Selasa, 16 Oktober 2018

Kamplongan Lemahabang dan Tuk Karangsuwung

Kamplongan Lemahabang dan Tuk Karangsuwung

Saat tinggal di Tuk Karangsuwung dan Lemahabang,Mbah Muqoyim mendapatkan tanah yang cukup luas.Tanah tersebut mulai dari sisi selatan,yaitu jalan yang berbatasan dengan makam (sekarang jalan kereta),dan sisi utara adalah hingga dekat Pasar Lemahabang.Di sisi timur berbatasan dengan sungai,dan di sisi barat berbatasan jalan yang menghubungkan Tuk Karangsuwung dan Lemahabang.Sementara mulai jalan kereta api hingga Leuwidingding adalah tanah milik Mbah Raden Ardisela.

Memiliki tanah yang sangat luas pada masa tersebut bukanlah hal yang aneh,karena penduduk belum terlalu banyak seperti sekarang ini.Tanah yang begitu luas itu dimanfaatkan oleh Mbah Muqoyim dengan baik.Di sisi barat jalan beliau gunakan untuk tempat pengajian atau pesantrennya.Tanah kosong diseberangnya digunakan untuk orang-orang kepercayaannya.Tanah yang dimiliki oleh Mbah Muqoyim ini sebagian digunakan untuk tempat pengajian,sementara sebagian lainnya ditempati dan digarap oleh orang-orang kepercayaannya.

Pesantren Buntet dan Pesantren Tuk yang didirikan oleh Mbah Muqoyim berjalan dengan baik.Pesantren Tuk semakin banyak didatangi oleh para santri dari berbagai wilayah.Setelah mereka menyelesaikan pendidikannya,tak sedikit dari para santri tersebut yang ingin menetap dekat dengan Mbah Muqoyim.Karena tanahnya masih luas,Mbah Muqoyimpun akhirnya memutuskan untuk menghibahkan sebagian besar tanahnya tersebut kepada para santri dan orang kepercayaannya.Lambat laun tanah atau blok di mama para santri dan orang kepercayaannya tinggal itu diberi nama Kamplongan.

Para santri Mbah Muqoyim yang menempati Blok Kamplongan ini pada akhirnya banyak yang menikah dan tetap tinggal di Kamplongan.Lambat laun mereka ini banyak yang mempunyai keturunan dan turut tinggal di tempat tersebut.Blok Kamplonganpun akhirnya semakin ramai.

Seiring berganti waktu,Blok Kamplonganpun terbagi menjadi dua.Yang pertama adalah Blok Kamplongan yang letaknya berada di Desa Lemahabang Wetan,dan Blok Kamplongan yang lainnya masuk wilayah Desa Tuk Karangsuwung.Kedua blok dengan nama Kamplongan ini telah menjadi pemukiman yang cuckup padat.Sementara itu Pesantren Tuk yang dulu didirikan oleh Mbah Muqoyim berada di Desa Lemahabang Kulon,di seberang Blok Kamplongan Lemahabang Wetan.Sayangnya pesantren ini sudah tak beroperasi lagi dan tutup semenjak era awal kemerdekaan.

Senin, 15 Oktober 2018

Melanjutkan Perjuangan Para Leluhur

Melanjutkan Perjuangan Para Leluhur

Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah ulama sekaligus umaro.Kegiatan sebagai ulama atau da'i ini sudah beliau lakukan sejak muda dan berlanjut hingga akhir hayatnya.Beliau menyebarkan ajaran Agama Islam dari satu daerah ke daerah lain dan dilakukan bersama-sama dengan anggota Dewan Wali Songo dan juga para wali serta ulama lainnya.Sebagai umaro atau pemimpin,Syarif Hidayatullah dikenal sebagai Sultan Pertama Kesultanan Cirebon.

