Raden Gula (Raden Abdullah Raksa)
Sekitar awal tahun 1900,selain dikenal dengan sebutan nama Raden Duloh,Raden Abdullah Raksa jugs dikenal dengan sebutan Raden Gula.Nama ini diberikan oleh banyak orang bukan karena Raden Abdullah semanis gula,pengusaha pabrik gula,punya perkebunan tebu atau lainnya.Nama ini diberikan karena setiap ada panen tebu dan ada iring-iringan pesta panen tebu atau yang lebih dikenal dengan sebutan bancakan,pihak pabrik gula yang saat itu dikuasai Belanda selalu mengirimkan gula untuk Raden Abdullah Raksa sebagai syarat kelancaran selama proses penggilingannya.
Selain harus memberikan gula,setiap iring-iringan pesta panen tebu di Pabrik Gula Sindang Laut pasti selalu melewati Desa Tuk Karangsuwung, tempat di mana Raden Abdullah Raksa tinggal.Apabila tidak melewati desa ini,maka selalu saja ada masalah atau halangan yang dihadapi oleh pihak pabrik gula,entah itu terjadi kerusakan mesin, kekurangan air,atau lainnya.Oleh karena itu pihak pabrik selalu saja melewati desa ini.
Apabila lewat Desa Tuk Karangsuwung,maka suara musik atau tetabuhan iring-iringan pengantin tebu biasanya akan dihentikan.Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghormati leluhur masyarakat Desa Tuk,di mana di desa ini terdapat dua makam sesepuh desa,yaitu Mbah Ardisela dan Mbah Muqoyim.Apabila belum atau sudah melewati desa ini,biasanya alat musik akan ditabuh sekeras-kerasnya.
Semula pihak pabrik gula pernah juga melanggar kebiasaan ini.Karena melanggar,kejadian tak diinginkan pun sering kali terjadi yang ujung-ujungnya tentu saja merugikan pihak pabrik gula.Oleh karena itu,pihak pabrik gula akhirnya tak pernah lagi melanggar hal tersebut selama Raden Abdullah masih hidup.Kebiasaan ini terjadi hingga masa kemerdekaan.Setelah masa kemerdekaan,pabrik gula Sindang Laut tak lagi memberikan gula dan musikpun sering kali ditabuh,meskipun sedang melewati Desa Tuk Karangsuwung.Hal ini terjadi selain karena Raden Abdullah sudah tiada juga karena pabrik gula sudah diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Raden Gula alias Raden Abdullah Raksa saat itu memang sengaja hendak memberikan pelajaran pada Penjajah Belanda yang ada di Sindang Laut dengan cara menggunakan kemampuannya agar mereka tetap mau menghormati ulama,meskipun ulama tersebut sudah tiada,terutama Mbah Muqoyim dan beberapa ulama lainnya yang kebetulan makamnya berada di sisi jalan yang dilalui oleh iring-iringan pabrik gula yang sedang berpesta.