Jumat, 27 Januari 2017

Sumur Ketandan Kasepuhan Cirebon

Sumur Ketandan Kasepuhan Cirebon

Sumur Ketandan adalah sebuah sumur tua yang sudah berusia ratusan tahun.Letak sumur ini berada di dekat alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon,tepatnya berada di depan pusat jajan dan  makan Kasepuhan.Sumur Ketandan ini dibuat oleh Pangeran Cakra Buana,yang tak lain adalah uwak (kakak dari ibu) Syarif Hidayatullah.

Sumur Ketandan merupakan tempat ketiga yang menjadi tempat  persinggahan Pangeran Cakra Buana ketika hendak belajar Agama Islam dan mendirikan Keraton Pakungwati.Persinggahan pertama adalah Gunung Cangak atau Balong Biru yang sekarang ini letaknya berada di daerah Cirebon Girang. Persinggahan kedua adalah Gunung Jati saat beliau belajar Agama Islam pada Syekh Nurjati.Dan Persinggahan ketiga adalah Sumur Ketandan dan akhirnya beliau membuka Keraton Pakungwati.

Sumur Ketandan dibuat setelah Pangeran Cakra Buana melalui serangkaian permintaan petunjuk kepada Allah swt melalui aneka ikhtiar dzikir dan doa.Setelah sumur ini dibuat,tempat di sekitar sumur ini sering dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat Pangeran Cakra Buana,terutama apabila beliau kelelahan setelah mencari rebon atau udang kecil di laut.

Kamis, 26 Januari 2017

Tuk (Depok),Tempat Musyawarah Para Pejuang

Tuk (Depok),Tempat Musyawarah Para Pejuang

Tuk yang dulu masih merupakan bagian dari Desa Karangsuwung dan yang lebih dikenal dengan sebutan Depok (merupakan kependekan dari kata wong gede ngelompok atau padepokan),memang sudah sejak lama dijadikan sebagai tempat pertemuan untuk melakukan musyawarah yang diselenggarakan oleh para pembesar Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman,ulama dan pejuang.Dari tempat inilah lahir aneka strategi dakwah dan rencana perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Saat Mbah Raden Ardisela dan Mbah Muqoyim masih hidup,kedua orang inilah yang menjadi penggerak utama pertemuan untuk melakukan musyawarah.Ketika Mbah Raden Ardisela dan Mbah Muqoyim sudah tak ada,Tuk tetap menjadi tempat musyawarah para ulama dan pejuang,termasuk oleh para keturunan Mbah Raden Ardisela dan Mbah Muqoyim yang memang secara turun temurun mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk memimpin.

Awalnya Tuk adalah tempat yang aman dan tak mudah diendus oleh pihak penjajah sebagai tempat pertemuan para pembesar Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman,para ulama dan pejuang lainnya.Tetapi lama-kelamaan pihak penjajah akhirnya berhasil mengetahui juga keberadaan Tuk sebagai basis perjuangan untuk melawan mereka.Semenjak itulah pihak musuh mulai mengawasi Tuk dengan ketat.Saat pemberontakan terjadi,hampir setiap orang yang keluar masuk wilayah ini dicurigai dan diinterogasi.Para penduduk atau tamu yang hendak berkunjung ke wilayah ini diperiksa dengan ketat,terutama para lelakinya.

Lambat laun akhirnya Tuk tak lagi dijadikan sebagai tempat musyawarah para pejuang dari berbagai wilayah.Kalaupun ada pertemuan,biasanya hanya dihadiri oleh ulama dan pejuang yang berada di sekitarnya saja.Pesantren-pesantren yang baru bermunculan pada akhirnya menggantikan posisi Tuk sebagai tempat musyawarah.Di era tahun 1900 an M,Tuk nyaris menjadi tempat berbahaya untuk para pejuang,karena pengawasan yang dilakukan oleh penjajah begitu ketat,baik terhadap keluarga Tuk maupun para tamu yang keluar masuk daerah ini.

Selasa, 24 Januari 2017

Depok,Tuk Karangsuwung Tempo Dulu

Depok,Tqquk Karangsuwung Tempo Dulu

Tuk,begitu nama daerah yang dulu menjadi bagian dari Desa Karangsuwung ini.Setelah dimekarkan dan terpisah dari Desa Karangsuwung,nama wilayah ini berganti nama menjadi Tuk Karangsuwung.Nama Tuk merujuk pada sebuah sumber mata air yang keluar dari celah-celah tanah dan bebatuan yang biasa disebut Tuk,sebuah sumber mata air yang dibuat oleh Mbah Raden Ardisela sekitar tahun 1800 an Masehi.

