Sabtu, 17 September 2016

Mimpi Tinggal Di Dua Rumah Sewa Yang Membuat Susah

Mimpi Tinggal Di Dua Rumah Sewa Yang Membuat Susah

Beberapa kali saya pernah bermimpi tentang rumah sewa.Dalam mimpi tersebut saya tinggal di dua rumah sewa sekaligus.Padahal saat itu saya hanya tinggal di satu rumah sewa.Karena tinggal di tempat yang berbeda,maka otomatis saya kesulitan untuk membayar kedua rumah sewa tersebut.Benar-benar mimpi yang menyebalkan,karena terjadi berulang kali dan benar-benar mengaduk emosi,walau itu cuma mimpi.

Dalam dunia nyata saya hendak pindah rumah,yaitu mau pulang kampung.Otomatis rumah sewa tersebut harus saya tinggalkan.Karena belum begitu yakin akan kehidupan di kampung halaman,maka mau tidak mau saya tinggalkan barang-barang saya di rumah sewa,dengan harapan apabila tidak betah di Kampung saya bisa kembali ke tempat semula.

Waktu tak bisa diputar ulang,ternyata arti mimpi tersebut adalah benar-benar pertanda bila saya akan mengalami kesulitan dalam membayar rumah sewa tersebut.Mau tinggal di kampung teringat akan kehidupan di kota yang serba mudah.Mau kembali ke kota rumah di Kampung juga tak bisa ditinggalkan begitu saja.Sementara kalau mau membawa pindah barang-barang ke kampung juga tak bisa,karena uang tabungan sudah ludes semua untuk memperbaiki rumah tinggal di kampung yang mau dijadikan rumah usaha.

Dalam mimpi,dalam nyata,susahmya benar-benar terasa.Dalam mimpi tak tahu jalan keluarnya,dalam dunia nyata juga sulit menyelesaikannya,karena ketika saya cari uang dengan cara berhutang ke sana kemari juga tidak dapat.Nasib,nasib.Sudah dikasih tahu tapi tidak mengerti,ya begini ini jadinya,pusing tujuh keliling.Pindah ke kota tidak mungkin,tinggal di kampung rasa pusing.

Selasa, 13 September 2016

Rumah (Keraton) Raden Rangga Nitipraja

Rumah (Keraton) Raden Rangga Nitipraja

Rumah atau orang sekitar Tuk Karangsuwung hingga awal kemerdekaan menyebutnya sebagai keraton milik Raden Rangga Nitipraja,terletak di timur Masjid Al Karomah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Mbah Ardisela.Letak rumah atau Keraton ini tidak jauh dari sungai dan rel kereta api.

Dahulu rumah milik keturunan Kesultanan Cirebon yang menjabat sebagai pemimpin suatu wilayah memang sering disebut sebagai keraton.Namun bentuknya tentu saja tidak sama dan tidak sebesar Keraton Kesultanan.

Walau Raden Rangga Nitipraja beserta anak-anaknya sudah tiada,namun rumah atau keraton ini masih terawat dengan baik.Lambat laun selama bertahun-tahun semakin tak terurus,semua ini karena kepemilikannya dimiliki perorangan dan tak berpenghuni.Pada akhirnya rumah ini dirobohkan dan diganti dengan rumah biasa.Konon katanya rumah ini dihancurkan karena menjadi tempat tinggal jin yang suka menggangu orang.Beberapa orang pernah merasakan kejahilan akibat ulah jin yang menghuni rumah ini.

Dahulu kala,konon menurut cerita para sesepuh Desa Tuk Karangsuwung,jika berada di jalan keraton dan hendak masuk ke halaman keraton,orang-orang harus berjalan kaki.Sepeda atau kendaraan lain tidak boleh digunakan,ditinggal di depan atau dituntun begitu memasuki jalan menuju rumah atau keraton milik Raden Rangga Nitipraja ini.Semua hal tersebut dilakukan sebagai penghormatan atau sopan santun masyarakat terhadap Raden Rangga Nitipraja yang dulu dikenal sebagai seorang pemimpin wilayah yang juga sebagai seorang panglima perang yang kerap memimpin perang melawan Penjajah Belanda,melanjutkan jejak Mbah Raden Ardisela dan Mbah Muqoyim.

