Sabtu, 27 Agustus 2016

Pesantren Roudlotul Hidayah (Sindang Laut-Cirebon)

Pesantren Roudlotul Hidayah (Sindang Laut-Cirebon)

Pesantren Roudlotul Hidayah adalah sebuah pesantren yang didirikan oleh K.H Ikhsan sekitar tahun 1998.Pesantren ini terletak di perbatasan antara Desa Tuk Karangsuwung dan Desa Sindang Laut Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon.Pesantren yang bangunannya banyak menampilkan nuansa warna hijau ini berada di bawah Yayasan Bakhrul Ulum Sindang Laut.

Nama Pesantren Roudlotul Hidayah sendiri cukup dikenal di kalangan masyarakat Desa Sindang Laut dan sekitarnya.Warga Desa Sindang laut memang sangat bangga dan mendukung sekali  dengan keberadaan pesantren ini.Kiprah Pesantren Roudlotul Hidayah ini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Desa Sindang Laut,Tuk Karangsuwung,Lemahabang dan sekitarnya.

Santri yang belajar di pesantren ini tak hanya berasal dari Cirebon,namun ada juga yang datang dari Indramayu,Kuningan dan beberapa kota lainnya.Mereka ada yang menjadi santri dan bersekolah di sekolah yang ada di bawah naungan Yayasan Bakhrul Ulum,namun ada juga yang tinggal di pesantren ini namun bersekolah di sekolah lain yang ada di sekitar Kecamatan Lemahabang seperti SMA,SMK dan lain sebagainya.

Yayasan Bachrul Ulum Sindang Laut sendiri saat ini menaungi Pesantren Roudlotul Hidayah,TPA,RA,MD,dan MTS.Jumlah keseluruhan murid atau santri sekitar seratus lima puluh orang lebih.Santri sendiri terdiri dari santri yang menetap dan juga santri yang pulang pergi atau santri kalong.

Para santri yang menetap di Pesantren Roudlotul Hidayah ini biasanya mengikuti aneka kegiatan seperti di pesantren lainnya,yaitu kegiatan yang dimulai dari pagi hingga malam hari.Aneka pengajian rutin digelar di pesantren ini,mulai dari pengajian Al Qur'an hingga aneka kitab kuning.Selain pengajian untuk para santri,pesantren ini juga mengadakan pengajian untuk masyarakat umum yang bisa dihadiri oleh siapa saja,baik tua maupun muda,pria ataupun wanita.



Senin, 15 Agustus 2016

Makam K.H Abdul Jamil dan Para Kiai Pesantren Buntet

Makam K.H Abdul Jamil dan Para Kiai Pesantren Buntet

Pesantren Buntet adalah pesantren tua yang sudah berusia dua ratus tahun lebih.Hingga kini pesantren ini masih berdiri.Di dalam komplek pesantren ini terdapat pemakaman keluarga besar pesantren yang lebih dikenal dengan sebutan Pemakaman Gajah Ngambung.Di areal pemakaman ini terdapat makam-makam para ulama yang turut andil dalam mengembangkan Pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyim ini.

Mbah Muqoyim sebagai pionir, dan Mbah Raden Mutaad sebagai cucu menantu yang berhasil memajukan pesantren yang berada di Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astana Japura,Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat ini,justru dimakamkan di luar Pesantren Buntet,tepatnya di Desa Tuk Karangsuwung Kecamatan Lemahabang.

Di Pemakaman Gajah Ngambung Pesantren Buntet ini dimakamkan keturunan dari Mabh Muqoyim dan Mbah Raden Mutaad.Salah satu yang banyak dituju oleh para peziarah adalah Makam K.H. Abdul Jamil.Selain K.H.Abdul Jamil,banyak juga makam para Kiai atau ulama lainnya yang dimakamkan di pemakaman ini.

Makam utama di mana terdapat makam K.H. Abdul Jamil beserta beberapa Kiai lainnya berada di bawah naungan sebuah bangunan beratap genting dan pagar dari tembok,dan lantai dari keramik.Makam ini hampir setiap harinya selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah,baik itu dari kalangan santri,alumni,keluarga pesantren,juga masyarakat umum.


