Senin, 18 Februari 2019

Catatan Pada Kitab- kitab Tua

Catatan Pada Kitab-kitab Tua

Berikut adalah beberapa catatan mengenai kejadian-kejadian yang terdapat pada sebuah kitab yang dimiliki oleh Raden Djunaedi Kalyubi.Kitab tersebut adalah kitab fikih,tauhid,hadis,sedikit amalan mujarobat,catatan harian,dan lain-lain.Benerapa catatan diperkirakan dibuat akhir tahun 1890 an M,sementara usia kitab ini belum diketahui secara pasti.

Tertulis keterangan yang ditulis oleh Raden Sulaeman (ada yang berpendapat tulisan anak Raden Sulaeman)mengenai sebuah catatan tentang Mama (bisa ayah mertua atau pamannya) yang ada kaitannya denganKuwu Gebang Udik.Tak tertulis dengan jelas di catatan siapa yang menulis catatan tersebut.Nama Niti Atmarja /Atmareja juga tertulis di catatan tersebut,seseorang yang dipanggil kakak (kang) oleh Raden Sulaeman.




Tertulis tentang kelahiran seorang anak perempuan bernama Kusmartini (atas) dan anak laki-laki bernama Muhamad Arsyad/Irsyad.Satu hal yang menarik adalah nama Kiiai Said Gedongan yang disebut di catatan ini,yang diharapkan doa atau berkahnya.



Tulisan ini menjelaskan tentang kelahiran Raden Sunah.

Masih ada beberapa tulisan kaki lainnya yang menyebut nama-nama orang yang ada kaitannya dengan penulis catatan dan pemilik kitab ini.

Sabtu, 09 Februari 2019

Kiai Abdul Jamil dan Dua Jantung Hatinya

Kiai Abdul Jamil dan Dua Jantung Hatinya

Kiai Abdul Jamil,atau sebagian orang memanggilnya Mbah atau Buyut Abdul Jamil.Beliau adalah putra Mbah Mutaad yang melanjutkan kepemimpinan Pondok Pesantren Buntet.Kisahnya sudah banyak ditulis dalam berbagai macam artikel,bahkan beberapa buku.Bagi sebagian santri Pesantren Buntet,tentu tidak asing lagi dengan namanya.

Kali ini bukan sejarah atau kisah kepahlawanan atau ketokohannya yang akan ditulis,tapi kisah lucu (mungkin juga menyedihkan) untuk sebagian orang,yaitu kisah perkawinannya dengan dua orang wanita yang mengharu biru.Yang pertama adalah perkawinannya dengan Nyai Sa'diyah,dan yang kedua adalah dengan Nyai Kariah.Dua wanita yang menjadi jantung hati Kiai Abdul Jamil bin Mbah Mutaad.

Dikisahkan,Kiai Abdul Jamil muda yang sejak kecil diasuh oleh Kiai Anwarudin alias Kiai Krian kakak iparnya,hendak dinikahkan dengan putri Kiai Krian dari istri pertamanya yang bernama Nyai Sa'diah.Hal ini  dilakukan dengan berbagai macam alasan.Selain alasan mempererat hubungan kekeluargaan,juga dengan harapan anak-anaknya kelak dapat melanjutkan perjuangan para leluhurnya dalam mensyiarkan ajaran agama Islam.Hal ini dikarenakan Kiai Krian tahu betul perihal siapa Kiai Abdul Jamil yang sudah diasuhnya sejak kecil tersebut.

Saat dinikahkan oleh ayahnya,usia Nyai Sa'diah masih terlalu muda dan belum mengerti arti pernikahan,sehingga beliau sendiri tidak tahu kalau sudah dinikahkan dengan Kiai Abdul Jamil yang tak lain adalah paman tirinya sendiri.Sedih?,jahat?,begitu tahu ada anak remaja tanggung dinikahkan oleh ayahnya?.Jangan sedih atau berfikir itu adalah perbuatan jahat,karena perkawinan itu hanya sebagai ikatan saja,dengan harapan tak ada lagi orang yang akan melamar atau macam-macam dengan Nyai Sa'diah.Pernikahan itu hanya sebagai tali pengikat saja,tak lebih dari itu.Setelah menikah dengan Kiai Abdul Jamil,Nyai Sa'diah tetap tinggal bersama ayah dan ibunya.Beliau tetap bisa bermain seperti anak-anak dan remaja tanggung lain pada umumnya.Tak ada masa kanak-kanak atau remaja yang terenggut darinya,semua berjalan normal seperti biasanya.

Karena alasan belum bisa berkumpul dengan Nyai Sa'diah  layaknya suami istri,akhirnya Kiai Krianpun mencarikan seorang istri baru untuk Kiai Abdul Jamil.Sebagai ulama Keraton Kasepuhan Cirebon dan guru di beberapa pesantren,Kiai Krian mempunyai banyak teman.Pilihan Kiai Krianpun jatuh kepada anak seorang Penghulu Landraat Cirebon.Akhirnya Kiai Abdul Jamil dijodohkan dan dipertemukan dengan anak sang penghulu tersebut.Nyai Kariah,nama gadis itu,putri seorang penghulu yang masih mempunyai darah Tionghoa dari ibunya.