Walau sudah berumur seabad lebih,sebenarnya rumah atau keraton milik Raden Rangga Nitipraja ini masih kokoh dan hanya terlihat kerusakan di beberapa tempat.Semua karena material atau bahan bangunan yang digunakan terbilang bagus dan bermutu.Mulai dari bata temboknya yang besar dan kuat,kayu jati untuk kusen,genting dan lain sebagainya.Sayangnya karena ketidaktahuan keturunannya tentang benda-benda bersejarah,maka rumah yang menyimpan banyak sejarah ini akhirnya dirobohkan.

Sekarang ini sulit sekali menemukan jejak rumah atau keraton milik Raden Rangga Nitipraja tersebut.Selain karena sudah dibongkar sekitar tahun 2010 an M,bahan bangunan yang dulu digunakan untuk membangun rumah ini sudah digunakan kembali untuk membangun rumah baru oleh anak keturunannya.

Minggu, 11 September 2016

Sahabat Terbaik Adalah Uang (Harta)?

Sahabat Terbaik Adalah Uang (Harta) ?

Hem,saya menulis ini karena pengalaman saya saat saya punya uang dan tidak punya uang.Saat punya uang,semua terasa lebih indah dan gampang.Saat tak punya uang,semua terasa suram dan kelam.He he,lebay ya?,tapi memang begitulah yang saya rasakan.

Berulang kali saya jatuh bangun,antara punya uang dan tidak punya uang.Saat punya uang teman menghadang,saat tak punya uang teman menghilang.Dan itu terjadi berkali-kali.Sakitnya tuh di sini (sambil pegang saku yang tepos karena uangnya tak ada).

Uang,uang,uang.Benar-benar benar apa kata pepatah itu.Ada uang banyak yang mengaku saudara,tak ada uang tak ada yang mau mengakui sebagai saudara.Eh,tapi sebentar,pikir-pikir saya itu jarang punya uang,jadi ya hanya sedikit teman yang saya punya.Nasib atau mungkin bawaan lahir,itumah dg alias derita gue.

Tapi untunglah,walau jarang punya uang saya itu mempunyai kakak adik yang baik hati,juga saudara saudari yang begitu perduli.Mereka selalu membantu saya ketika tak punya uang.Tak perlu kode-kode tertentu,tanpa meminta pun mereka suka memberi.Maklum saja,di keluarga kami memang ada tradisi untuk saling memberi.Tak harus banyak,yang penting ikhlas dan saling perduli.

Kapan saya punya uang?,dipikir-pikir ya jarang. Punya uang juga selalu pas-pasan saja,ya pas gajian itu.

Saat tak punya uang itu rasanya sedih sekali,sampai-sampai saya berfikir jika uang adalah sahabat terbaik.Ya,sahabat terbaik adalah uang.Dengan uang mau apapun gampang.Uang atau harta,itu yang banyak dipuja oleh manusia,termasuk oleh aku ini.Tapi sepertinya uang tak mau berteman dengan saya,jadilah saya seperti ini,hidup tanpa uang.Dari sini saya tidak yakin jika sahabat terbaik adalah uang,karena uang sendiri tidak mau bersahabat dengan saya.

Bacanya jangan serius sekali ya,karena saya juga menulisnya tidak pakai kata serius.

Raden Rangga Nitipraja,Sang Panglima Perang

Raden Rangga Nitipraja,Sang Panglima Perang

Saat masih muda dan sebelum diangkat menjadi demang,Raden Rangga Nitipraja secara diam-diam juga suka melakukan perlawanan terhadap Penjajah Belanda.Hal ini beliau lakukan bersama-sama paman sekaligus mertuanya yaitu Mbah Raden Ardisela yang memang berpolitik seolah-olah mendukung pihak Belanda namun pada kenyataannya justru membenci dan melawan para penjajah tersebut.Hal ini dilakukan hingga beliau diangkat menjadi demang dan rangga atau setingkat wedana.