Makam K.H. Abdul Jamil dan para Kiai,Nyai Pesantren Buntet 
(Makam Gajah Ngambung)

Selasa, 09 Agustus 2016

Pesantren Pamijen (Sampih-Cirebon)

Pesantren Pamijen (Sampih-Cirebon)

Pesantren Pamijen atau biasa juga disebut Pemijen yang berada di Desa Sampih,Kecamatan Susukan Lebak Kabupaten Cirebon adalah sebuah pesantren yang didirikan oleh Kiai Takrifudin,menantu dari Kiai Mas Khanafi (Buyut Jaha) yang menikahi putrinya yang bernama Nyai Latifah.Pesantren ini tergolong berusia cukup tua,yang sudah ada sejak abad 19 M atau sekitar pertengahan tahun 1800 an.Hingga kini pesantren yang dulu dikenal sebagai pesantren salaf ini masih berdiri.

Di pesantren Pemijen ini dari awal hingga beberapa dekade keberadaannya tidak jauh berbeda dengan Pesantren Benda Kerep dalam menerapkan sistem pendidikannya,di mana di pesantren ini hanya menyelenggarakan pengajian saja.Maklum saja,karena Mbah Soleh yang dikenal sebagai pendiri Pesantren Benda Kerep adalah menantu dari Kiai Takrifudin ini.Hingga kini para kiainya juga mempunyai hubungan yang erat dengan pesantren tersebut,baik itu secara keilmuan,persaudaraan,pertalian darah,perkawinan atau kekerabatan.

Semula di Pesantren Pemijen ini tidak ada sekolah umum,namun akhirnya lambat laun ada juga sekolah yang berdiri di sekitar pesantren ini.Madrasah Ibtidaiyah,taman pendidikan Al Qur adalah beberapa contoh sekolah formal dan non formal di pesantren ini.Pesantren Pemijenpun sudah berada di naungan sebuah yayasan yang menjadi induk bagi sekolah dan beberapa asrama yang ada di dalamnya.

Sama halnya seperti pesantren yang berada di wilayah Cirebon lainnya,Pesantren Pemijen ini sebenarnya mempunyai hubungan yang erat dengan pesantren-pesantren lainnya.Selain ada kaitannya dengan Pesantren Benda Kerep,pesantren ini juga mempunyai kaitan dan hubungan yang sangat baik dan erat dengan Pesantren Buntet,Gedongan,Kempek,Babakan Ciwaringin dan beberapa pesantren lainnya.

Keadaan lingkungan Pesantren Pemijen ini cukup nyaman,karena letaknya yang jauh dari keramaian dan berada di sebuah desa yang terbilang sejuk dan asri.Oleh karena itu para santri yang belajar di pesantren ini bisa dengan tenang belajar tanpa banyak tergoda dengan lingkungan luar.

Sebagian besar santri lulusan dari pesantren ini dikenal sebagai pelaku wirausaha atau petani,karena dari dulu hingga sekarang latar belakang orang tua para santri memang dari kalangan para wirausahawan atau juga petani.Dari dulu hingga sekarang di pesantren Pemijen pun sangat  menekankan dan menitikberatkan kewirausahaan bagi para santrinya,karena memang itulah bekal yang bisa dilakukan oleh siapapun setelah lulus dari pesantren ini.


Gapura menuju Pesantren Pemijen

Jumat, 05 Agustus 2016

Pesantren Assalafiah Darussalaf (Dongkol-Asem)

Pesantren Assalafiah Darussalam (Dongkol-Asem)

Pesantren Assalafiah Darussalaf adalah sebuah pesantren yang terletak di Blok Dongkol Desa Asem,Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon.Pesantren yang dulu dikenal dengan sebutan Pesantren Dongkol ini adalah pesantren tua yang hampir sezaman dengan Pesantren Buntet,bahkan menurut salah seorang peneliti pesantren-pesantren di Cirebon,pesantren Dongkol ini usianya  lebih tua dari Pesantren Buntet.

Hingga saat ini Pesantren Dongkol masih tetap berdiri dan bertahan di tengah-tengah masyarakat demi untuk mencerdaskan para murid.Walau tidak sebesar dan setenar Pesantren Buntet,Kempek,Gedongan,Babakan Ciwaringin atau pesantren lainnya yang sebenarnya masih mempunyai keterkaitan antar para pendirinya,Pesantren Dongkol tetap berdiri dan semakin menunjukan kemajuannya.

