Sabtu, 13 Mei 2017

Buntet,Sindang Laut,Tuk Karangsuwung dan Pesawahan

Buntet,Sindang Laut,Tuk Karangsuwung dan Pesawahan

Suatu saat Pesantren Buntet yang sudah dicurigai oleh penjajah Belanda dikepung oleh mereka.Untunglah,kejadian ini sudah diketahui oleh orang-orang yang dekat dengan Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Mengetahui itu,Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela beserta keluarga segera menyelamatkan diri dan pergi menuju ke Pesawahan,tempat di mana adik Mbah Muqoyim yang bernama Kiai Ismail tinggal.Pihak penjajah yang kesal karena tak mendapati kedua ulama itu segera membakar pesantren milik Mbah Muqoyim dan menembak dengan cara membabi buta,sehingga mengenai santri dari desa sekitar yang kebetulan berada di sekitar tempat kejadian.

Kisah lain menceritakan jika Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela dikepung oleh penjajah.Untunglah keduanya berhasil menyelamatkan diri.Para penduduk serta santri menjadi kalang kabut dibuatnya.Bahkan santri Mbah Muqoyim ada yang tewas dalam penyerbuan itu.Saat dikejar penjajah dari Buntet, Mbah Muqoyim menyelamatkan diri ke Pesawahan,sebuah desa di mana adik laki-lakinya yang bernama Kiai Ismail  tinggal.

Selama di Pesawahan,Kiai Muqoyim dan Kiai Ardisela mengajar aneka ilmu pengetahuan agama,ketatanegaraan dan juga kanuragan kepada para santri yang diasuh oleh Kiai Ismail.Lambat laun akhirnya pihak penjajah berhasil juga mencium keberadaan Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Saat Kiai Ismail sedang mengadakan sebuah acara yang menampilkan para santri,pihak penjajah kembali mengepung dan hendak menangkap Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.Saat acara berlangsung banyak dihadiri oleh para undangan,termasuk para ulama,pejabat,santri dan masyarakat,termasuk turut hadir juga Mbah Raden Ardisela dan putra Sultan Kanoman yang di kemudian hari menjadi Sultan Kacirebonana pertama.Ketika pihak penjajah hendak menangkap Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela,semua ikut menghalanginya,hinga akhirnya terjadilah pertempuran hebat.Kemampuan Kiai Ardisela ditambah para pejuang lainnya membuat pihak musuh kalang kabut.Belandapun akhirnya kalah dan banyak serdadunya yang tewas.

Setelah merasa Pesawahan tidak aman,Mbah Muqoyim dan Kiai Ardiselapun memutuskan untuk pindah kembali.Mbah Muqoyim berniat pergi ke Pemalang,sementara Kiai Ardisela memutuskan untuk pergi ke Indramayu.Hal ini dilakukan agar pihak penjajah tak lagi mengejar mereka berdua.Atas ajakan Mbah Raden Ardisela,Mbah Muqoyim pergi ke Tuk Sindang Laut dulu,menunggu situasi aman.Sementara Kiai Ardisela langsung ke Indramayu.Di Tuk Sindang Laut ini Mbah Muqoyim tinggal beberapa lama,dekat dengan Mbah Raden Ardisela dan kerabat lainnya.Mbah Muqoyimpun tinggal dan mengajar aneka ilmu agama.

Mbah Muqoyim sempat mendirikan surau atau mushola kecil di Tuk Lor yang sekarang ini letaknya tidak terlalu jauh dari Stasiun Kereta Api Sindang Laut,yang digunakan sebagai tempat sholat dan mengajar santri yang datang dari Lemahabang,Sindang Laut,dan sekitarnya.Selain mushola,beliau juga mendirikan pesantren yang di kemudian hari diteruskan oleh keturunannya.Sayangnya pesantren yang letaknya tidak terlalu jauh dari makam Mbah Muqoyim ini sudah tak berdiri lagi dan ditutup sekitar tahun 1940 an M,sebelum masa kemerdekaan.Salah satu Kiai yang dikenal luas dari pesantren ini adalah Kiai Kamali, yang sekarang ini namanya digunakan sebagai nama gang menuju mushola peninggalan Mbah Muqoyim.

Selain mushola Tuk Lor yang sekarang ini sudah masuk ke wilayah Desa Lemahabang,beliau juga mendirikan mushola bersama masyarakat Sindang Laut,di mana di kemudian hari mushola ini dijadikan masjid,yang letaknya sekarang ini berada di sebelah timur jalan Sindang Laut-Asem (dikenal dengan nama Blok Segogan).Di Tuk sendiri,tepatnya di Blok Muara Bengkeng Mbah Raden Ardisela meminta pegawainya untuk membuatkan sebuah kolam ikan untuk Mbah Muqoyim.Hal ini konon dilakukan oleh Mbah Raden Ardisela karena beliau tahu jika Mbah Muqoyim sangat suka ikan.Untuk mengalirkan airnya dibuatlah parit kecil dari sungai menuju kolam ikan.

Pihak penjajah yang terus mencari tahu keberadaan Mbah Muqoyim akhirnya berhasil menemukan jejaknya kembali.Mbah Muqoyim yang sedang berada di rumah Mbah Raden Ardisela segera diselamatkan olehnya.Penjajah yang mengejar ke Tuk mencecar Mbah Raden Ardisela tentang keberadaan Mbah Muqoyim.Berkat kepandaian Mbah Raden Ardisela dalam berdiplomasi,akhirnya pihak Belanda meyakini jika Mbah Muqoyim tak ada di Tuk.