Dalam beberapa kali peperangan yang dilakukan oleh Mbah Raden Ardisela dan Mbah Muqoyim sang pendiri Buntet Pesantren ketika melawan Penjajah Belanda,Raden Rangga Nitipraja seringkali tampil di depan.Hal ini tentu saja karena keberanian dan kecakapan Raden Rangga Nitipraja sebagai seorang yang berjiwa pemimpin.Beliau tidak takut mati karena bila mati dalam melawan penjajah maka surga balasannya.

Bekerja sebagai seorang Wedana atau Rangga yang sering kali bertemu dengan banyak orang,tentu saja membuat perjuangan Raden Rangga Nitipraja bukannya tanpa resiko.Hal ini karena beliau sudah dikenal banyak orang dan mudah dikenali,termasuk oleh pihak penjajah.Saat berperang beliau harus berhati-hati agar jati dirinya tidak diketahui oleh pihak musuh.

Semangat juang yang dimiliki oleh Raden Rangga Nitipraja ini memang tak lepas dari didikan Mbah Raden Arungan ayahnya,juga para leluhurnya yang memang selalu berjuang melawan penjajah.Semangat juang ini sudah ditanamkan oleh orangtua dan juga leluhurnya sejak kecil.Sebagian besar keluarga dan leluhurnya senantiasa berjuang melawan penjajah dan dikenal sebagai pejuang yang pantang menyerah.

Minggu, 04 September 2016

Raden Gula (Raden Abdullah Raksa)

Raden Gula (Raden Abdullah Raksa)

Sekitar awal tahun 1900,selain dikenal dengan sebutan nama Raden Duloh,Raden Abdullah Raksa jugs dikenal dengan sebutan Raden Gula.Nama ini diberikan oleh banyak orang bukan karena Raden Abdullah semanis gula,pengusaha pabrik gula,punya perkebunan tebu atau lainnya.Nama ini diberikan karena setiap ada panen tebu dan ada iring-iringan pesta panen tebu atau yang lebih dikenal dengan sebutan bancakan,pihak pabrik gula yang saat itu dikuasai Belanda selalu mengirimkan gula untuk Raden Abdullah Raksa sebagai syarat kelancaran selama proses penggilingannya.

Selain harus memberikan gula,setiap iring-iringan pesta panen tebu di Pabrik Gula Sindang Laut pasti selalu melewati Desa Tuk Karangsuwung, tempat di mana Raden Abdullah Raksa tinggal.Apabila tidak melewati desa ini,maka selalu saja ada masalah atau halangan  yang dihadapi oleh pihak pabrik gula,entah itu terjadi kerusakan mesin, kekurangan air,atau lainnya.Oleh karena itu pihak pabrik selalu saja melewati desa ini.

Apabila lewat Desa Tuk Karangsuwung,maka suara musik atau tetabuhan iring-iringan pengantin tebu biasanya akan dihentikan.Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghormati leluhur masyarakat Desa Tuk,di mana di desa ini terdapat dua makam sesepuh desa,yaitu Mbah Ardisela dan Mbah Muqoyim.Apabila belum atau sudah melewati desa ini,biasanya alat musik akan ditabuh sekeras-kerasnya.

Semula pihak pabrik gula pernah juga melanggar kebiasaan ini.Karena melanggar,kejadian tak diinginkan pun sering kali terjadi yang ujung-ujungnya tentu saja merugikan pihak pabrik gula.Oleh karena itu,pihak pabrik gula akhirnya tak pernah lagi melanggar hal tersebut selama Raden Abdullah masih hidup.Kebiasaan ini terjadi hingga masa kemerdekaan.Setelah masa kemerdekaan,pabrik gula Sindang Laut tak lagi memberikan gula dan musikpun sering kali ditabuh,meskipun sedang melewati Desa Tuk Karangsuwung.Hal ini terjadi selain karena Raden Abdullah sudah tiada juga karena pabrik gula sudah diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

Raden Gula alias Raden Abdullah Raksa saat itu memang sengaja hendak memberikan pelajaran pada Penjajah Belanda yang ada di Sindang Laut dengan cara menggunakan kemampuannya agar mereka tetap mau menghormati ulama,meskipun ulama tersebut sudah tiada,terutama Mbah Muqoyim dan beberapa ulama lainnya yang kebetulan makamnya berada di sisi jalan yang dilalui oleh iring-iringan pabrik gula yang sedang berpesta.

