Makam Mbah Raden Dikrama dan istrinya.Mbah Raden Dikrama adalah salah seorang teman seperjuangan dan orang kepercayaan Mbah Raden Ardisela.Beliau dikenal sebagai ahli pembuat senjata dan mpu keris.
Jumat, 30 Agustus 2019
Aneka Foto 7
Makam Mbah Raden Dikrama dan istrinya.Mbah Raden Dikrama adalah salah seorang teman seperjuangan dan orang kepercayaan Mbah Raden Ardisela.Beliau dikenal sebagai ahli pembuat senjata dan mpu keris.
Rabu, 28 Agustus 2019
Kiai Layaman,Waliyullah yang Tawadhu
Kiai Layaman,Waliyullah yang Tawadhu
Ki Layaman dikenal sebagai seorang yang ahli dalam ilmu agama Islam dan seorang yang sakti mandraguna,sama seperti Buyut Muji ayahnya.Di kalangan masyarakat di sekitarnya saat itu,beliau dikenal sebagai seorang yang tawadhu.Ketawadhuan tersebut lakukan dalam kehidupannya sehari-hari.Hal inilah yang membuatnya dikenal sebagi seorang yang rendah hati dan tidak sombong.
Dalam bidang pekerjaan,Kiai Layaman tidak pernah mau memandang sebelah mata pekerjaan apapun.Baginya semua pekerjaan adalah sama baiknya,yang penting pekerjaan itu halal.Sehingga walau beliau dikenal mempunyai kemampuan lebih dibanding orang kebanyakan pada umumnya,beliau memilih pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terlalu dianggap bergengsi di kalangan banyak orang.Kiai Layaman memilih pekerjaan sebagai pengurus kuda-kuda milik Kesultanan Kasepuhan Cirebon.Pekerjaan yang dulu dilakukan oleh ayahnya itu dilanjutkan olehnya tanpa rasa sungkan.
Sebagai seorang yang ahli dalam bidang agama dan dikenal sebagai orang sakti yang bisa mengobati aneka macam penyakit,Ki Layaman sebenarnya bisa saja mendapatkan pekerjaan lain dan memperoleh uang lebih dari keahliannya itu.Kalau mau,beliau bisa saja memanfaatkan kemampuannya tersebut,sehingga beliau tak harus repot-repot bekerja sebagai pengurus kuda yang cukup menguras tenaga.
Kesempatan lain juga bisa diperolehnya,karena para iparnya termasuk orang-orang terpandang dan mempunyai jabatan yang baik di Kesultanan Cirebon.Namun walau kakak dan adik ipar Ki Layaman hampir semuanya mempunyai jabatan,tak sedikitpun beliau mau memanfaatkan peluang tersebut untuk kepentingan pribadinya.Padahal jika mau,tentu sangat mudah baginya untuk melakukan hal tersebut.
Ketawaduan atau kerendah hatian memang begitu melekat pada diri Ki Layaman.Ketawadhuan ini beliau terapkan dalam kehidupannya sehari-hari,termasuk dalam hal pekerjaan yang belum tentu bisa dilakukan oleh banyak orang pada umumnya.Karena ketawadhuannya ini,di kemudian hari akhirnya beliaupun dikenal sebagai seorang waliyullah yang tawadhu.
Selasa, 27 Agustus 2019
Kolam-kolam Milik Mbah Raden Ardisela
Kolam-kolam Milik Mbah Raden Ardisela
Mbah Raden Ardisela dikenal sebagai orang yang suka memancing ikan,baik itu memancing di sungai,di laut,atau di kolam.Kebiasaan ini sudah beliau lakukan sejak kecil.Ketika beranjak dewasa hingga masa tuanya,kebiasaan itu tetap dilakukannya.
Ketika menjabat sebagai pemangku wilayah atau demang Sindanglaut,Mbah Raden Ardisela membuat kolam untuk memelihara aneka jenis ikan.Selain karena hobi,tujuan pembuatan kolam tersebut adalah upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui bidang perikanan.Kolam atau balong pertama yang beliau buat di Sindanglaut,tepatnya di Desa Cipeujeuh,di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Balong Raden yang berada di Blok Peradenan.Untuk mengalirkan air dari sungai di sekitarnya yang letaknya lebih rendah,Mbah Raden Ardisela meminta orang-orang kepercayaannya untuk membendung sungai untuk mengalirkan air ke kolam tersebut.