Dulu di Pesantren Dongkol ini hanya mengadakan pengajian-pengajian saja,namun sekarang sudah ada sekolah setingkat SMP.Kedepan di pesantren yang sekarang berada di bawah naungan Yayasan Darussalaf Cirebon ini akan ada sekolah lanjutan tingkat atas atau Aliyah.

kegiatan para santri Pesantren Assalafiah Darussalaf Dongkol ini dimulai dari pagi hingga malam hari selepas sholat isya.Setelah sholat subuh biasanya para santri mengikuti pengajian Al Qur'an,dilanjutkan sekolah hingga siang.Setelah sholat dzuhur para santri bisa beristirahat hingga sholat asar.Setelah sholat asar para santri biasanya akan mengaji aneka kitab kuning hingga menjelang maghrib di madrasah mualimin mualimat yang memang khusus mengkaji aneka kitab mulai dari kitab fikih,tauhid,akhlak,tafsir,hadis,dan lain sebagainya.

Pengajian Al Qur'an biasanya akan dimulai lagi setelah sholat Maghrib hingga menjelang sholat isya.Setelah sholat isya biasanya para santri diwajibkan untuk belajar bersama atau takror,mulai dari mengulang pelajaran di sekolah atau di madrasah,mengerjakan pr dan lain sebagainya.


Masjid Al Barokah (atas),Asrama putra (bawah)

Kamis, 04 Agustus 2016

Rumah Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela (18)

Semasa hidupnya,Mbah Raden Ardisela yang mengepalai beberapa desa atau yang dulu lebih dikenal dengan sebutan demang dari kademangan lebih memilih tinggal di Tuk,sebuah Blok yang saat itu masuk ke dalam Desa Karangsuwung.Di Tuk inilah Mbah Raden Ardisela hidup bersama istri dan dua anak perempuannya.Kalau sekarang Blok Tuk ini sudah menjadi desa yang dimekarkan dari Desa Karang Suwung dengan nama Desa Tuk Karangsuwung.

Lalu di manakah kediaman Mbah Raden yang sebenarnya?.Menurut sesepuh terdahulu rumah Mbah Raden Ardisela itu berada di area yang sekarang ini berdekatan dengan makam.Setelah diangkat menjadi demang,barulah beliau membangun rumah yang cukup besar atau biasa disebut dengan nama keraton yang sekarang ini bekasnya telah menjadi pemakamannya.

Tak ada sisa-sisa bangunan rumah yang bisa ditemukan di tempat yang dulu merupakan kediaman Mbah Raden Ardisela tersebut.Hal ini dikarenakan rumah Mbah Raden Ardisela adalah rumah pribadi,di mana ketika beliau wafat otomatis rumahnya diwariskan kepada anak keturunannya.

Sekarang ini bagian tanah  bekas rumah Mbah Raden Ardisela telah berganti kepemilikannya dari satu pemilik ke pemilik lainnya.Yang tersisa hanya tanah dengan bangunan baru dan tak menyisakan sedikitpun bangunan yang lama.Adapun yang menjadi penanda bahwa tanah tersebut adalah bekas rumah milik Mbah Raden Ardisela adalah hanya sebuah sumur tua.Tetapi sumur tua dengan bata jaman dahulu yang besar-besar itu sekarangpun sudah ditutup.

Keberadaan halaman rumah bekas Mbah Raden Ardisela berada hingga sekitar 200 meter dari sisi makam bagian barat.Secara umum Blok Muara Bengkeng yang dulu dikenal dengan nama Sida Parta atau Karang Panas adalah bagian dari halaman rumah Mbah Raden Ardisela.Dimulai dari pintu masuk (gapura gang) hingga batas sungai adalah bagian dari halaman rumah atau keraton Mbah Raden Ardisela.Di kemudian hari blok ini diberikan untuk Nyi Raden Aris,lalu diberikan lagi untuk putra Nyi Raden Aris yang bernama Raden Raksa.Anak-anak Raden Raksa yang tidak tinggal di Tuk selanjutnya menjual tanah ini kepada saudara dan kerabat lainnya.Seiring berjalannya waktu,kepemilikan tanah bekas rumah dan halaman Mbah Raden Ardisela ini berganti kepemilikan,karena dijual oleh keturunannya yang pindah ke tempat lain.Yang tersisa dan akhirnya diwakafkan hanyalah langgar agung yang sekarang ini sudah menjadi masjid,sumber air Muara Bengkeng,dan areal pemakaman keluarga Mbah Raden Ardisela.