Pernikahan kali ini dilakukan seperti pernikahan pada umumnya,lengkap dengan acara walimah atau syukuran dan pesta khas tradisi pesantren.Ketika hendak mengantar Kiai Abdul Jamil ke rumah mempelai wanita,Nyai Sa'diah ikut serta rombongan keluarga.Melihat aneka  rangkaian melati yang begitu indah,Nyai Sa'diah yang tak tahu jika Kiai Abdul Jamil adalah suaminya itupun menjadi tertarik dan memintanya kepada paman tiri sekaligus suaminya itu.

"Paman,bolehkah saya minta rangkaian melati ini?",pinta Nyai Sa'diah dengan polosnya.
"Boleh,silahkan saja yi,ambil mana yang kamu suka",jawab Kiai Abdul Jamil sambil mempersilahkan Nyai Sa'diah mengambil sendiri rangkaian melati tersebut.

Entahlah,bagaimana ekspresi Kiai Abdul Jamil saat itu,yang pasti Nyai Sa'diah kecil merasa begitu gembira mendapatkan rangkaian melati tersebut.Nyai Sa'diah tidak tahu bila rangkaian melati itu akan dipakai oleh Kiai Abdul Jamil suaminya dan Nyai Kariah calon istrinya dalam acara pernikahan,calon istri yang tentu saja akan menjadi madu alias istri kedua dari suaminya setelah dirinya.

*Diceritakan oleh Siti Maesaroh,kisah dari Nyai Fatmah putri Nyai Mukminah Abdul Jamil dan Kiai Bakri Kasepuhan

Minggu, 03 Februari 2019

Arti Nama Ardisela

Mbah Raden Ardisela (6)

Nama Ardisela yang dipakai oleh beberapa orang di era tahun 1700 an hingga tahun 1800 an M,sebagian besar bukan nama sebenarnya,melainkan nama lain atau alias.Ada berbagai macam arti dari nama Ardi Sela,ada yang mengatakan bila Ardi berarti bumi atau tanah,sebuah kata yang berasal dari Bahasa Arab,sedangkan Sela sendiri berasal dari bahasa Cirebon yang berarti antara.Pendapat lain mengatakan bila Ardi berarti tanah dan Sela itu batu,Ardi berarti wilayah atau tempat dan Sela berarti batu.

Bila melihat dari beberapa pendapat,bisa jadi semuanya benar,karena satu sama lain masih mempunyai kesamaan arti dengan asal-usul penggunaaan nama Ardisela ini.Beberapa orang yang menggunakan nama Ardisela ini hampir mempunyai kesamaan tindakan atau 'lelakon' nya,yaitu mereka banyak menghabiskan waktu di sebuah wilayah,biasanya duduk di atas batu di antara tanah kosong atau perbukitan sambil berdzikir.

Raden Rustam Bin Demang Bratanata sendiri pada akhirnya juga  memakai nama Ardisela.Nama Ardisela ini diambil karena saat itu Mbah Raden Ardisela memang kerap menghabiskan waktu dengan berkhalwat atau uzlah (mengasingkan diri untuk mendekatkan diri pada Allah swt ),dan beliau biasa menghabiskan waktu menyendiri nya di kawasan Gunung Ciremai.Karena beliau biasa duduk sambil berdzikir di atas batu disela-sela tanah,maka nama inilah yang kemudian beliau gunakan.Pendapat lain mengatakan jika nama Ardisela ini diperoleh karena beliau tergabung dalam kelompok 'Ardisela'.Proses mendapatkan atau menggunakan nama ini hampir sama persis seperti para Ardisela lainnya,yaitu melalui proses tertentu melalui tahapan yang tidak mudah dengan aneka macam gemblengan dan ujian.

Setelah selesai mengasingkan diri dan mencari makna kehidupan,Mbah Raden Ardisela yang semula bernama Raden Rustam tak lantas pulang ke rumah orangtuanya.Beliau lalu pergi ke arah timur Cirebon.Di sebuah wilayah yang masih kosong,sunyi dan angker beliau menghabiskan waktunya untuk membuka pedukuhan atau kampung baru,padahal waktu itu tak ada satu orangpun yang mau menempati daerah tersebut.Karena tempatnya sepi dan angker,beliau beri nama daerah itu Karang Suwung.Karang berati tempat atau wilayah dan Suwung berarti angker atau kosong.

Beberapa tahun kemudian setelah beliau mendapat jabatan yang lebih tinggi,beliau akhirnya pindah ke daerah Tuk.Di Tuk Karangsuwung ini beliau hidup bersama istrinya yang bernama  Nyai Maemunah (Nyai Muntreng),dan kedua anak perempuannya yang bernama Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.Nama Ardisela yang sudah akrab di telinga banyak orang pada akhirnya tetap beliau gunakan,bahkan hingga akhir hayatnya.Di kemudian hari nama Raden Ardisela ini lebih dikenal dibandingkan dengan nama Raden Rustam atau nama beliau lainnya,termasuk nama gelar jabatan beliau yang tercatat di Keraton Kasepuhan.