Ketika Mbah Muqoyim melarikan diri dari kejaran penjajah di Pesawahan Sindanglaut,Mbah Raden Ardisela menyembunyikan Mbah Muqoyim di kediamannya di Tuk Karangsuwung.Mengetahui jika Mbah Muqoyim suka dengan ikan,kembali Mbah Raden Ardisela membuat beberapa kolam ikan lagi di Tuk Karangsuwung.Sehingga ketika Mbah Muqoyim ingin makan ikan,maka tak perlu repot-repot pergi ke kolam yang ada di Sindanglaut,cukup mengambilnya di Tuk Karangsuwung,di sekitar rumah Mbah Raden Ardisela.
Selain di Peradenan Cipeujeuh Wetan dan Tuk Karangsuwung,Mbah Raden Ardisela juga membuat kolam di daerah Ciburuy Wangkelang.Ketiga kolam tersebut dirawat dengan baik hingga menghasilkan ikan-ikan yang lumayan banyak setiap kali dipanen.Karena kolam ikan dan ikan-ikannya semakin banyak,maka ikan-ikan tersebut tak hanya dinikmati oleh Mbah Raden Ardisela,keluarga dan para pegawainya saja.Setiap kali memanen ikan di kolam,ikan-ikan tersebut pada akhirnya beliau bagikan kepada masyarakat umum,terutama masyarakat yang berada di sekitar kolamnya.Kebiasaan ini beliau lakukan hingga akhir hayatnya.
Sepeninggal Mbah Raden Ardisela,kolam-kolam di Peradenan Cipeujeuh Wetan,Blok Muara Bengkeng Tuk Karangsuwung dan Ciburuy Wangkelang tersebut diwariskan kepada anak cucu dari Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.Hingga beberapa generasi,kolam-kolam tersebut masih ada dan dipelihara dengan baik oleh keturunan yang mendapat hak atau bagian waris dari kedua putri Mbah Raden Ardisela tersebut.
Sabtu, 17 Agustus 2019
Kisah Unik Seputar Ardisela
Rabu, 14 Agustus 2019
Kiai Hasan,Sang Kiai Penyabar
Kiai Hasan,Sang Kiai Penyabar
Kiai Hasan adalah anak pertama dari dua bersaudara,putra dari Kiai Muhammad dan Nyai Ning.Adiknya bernama Kiai Husain.Hasan dan Husain,dua nama yang diambil dari nama cucu Nabi Muhammada SAW.Tak banyak informasi tentang ayah atau ibu dari Kiai Hasan ini,namun yang pasti ayah Kiai Hasan ini termasuk kiai dan ibunya juga putri seorang kiai atau ulama juga.
Kiai Hasan kecil berguru kepada beberapa guru mengaji,salah satu guru yang diketahui secara pasti adalah Kiai Anwarudin atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Krian,ulama Keraton Kasepuhan yang paling dikenal saat itu.Tak diketahui di mana Kiai Hasan belajar pada Kiai Krian,apakah di sekitar Kasepuhan di dekat Kiai Krian tinggal,Pesantren Benda Kerep,ataukah di Pesantren Buntet,karena selain dikenal sebagai ulama Keraton Kasepuhan,Kiai Krian juga diketahui turut mengajar para santri di kedua pesantren tersebut.
Setelah dewasa Kiai Hasan menikah dengan Nyai Nurhanid dan dikarunia seorang putri bernama Nyai Mukhsinah.Beliaupun memulai langkahnya sebagai guru mengaji di sekitar rumahnya di Jati Sari Plered.Di sini beliau mendirikan Pesantren yang biasa disebut Pesantren Jati Sari,sebuah pesantren yang hingga kini masih berdiri dan diteruskan oleh anak keturunanya.Saat mengajar santrinya inilah akhirnya Kiai Hasan diminta menikah lagi dengan adik dari Kiai Maksum,santri senior yang diajarnya.Dari istri keduanya ini Kiai Hasan dikaruniai seorang putra bernama Kiai Ibrohim.