Kamis, 01 September 2016

Persahabatan Mbah Raden Ardisela dan Raden Dikrama

Persahabatan Mbah Raden Ardisela dan Mbah Raden Dikrama

Semasa hidupnya Mbah Raden Ardisela yang bertugas sebagai pemimpin wilayah mempunyai banyak saudara dan juga teman.Beberapa saudara dan teman-temannya ada yang tinggal tak jauh dari tempat kediamannya,bahkan akhirnya ada juga yang menjadi besan karena pernikahan anak-anak mereka.
Tak hanya saudara-saudaranya yang dekat,teman-temannyapun begitu dekat dengan beliau,bahkan tak jarang karena kedekatan mereka tersebut satu sama lain tak ubahnya seperti saudara sendiri.

Selain Mbah Muqoyim yang tak lain sebagai guru dan juga sahabatnya,Mbah Buyut Jaha (Kiai Mas Khanafi) dan Pangeran Suryanegara sahabat sekaligus teman seperjuangannya,salah satu sahabat dekat Mbah Raden Ardisela lainnya adalah Mbah Raden Dikrama.Karena kedekatan antara Mbah Raden Ardisela dan Mbah Raden Dikrama ini,Keduanya tinggal tak berjauhan.Sama seperti sahabat lainnya,Mbah Raden Ardisela dan Mbah Raden Dikrama juga bersahabat erat dan saling bahu membahu dalam berjuang melawan penjajah.

Tak diketahui secara pasti asal-usul Raden Dikrama ini,ada yang mengatakan beliau berasal dari Aceh,namun ada juga yang berpendapat bila beliau berasal dari Demak atau Yogyakarta.Di kemudian hari,keturunan Mbah Raden Dikrama ini ada juga yang menikah dengan keturunan dari Mbah Raden Ardisela.

Selain dikenal sebagai sahabat dan juga orang kepercayaan Mbah Raden Ardisela,Mbah Raden Dikrama juga dikenal sebagai pembuat keris atau biasa disebut mpu.Beliau dilenal sebagai mpu keris yang handal.Keris buatan Raden Dikrama ini diyakini mempunyai kekuatan tertentu sehingga keris-keris buatannya ini tidak boleh digunakan sembarangan.Keris-keris buatan Raden Dikrama banyak diwariskan kepada anak cucunya,sedang keris buatannya yang dibuat untuk Mbah Raden Ardisela banyak diwariskan kepada anak dan keturunan Mbah Raden Ardisela sendiri.

Selain keris buatannya,salah satu peninggalan Mbah Raden Dikrama yang masih ada hingga sekarang adalah Sumur Jimat yang dulunya biasa digunakan untuk membasuh keris-keris buatannya sendiri tersebut.

Sebelum meninggal,Mbah Raden Dikrama ingin dimakamkan dekat dengan makam Mbah Raden Ardisela.Karena permintaannya disetujui,akhirnya hal ini diikuti juga oleh keturunannya yang lain.Akhirnya mereka banyak yang  dimakamkan di pemakaman Mbah Raden Ardisela,yang semula diniatkan sebagai pemakaman keluarga saja.Walau demikian,akhirnya hanya anak keturunan mereka yang menikah dengan keturunan Mbah Raden Ardisela saja yang boleh dimakamkan di dalam area pemakaman utama,hal ini mengingat pemakaman Mbah Raden Ardisela ini semula memang hanya untuk keluarga besar Mbah Raden Ardisela saja.