah yang menikah dengan Kiai Sahid dan tinggal di Lemahabang,dua tempat yang saat itu masih merupakan pesantren dengan banyak santri.

Di Tuk Karangsuwung ini Kiai Ilyas Abdussalam menghabiskan masa tuanya untuk beribadah.Kiai Ilyas Abdussalam sangat gemar berpuasa dan melaksanakan sholat sunah.Selain suka puasa dan sholat sunah,beliau juga dikenal sebagai orang yang suka berbagi kepada fakir miskin.Saat tinggal di Pesantren Buntet atau di Tuk Karangsuwung,kebiasaan ini tak berubah.Ketika hendak makan beliau seringkali mencari atau mendatangi orang yang kemungkinan belum makan.

Saat sakit,Kiai Ilyas Abdussalam tak sedikitpun mau merubah kebiasaannya dalam beribadah.Suatu hari,Kiai Ilyas melaksanakan sholat sendirian.Tak dijelaskan apakah sholat wajib atau sunah,namun yang pasti beliau begitu lama saat bersujud.Ketika anaknya memanggil,Kiai Ilyas tetap diam dalam sujudnya.Setelah beberapa lama,barulah anak menantunya memberanikan diri menghampirinya.Kiai Ilyas tetap tak bergerak.Barulah anak menantunya sadar jika ternyata Kiai Ilyas Abdussalam sudah meninggal,itu adalah sholat sekaligus sujud terakhir Kiai Ilyas Abdussalam.

Ada dua pemakaman  yang terdapat di Tuk Karangsuwung,yaitu pemakaman Tuk Lor dan Tuk Kidul.Walau sebagai keturunan Mbah Muqoyim yang makamnya ada di Tuk Lor,namun anak dan menantu Kiai Ilyas Abdussalam memutuskan untuk memakamkannya di Tuk Kidul.Hal ini karena beliau tinggal bersama anak menantunya di Muara Bengkeng yang tak jauh dari makam Tuk Kidul.Akhirnya beliaupun dimakamkan satu blok dengan keluarga besar Raden Abdullah Raksa yang tak lain adalah adik ipar sekaligus besannya itu.