Seiring bertambahnya usia dan pengalaman dalam mengajar,Kiai Hasanpun semakin dikenal oleh berbagai kalangan saat itu.Semakin lama akhirnya semakin banyak pula ulama Cirebon dan sekitarnya yang mempercayai dan menitipkan anaknya untuk dididik oleh Kiai Hasan.Beberapa santrinya yang di kemudian hari dikenal sebagai ulama di Cirebon di antaranya adalah Kiai Jauhari (Pesantren Balerante),Kiai Harun (pendiri Pesantren Kempek),Kiai Hanan (Pesantren Babakan),Kiai Abas (putra Kiai Abdul Jamil Pesantren Buntet),Habib Syekh (Pesantren Jagasatru),dan beberapa ulama lainnya.Setelah wafatnya Kiai Krian,Kiai Hasanlah yang sering menjadi rujukan para ulama Cirebon pada saat ada masalah dalam urusan agama yang tidak terpecahkan.
Selain dikenal sebagai ulama yang pandai,Kiai Hasan juga dikenal sebagai ulama yang penyabar.Hampir tak pernah ada orang yang melihat bila beliau pernah marah atau menunjukkan rasa kesalnya di hadapan orang lain.Karena kesabarannya yang sangat kuat itulah yang membuat beberapa orang penasaran dan ingin sekali melihat Kiai Hasan marah.Berbagai carapun dilakukan.Suatu saat seorang santrinya berulah dengan maksud agar Kiai Hasan marah,namun ulah santrinya itu tak membuahkan hasil juga.Di lain waktu seorang penjahit dengan sengaja membuat baju pesanan Kiai Hasan yang tak sesuai dengan keinginanya,namun bukannya marah tetapi beliau malah tetap memakai baju tersebut tanpa sedikitpun menunjukkan ekspresi kesalnya.
Kiai Hasan Sang Kiai Penyabar,begitulah kesan yang diberikan oleh para santri dan orang-orang yang pernah berhubungan langsung dengannya.
Sabtu, 10 Agustus 2019
Aneka Foto (6)
Aneka Foto (5)
Aneka Foto (4)
Jumat, 09 Agustus 2019
Aneka Foto (3)
Mbah Raden Ardisela,Mbah Raden Arungan dan Nyi Raden Katijem
Di dalam sebuah catatan kitab tua yang kebetulan selamat dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab,terdapat kisah yang menjelaskan tentang kepergian cucu Mbah Raden Ardisela dan Mbah Raden Arungan yang bernama Raden Sulaeman beserta anak dari Raden Niti Atmareja kakaknya.Dalam catatan itu Raden Sulaeman pergi ke Gebang Udik.Kunjungan itu dilakukan untuk melayat seseorang yang disebut mama,yang diduga adalah paman dari Raden Sulaeman dan Raden Nitiatmareja,anak Mbah Raden Arungan yang meninggal dunia.
Selain dekat dengan kakaknya yang bernama Mbah Raden Arungan,Mbah Raden Ardisela juga diketahui dekat dengan kakak perempuannya yang bernama Nyi Raden Katijem.Bila Mbah Raden Arungan tinggal di Gebang,Nyi Raden Katijem tinggal tak jauh dengan Mbah Raden Ardisela di Tuk Karangsuwung.Keduanya tinggal di desa ini hingga akhir hayatnya.Keturunan dari keduanya banyak yang bertempat tinggal di desa Tuk Karangsuwung,Sindanglaut dan sekitarnya secara turun temurun hingga saat ini.
Sujud Terakhir Kiai Ilyas Abdussalam
Sujud Terakhir Kiai Ilyas Abdussalam
Kiai Ilyas bin Kiai Abdussalam adalah putra dari Kiai Abdussalam dan Nyai .....Beliau adalah menantu dari Kiai Mu'thi bin Mbah Mutaad,suami dari putrinya yang bernama Nyai Fatonah.Dari pernikahannya dengan Nyai Fatonah ini Kiai Ilyas Abdussalam dikarunia sembilan anak,yaitu Kiai Arsyad,Nyai Naimah,Nyai Siti Aminah,Kiai Aqib,Kiai Abdullah,Nyai Aisyah,Nyai Khodijah,Nyai Saodah dan Nyai Fatimah.Masa hidup Kiai Ilyas Abdussalam banyak dihabiskan di Pesantren Buntet bersama istri dan anak-anaknya,dekat dengan keluarga besar Mbah Mutaad dan Mbah Muqoyim lainnya.