Politik Mbah Raden Ardisela Ketika Melawan Penjajah Belanda

Mbah Raden Ardisela (10)

Dalam berperang melawan Penjajah Belanda,cara yang digunakan oleh Mbah Raden Ardisela cenderung berbeda dengan Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Bila Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya dan melakukan konfrontasi pada pihak penjajah,maka Mbah Raden Ardisela cenderung mengambil jalan yang lebih aman agar perlawanannya tidak terlalu kelihatan.

Secara langsung Mbah Raden Ardisela kelihatan tidak membenci dan tidak pula melawan penjajah.Hal inilah yang beliau perlihatkan pada para penjajah tersebut.Di balik semua itu sebenarnya beliau hanya berpura-pura mau bekerja sama dengan mereka,karena sebenarnya secara diam-diam beliau juga sering melakukan aneka perlawanan bersama para pejuang lainnya.

Karena politik Mbah Raden Ardisela yang berpura-pura mau bekerja sama dengan pihak penjajah inilah maka beliau tidak dijadikan target sasaran untuk dipenjarakan atau dibunuh.Tapi karena politik seperti ini pulalah yang membuat pihak musuh selalu gagal ketika hendak menangkap Mbah Muqoyim,karena Mbah Raden Ardisela sering kali tahu terlebih dahulu bila pihak Penjajah Belanda hendak menangkap guru sekaligus sahabat karibnya tersebut.

Berpura-pura bekerja sama dengan pihak musuh bukan berarti tanpa resiko,karena bila ketahuan tak hanya nyawa Mbah Raden Ardisela sendiri yang menjadi taruhannya,tetapi juga nyawa keluarganya.Tetapi untunglah,Mbah Raden Ardisela selalu berhasil menutupi jati dirinya dan juga sepak terjangnya dalam melawan penjajah.

Berjuang melawan penjajah memang mempunyai resiko yang besar,tetapi berjuang melawan penjajah adalah sebagai sebuah keharusan juga.Maka mau tidak mau Mbah Raden Ardisela tetap berjuang melawan para penjajah tersebut.Beberapa langkah yang dilakukan oleh Mbah Raden Ardisela agar usahanya dalam berjuang ini tidak diketahui pihak penjajah adalah dengan mempunyai beberapa nama dan seringkali berpindah tempat ketika melakukan perlawanan pada penjajah tersebut.Dengan cara-cara tersebut pihak penjajah sering kali tidak menaruh curiga jika yang melakukan perlawanan pada mereka adalah Mbah Raden Ardisela.

Penjajah yang kejam,rakus,suka menindas rakyat,suka mengadu domba antara satu orang atau satu kelompok dengan yang lainnya,memang harus dikalahkan dengan politik yang tidak biasa juga.Hal ini juga yang dilakukan oleh Mbah Raden Ardisela,sehingga pihak penjajah tidak tahu jika Mbah Raden Ardisela sebenarnya terus melakukan perlawanan terhadap mereka secara diam-diam bersama para ulama,santri dan para pejuang lainnya.

Mbah Raden Ardisela (28)

Keluarga Besar Mbah Raden Ardisela dan Nyai Maemunah (Nyai Muntreng)

Mbah Raden Ardisela menikah dengan Nyai Maemunah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nyai Muntreng dan dikarunia dua anak perempuan yaitu Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.Mbah Raden Ardisela tidak mempunyai anak laki-laki,hanya mempunyai dua anak perempuan saja.