Sebelum dikenal sebagai Desa Tuk Karangsuwung,wilayah ini juga biasa disebut Depok.Nama Depok diambil dari singkatan yang berarti orang gede (de) berkelompok (pok),dan dari sinilah nama Depok muncul.Orang-orang gede atau besar di sini dikenal sebagai para pejabat kesultanan,pemangku wilayah,ulama dan para pejuang,yang menjadi motor penggerak dakwah dan perjuangan.Mereka berkelompok untuk membicarakan strategi dakwah Islam agar tetap bisa berkembang di era penjajahan Belanda,sekaligus berusaha mengadakan perlawanan terhadap penjajah yang suka berbuat semena-mena.

Orang-orang gede yang dimaksud adalah Mbah Raden Ardisela,Mbah Muqoyim,keluarga dan teman-teman mereka berdua.Di bawah komando kedua tokoh inilah pendidikan Islam terus berlanjut di tengah-tengah penjajahan yang begitu melarang pendidikan yang berbau agama.Aneka perlawanan terhadap penjajah juga disusun di sini dan dilakukan di seputar wilayah tiga Cirebon.Berbagai perang kecil dan besar demi membela rakyat yang tertindas terjadi berulang kali.

Setelah era Mbah Raden Ardisela dan Mbah Muqoyim berakhir,berlanjut ke generasi selanjutnya yang masih merupakan orang-orang terdekat Mbah Raden Ardisela dan Mbah Muqoyim,sebut saja Raden Rangga Nitipraja (keponakan sekaligus menantu Mbah Raden Ardisela),Raden Muhamad dan Kiai Gozali (menantu Mbah Muqoyim),Mbah Muta'ad (cucu mantu Mbah Muqoyim),Mbah Takrifudin Pemijen (menantu Kiai Mas Khanafi Jaha / cucu mantu Kiai Ardisela Buntet),dan lain sebagainya.

Nama Depok memang nama sebutan yang diberikan untuk Desa Tuk Karangsuwung tempo dulu.Selain berarti singkatan dari kata wong gede ngelompok atau berkumpulnya orang-orang besar,ada juga yang berpendapat jika nama depok ini disematkan karena di Tuk ini dulunya ada padepokan yang dijadikan tempat menggembleng para santri untuk berjuang.Lambat laun nama Depok sudah tidak dikenal lagi dan hanya beberapa orang saja yang masih menyebutnya sebagai Depok,itupun hanya orang-orang tua saja.Masyarakat umum sekarang ini lebih mengenal Depok sebagai Tuk Karangsuwung,sesuai nama resmi desa setelah berdiri menjadi desa sendiri dan terpisah dari Desa Karangsuwung,yaitu menjadi Desa Tuk Karangsuwung.

Makam Mbah Khanafi Jaha

Makam Mbah Khanafi Jaha

Mbah Mas Khanafi atau Buyut Jaha adalah seorang ulama,pejuang,dan seorang yang diyakini oleh banyak orang sebagai Waliyullah.Beliau seorang Syarif atau Habib bermarga Yahya.Buyut Jaha adalah menantu dari Kiai Ardisela Buntet yang menikah dengan putrinya yang bernama Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela Buntet.Mbah Mas Khanafi adalah sahabat Mbah Raden Ardisela Tuk,yang sama-sama berjuang dalam menyebarkan ajaran Agama Islam sekaligus gigih melawan Penjajah Belanda.

Makam Mbah Mas Khanafi Jaha teletak di Desa Sampiran Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon.Makam beliau ini dapat dijangkau dengan mudah.Perjalalan ditempuh dari Kota Cirebon dengan menggunakan angkot jurusan Sumber dan turun di Jembatan Merah Arumsari atau Kantor Kecamatan Talun.Dari sini perjalanan bisa dilanjutkan dengan ojek menuju lokasi makam yang lokasinya tidak terlalu jauh dari petilasan Mbah Kuwu Cakra Buana atau yang biasa disebut Cirebon Girang.

Letak makam Mbah Khanafi Jaha sendiri berada di sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi,dengan bangunan tembok bata tanpa semen yang mengelilingi makam utamanya.Bangunannya tidak beratap yang terkadang membuat peziarah agak kerepotan bila hujan datang.Jalan kecil menanjak yang menuju makam ini tidak terlalu bagus dan sedikit berbahaya,sehingga perlu kehati-hatian untuk melewatinya.

Seperti makam para ulama dan wali lainnya,makam Mbah Khanafi Jaha juga ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu,terutama hari Kamis,Jumat dan hari-hari besar umat Islam.Apabila ingin berkunjung ke makam ini,ada baiknya siang atau sore hari,karena kalau malam gelap dan tidak ada penerangan.Hal ini dikarenakan beberapa kali dipasang listrik selalu saja mati dan tidak pernah menyala lagi,sehingga tak ada penerangan bila malam tiba.