Saat usianya tak lagi muda,ada beberapa masalah yang berkaitan dengan prinsip hidupnya,baik itu berkaitan dengan masalah keluarga maupun dengan lingkungan sekitarnya,terutama kaitannya dengan masalah tarekat.Sepupu istrinya yang bernama Kiai Abas Abdul Jamil yang dikenal sebagai sesepuh Pesantren Buntet sempat menasihatinya agar Kiai Ilyas Abdussalam lebih lunak dan fleksibel dalam menghadapi aneka masalah,namun Kiai Ilyas Abdussalam yang dikenal tegas ini tetap pada pendiriannya.
Suatu hari Kiai Ilyas Abdussalam pergi ke Pesantren Benda Kerep guna menemui saudaranya yang tak lain adalah putra dan putri dari Mbah Soleh.Setelah selesai silaturohim,Kiai Abdussalam yang pergi bersama istri dan putri bungsunya itupun berpamitan pulang.Perjalanan dari Pesantren Buntet ke Benda Kerep dan sebaliknya ditempuh dengan cara berjalan kaki melewati Kanggraksan.Sebuah perjalanan yang melelahkan namun umum dilakukan oleh orang yang hidup di awal tahun 1900 an hingga masa kemerdekaan.
Ketika sampai di Kanggraksan beliau mampir di rumah saudaranya di Kanggraksan selama beberapa jam.Ketika hendak melanjutkan perjalanan pulang,entah mengapa beliau memutuskan untuk tak pulang ke Pesantren Buntet tapi pergi ke Tuk Karangsuwung,ke rumah anak dan menantunya yang tinggal di Blok Muara Bengkeng.Setelah mengantarkan anak dan istrinya pulang ke Pesantren Buntet,beliau melanjutkan perjalanan ke Tuk Karangsuwung seorang diri.
Di Tuk Karangsuwung ini Kiai Ilyas tinggal di rumah Nyai Siti Aminah anaknya,yang menikah dengan Raden Kalyubi keponakannya sendiri,putra dari Nyai Ruhilah adiknya yang menikah dengan Raden Abdullah Raksa.Di sini beliau merasa betah karena jauh dari hiruk pikuk aneka masalah,terutama permasalahan tarekat yang sedang memanas di Pesantren Buntet dan Benda Kerep.Selain Nyai Aminah,di dekat Tuk Karangsuwung ini tinggal juga dua putri Kiai Ilyas lainnya,yaitu Nyai Naimah yang menikah dengan Kiai Abu dan tingal di Dongkol Asem,serta Nyai Khodijah yang menikah dengan Kiai Sahid dan tinggal di Lemahabang,dua tempat yang saat itu masih merupakan pesantren dengan banyak santri.
Di Tuk Karangsuwung ini Kiai Ilyas Abdussalam menghabiskan masa tuanya untuk beribadah.Kiai Ilyas Abdussalam sangat gemar berpuasa dan melaksanakan sholat sunah.Selain suka puasa dan sholat sunah,beliau juga dikenal sebagai orang yang suka berbagi kepada fakir miskin.Saat tinggal di Pesantren Buntet atau di Tuk Karangsuwung,kebiasaan ini tak berubah.Ketika hendak makan beliau seringkali mencari atau mendatangi orang yang kemungkinan belum makan.
Saat sakit,Kiai Ilyas Abdussalam tak sedikitpun mau merubah kebiasaannya dalam beribadah.Suatu hari,Kiai Ilyas melaksanakan sholat sendirian.Tak dijelaskan apakah sholat wajib atau sunah,namun yang pasti beliau begitu lama saat bersujud.Ketika anaknya memanggil,Kiai Ilyas tetap diam dalam sujudnya.Setelah beberapa lama,barulah anak menantunya memberanikan diri menghampirinya.Kiai Ilyas tetap tak bergerak.Barulah anak menantunya sadar jika ternyata Kiai Ilyas Abdussalam sudah meninggal,itu adalah sholat sekaligus sujud terakhir Kiai Ilyas Abdussalam.
Ada dua pemakaman yang terdapat di Tuk Karangsuwung,yaitu pemakaman Tuk Lor dan Tuk Kidul.Walau sebagai keturunan Mbah Muqoyim yang makamnya ada di Tuk Lor,namun anak dan menantu Kiai Ilyas Abdussalam memutuskan untuk memakamkannya di Tuk Kidul.Hal ini karena beliau tinggal bersama anak menantunya di Muara Bengkeng yang tak jauh dari makam Tuk Kidul.Akhirnya beliaupun dimakamkan satu blok dengan keluarga besar Raden Abdullah Raksa yang tak lain adalah adik ipar sekaligus besannya itu.