Nyi Raden Aras yang menikah dengan Mbah Nurlayaman (ada yang mengatakan dengan Kiai Nurkhasan bin Kiai Layaman) dikaruniai seorang anak yang bernama Raden Hasan Mudhofat.Di kemudian hari Raden Hasan Mudofat ini menikah dengan Nyi Raden Syatariah dan dikaruniai lima orang anak,yaitu Nyi Raden Khodijah (Nyi Raden Kijun),Raden Nurkamal,Nyi Raden Murniah (Nyi Raden Muni),Raden Samaun (Raden Mangun),dan Raden Nurkamil.Cicit Mbah Raden Ardisela dari Raden Hasan Mudhofat dan Nyi Raden Syatariah ini ada lima,dan sebagian besar keturunannya masih banyak yang bertempat tinggal di Tuk Karangsuwung dan sekitarnya secara turun temurun.

Selain menikah dengan Nyi Raden Syatariah dan bertempat tinggal di Tuk Karangsuwung,Raden Hasan Mudhofat juga menikah dengan wanita lain dan bertempat tinggal di luar Tuk Karangsuwung.Dari perkawinannya ini Raden Hasan Mudhofat dikaruniai beberapa anak,di antaranya Raden Usman (Astanajapura,Cirebon),dan Raden As'ad (Sukamandi,Subang).

Nyi Raden Aris menikah dengan Raden Rangga Nitipraja yang tak lain adalah sepupunya sendiri (Raden Rangga adalah anak dari Mbah Raden Arungan,kakak dari Mbah Raden Ardisela sendiri).Dari perkawinan ini Nyi Raden Aris dan Raden Rangga dikaruniai lima orang anak,yaitu Raden Raksa,Raden Pali,Nyi Raden Ayu,Raden Sulaeman dan Nyi Raden Kuning.Cucu-cucu Mbah Raden Ardisela dari anaknya yang bernama Nyi Raden Aris ini banyak mempunyai keturunan yang juga sudah tersebar ke berbagi daerah,tak hanya di Cirebon saja.Sementara nama cicitnya yang tercatat di keluarga besar Mbah Raden Ardisela Tuk Sida Parta hanya anak dari Raden Raksa saja.

Dari Nyi Raden Aras Mbah Raden Ardisela dikaruniai seorang cucu,sementara dari Nyi Raden Aris ini Mbah Raden Ardisela dikarunia lima cucu.Cicit dan keturunan  Mbah Raden Ardisela jumlahnya lumayan banyak yang catatannya ada pada keluarga masing-masing.

Untuk nama kedua putri Mbah Raden Ardisela itu,ada yang menyebutnya dengan sebutan Nyi Mas,ada juga yang menyebutnya dengan sebutan Nyi Raden.Hingga sekarang sebagian besar keturunan Nyi Raden Aras masih banyak yang tinggal di Desa Tuk Karangsuwung,Kecamatan Lemahabang,Kabupaten Cirebon.Sementara untuk keturunan Nyi Raden Aris sendiri hanya sebagian kecil saja, karena sebagian besar sudah bertempat tinggal di luar Desa Tuk Karangsuwung dengan berbagai alasan,mulai dari pernikahan,pekerjaan dan lain sebagainya.

Pada akhirnya banyak juga keturunan Mbah Raden Ardisela yang menikah dengan sesama keturunan juga,baik sesama keturunan Nyi Raden Aras dengan Mbah Nurlayaman ataupun antara keturunan Nyi Raden Aris dan Raden Rangga Nitipraja. Untuk beberapa pasangan,ada juga keturunan Nyi Raden Aras dan Raden Nurlayaman yang menikah dengan keturunan Nyi Raden Aris dan Raden Rangga Nitipraja,walau jumlahnya tidak terlalu banyak.

Selasa, 02 Agustus 2016

Pertemuan Mbah Raden Ardisela dan Harimau Cimandung

Pertemuan Mbah Raden Ardisela dan Harimau Cimandung

Suatu saat Mbah Raden Ardisela yang menginjak usia dewasa pergi untuk beberapa lama dalam rangka mengasingkan diri (Uzlah) untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.Beliau pergi seorang diri tanpa ditemani oleh siapapun menuju ke arah Gunung Ciremai yang sekarang lokasinya berada di Kabupaten Kuningan.