Karena keberadaannya masih menjadi incaran Belanda,Mbah Muqoyim akhirnya memutuskan untuk segera pergi ke Pemalang Jawa Tengah,hingga keadaan benar-benar aman untuk dirinya.Setelah dirasa aman dan juga kehadirannya dibutuhkan oleh banyak masyarakat,beberapa tahun kemudian akhirnya Mbah Muqoyim kembali lagi ke Cirebon untuk melanjutkan dakwah dan perjuangannya bersama para pejuang lainnya.

Buntet,Sindang Laut,Tuk Karangsuwung dan Pesawahan memang tak dapat dipisahkan dari kisah perjuangan Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela.

Pemakaman Tuk Lor Tuk Karangsuwung

Pemakaman Tuk Lor Tuk Karangsuwung

Pemakaman Tuk Lor Tuk Karangsuwung adalah pemakaman yang sudah berusia tua.Ada yang berpendapat bila pemakaman ini adalah bekas petilasan atau bekas pesantren Mbah Muqoyim,namun ada juga yang berpendapat jika pemakaman ini adalah pemakaman yang sudah ada sejak sebelum Mbah Muqoyim dimakamkan di sini.

Pendapat yang mengatakan jika pemakaman Tuk Lor memang sudah ada sebelum Mbah Muqoyim dimakamkan di pemakaman ini diperkuat karena alasan desa yang berbatasan langsung dan usianya jauh lebih tua dari Desa Tuk Karangsuwung,yaitu Desa Lemahabang tidak mempunyai pemakaman yang lebih luas dari pemakaman Tuk Lor ini,padahal penduduk desa tersebut sejak dulu jauh lebih banyak dari penduduk Tuk Karangsuwung.Sejak dari dulu pula banyak warga desa tersebut yang dimakamkan di makam Tuk Lor ini.

Mbah Muqoyim memang pernah menetap di Tuk Karangsuwung dan Sindang Laut untuk beberapa lama,namun bukan di tempat yang sekarang ini dikenal sebagai Pemakaman Tuk Lor.Tempat tinggal dan pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyim berada di dekat makam ini,tepatnya di sebelah utara makam.Mbah Muqoyim dan beberapa keturunannya sendiri banyak yang dimakamkan di Pemakaman Tuk Lor ini.Hal ini berlanjut hingga cucu Mbah Muqoyim.Setelah ada makam Gajah Ngambung Pesantren Buntet di masa Kiai Haji Abdul Jamil Bin Kiai Mutaad,maka tak ada lagi keturunan Mbah Muqoyim dari Pesantren Buntet yang dimakamkan di Pemakaman Tuk Lor ini.

Sebelum makam Gajah Ngambung Buntet dibuka,para ulama atau keluarga Buntet Pesantren yang meninggal biasanya akan dimakamkan di pemakaman Tuk Lor ini.Sebagian jenazah ada yang sudah dimandikan dan disholatkan di Buntet,namun tak sedikit pula yang dimandikan dan disholati di Tuk Karangsuwung.Tujuan orang yang tidak mempunyai keluarga yang dimakamkan di pemakaman Tuk Lor apabila berziarah ke tempat ini adalah berziarah ke makam Mbah Muqoyim.

Pesarean Cilik (Pemakaman Kecil) Tuk Karangsuwung

Pesarean Cilik (Pemakaman Kecil) Tuk Karangsuwung

Di seberang sungai dekat bekas Keraton Raden Rangga Nitipraja yang berada di timur Masjid Keramat Mbah Raden Ardisela,terdapat sebuah pemakaman kecil yang biasa disebut pesarean cilik.Di pesarean cilik ini hanya ada beberapa makam saja.Ada yang mengatakan bila makam-makam tersebut adalah makam senjata,makam harta karun,dan makam manusia.

Beberapa kali ada orang yang mencoba menggali makam-makam yang ada di pesarean cilik ini,karena mereka meyakini jika makam-makam yang ada di sini menyimpan harta Karun.Hal ini diketahui dari beberapa makam yang rusak di siang hari.Tak ada harta karun atau benda apapun di dalamnya,karena makam-makam ini memang tidak berisi benda-benda berharga seperti yang dipercayai atau diisukan oleh beberapa orang.

Menurut cerita turun-temurun,pesarean cilik ini sebenarnya adalah makam-makam para pejuang yang gugur ketika berperang melawan Penjajah Belanda.Pesarean cilik ini dibuat semasa Mbah Raden Ardiselamasih hidup dan belum ada makam Mbah Raden Ardisela seperti sekarang ini.Setelah Mbah Raden Ardisela wafat,barulah pemakaman berpindah dari pesarean cilik ke pemakaman yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Pemakaman Keramat Mbah Raden Ardisela yang sebelumnya merupakan halaman rumah atau halaman keraton milik Mbah Raden Ardisela.

Pendapat lain menyatakan jika pesarean cilik adalah tempat dimakamkannya para pekerja kereta api yang wafat saat bekerja membangun rel kereta api.Karena mereka berasal dari tempat yang jauh dan tak mungkin dipulangkan,maka akhirnya diputuskan jika mereka yang wafat saat bekerja membangun rel kereta api akan dimakamkan di tempat terdekat.Dan pesarean cilik adalah salah satunya,di mana di tempat inilah para pekerja pembangunan jalan kereta api  yang wafat dimakamkan.Hal ini terjadi di sekitar awal tahun 1900 an.

Keberadaan pesarean cilik ini semakin ditinggalkan dan semakin tidak diperhatikan oleh warga Tuk Karangsuwung.Lambat laun pesarean cilik semakin tak dihiraukan keberadaanya.Hal ini karena memang tempatnya yang terpencil,berada di tengah-tengah kebun dan sawah yang jarang dilalui oleh masyarakat umum.