Ketika tiba di sebuah tempat yang sunyi dan jauh dari lalu lalang manusia di Gunung Ciremai,Mbah Raden Ardisela duduk menyendiri sambil berzikir dan bertafakur.Hal ini beliau lakukan selama beberapa hari,tanpa merasa takut akan sesuatu apapun.Yang beliau takutkan bukan makhluk melainkan hanya Allah swt.

Setelah beberapa hari menyendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah swt,akhirnya Mbah Raden Ardisela harus kembali ke rumah orangtuanya.Dari sini beliau mendapatkan petunjuk untuk pergi ke sebuah tempat yang belum dihuni oleh masyarakat untuk dijadikan tempat tinggal dan juga sekaligus tempatnya untuk berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam.

Ketika hendak pulang,di perjalanan Mbah Raden Ardisela melihat ada seekor harimau atau macan yang sedang dalam kesulitan.Harimau  tersebut sedang terperangkap.Melihat kejadian  itu Mbah Raden Ardisela dengan segera membantu melepaskannya.Setelah lepas,harimau tersebut berlari meninggalkan Mbah Ardisela dan penghilang entah ke mana.

Beberapa lama kemudian harimau tersebut kembali menemui Mbah Raden Ardisela.Melihat itu Mbah Raden Ardisela menjadi heran.Ternyata harimau tersebut adalah jelmaan jin dan dia bisa bicara.Mbah Raden Ardisela yang kebingungan lalu bertanya mengapa harimau itu kembali untuk menemuinya.Sang harimau tersebut mengatakan jika orangtuanya meminta dia untuk mengabdi pada orang yang telah menolongnya.

Karena harimau tersebut memang ingin mengabdi,maka Mbah Raden Ardisela membiarkan saja ketika harimau tersebut menemaninya pulang.Dari sinilah persahabatan antara Mbah Raden Ardisela dan makhluk dari bangsa jin itu bermula.Harimau tersebut biasa dipanggil dengan sebutan Cimandung atau Macan Cimandung.

Senin, 01 Agustus 2016

Tempat Kelahiran Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela (4)

Ada yang berpendapat jika Mbah Raden Ardisela dilahirkan di Indramayu atau Majalengka,namun ada juga yang berpendapat jika beliau dilahirkan di sebuah tempat yang sekarang ini disebut dengan nama Peradenan yang berada di Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon.Nama Peradenan berasal dari kata Raden dan berubah menjadi Peradenan,yaitu tempat tinggal para raden atau keluarga bangsawan.Tempat yang terletak di kawasan Sindang Laut ini hingga kini disebut sebagai Peradenan.

Sebelum pindah ke Tuk Karangsuwung,Mbah Raden Ardisela banyak menghabiskan masa anak-anak hingga masa remajanya di beberapa tempat,mengikuti orangtuanya atau juga melanjutkan pendidikan di luar desa tempat tinggalnya.Menjelang dewasa akhirnya beliau pergi mengembara untuk berguru,mencari pengalaman,dan mengasingkan diri (uzlah) demi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu yang sedang mencari jati dirinya.

Indramayu atau Majalengka adalah tempat di mana orang tua dan sesepuh Mbah Raden Ardisela berada.Mbah Raden Sutangkara yang tak lain adalah buyutnya dan Mbah Raden Demang Bratanata ayahnya diketahui banyak menghabiskan waktu hidup hingga wafat dan dimakamkan di Desa Sepat Kecamatan Sumber Jaya Majalengka.Mbah Raden Demang Bratanata juga diketahui banyak menghabiskan waktu di Majalengka dan Indramayu.Karena hal inilah banyak yang berpendapat jika Mbah Raden Ardisela lahir di Majalengka atau Indramayu.

Sementara itu dulu Peradenan di Sindang Laut Cirebon hanya dikenal sebagai blok yang dihuni oleh para raden,yang lambat laun blok ini akhirnya dihuni juga oleh masyarakat umum dari berbagai kalangan.Pada perkembangan selanjutnya masyarakat dari berbagai latar belakang berbaur dan tak lagi memandang asal-usulnya.

Tak diketahui di mana tempat kelahiran Mbah Raden Ardisela secara pasti,apakah Majalengka,Indramayu atau Cirebon.Namun sebuah sumber  menyebutkan jika Mbah Raden Ardisela lahir di Indramayu,tepatnya di daerah Pekandangan.