Kemampuan Syarif Hidayatullah memang luar biasa hebat,karena beliau mampu menjalankan kedua perannya itu dengan baik secara bersama-sama.Setelah kepergiannya,nyaris tak ada keturunannya yang bisa melakukan hal seperti apa yang beliau lakukan.Oleh karena itu dalam sistem Kesultanan,tugas sebagai ulama dan umaro ini dibagi dengan baik sesuai dengan kemampuan masing-masing.Ada keturunannya yang bertugas sebagai ulama,ada juga yang bertugas sebagai umaro.

Sebagai umaro atau pemimpin,hampir sebagian besar keturunan Syarif Hidayatullah ini mempunyai pengetahuan ilmu agama yang cukup mumpuni juga,karena memang ada pendidikan khusus agama untuk para keturunannya,baik itu untuk yang tinggal di dalam atau di luar keraton.Sultan,demang,bupati,adipati,dan para pejabat lainnya yang merupakan keturunan Syarif Hidayatullah diharuskan mampu menguasai ilmu agama dengan baik.Walau tidak harus merangkap sebagai ulama,yang terpenting kehidupan para pemimpin tersebut tidak asing dan tidak jauh dengan agama.

Sultan dan para pejabat yang merupakan keturunan Syarif Hidayatullah sebagian besar memang tetap melanjutkan perjuangan leluhur mereka,perjuanagn para wali dan ulama lainnya dalam syiar Islam.Mereka memberikan perhatian lebih pada pendidikan agama di wilayah masing-masing.Para pemimpin tersebut mengambil tenaga ahli dari kalangan ulama yang memang sudah dikader untuk mengajarkan aneka ilmu agama.

Para pemimpin wilayah yang lebih kecil seperti pemimpin kademangan juga tak sedikit yang bertindak sebagai pemimpin namun mempunyai kemampuan yang cukup mumpuni dalam bidang agama.Hal ini jugalah yang dilakukan oleh Mbah Raden Ardisela.Beliau adalah demang yang dikenal mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam bidang ilmu agama dan sangat memperhatikan pendidikan agama.

Melanjutkan perjuangan para wali pendahulu mereka adalah tanggung jawab sebagian besar keturunan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.Berbagai usaha kerap kali dilakukan untuk mencapai tujuan yang baik dalam berdakwah tersebut.

Jumat, 28 September 2018

Kiai Ardisela (20)

Kiai Ardisela 'Guru Para Laskar Ardisela' (20)

Wafatnya Kiai Ardisela

Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim yang selamat dari sergapan penjajah akhirnya pergi meninggalkan Pesantren Pesawahan Sindang Laut,guna mencari tempat yang lebih aman untuk berdakwah.Setelah berpamitan kepada Kiai Ismail adik Kiai Muqoyim yang tak lain adalah kakak ipar Kiai Ardisela,keduanya pergi ke arah yang berbeda.Kiai Ardisela pergi ke arah Indramayau,sedangkan Mbah Muqoyim pergi menuju Pemalang.Sebelum menuju Pemalang inilah untuk beberapa lamanya Mbah Muqoyim tinggal dekat Mbah Ardisela di Tuk Sindang Laut (Tuk Karangsuwung),sementara Kiai Ardisela langsung pergi menyelamatkan diri ke arah Indramayu.

Tidak terlalu lama,rupanya tempat baru Kiai Ardisela yang merupakan tempat mengajar para santri ini berhasil diendus oleh pihak penjajah,sehingga keberadaannya menjadi tidak aman.Pihak penjajah akhirnya mengirim mata-mata dari keturunan pribumi yang menyamar sebagai santri.Kiai Ardisela yang tidak menaruh curiga,dengan senang hati menerima santri tersebut menjadi santrinya dan berbaur dengan para santri lainnya.

Hari berganti,kehidupan di pesantren baru Kiai Ardisela ini berjalan seperti biasanya.Secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan Kiai Ardisela,keluarga juga para santri lainnya,rupanya mata-mata penjajah yang menyamar menjadi santri itu mencari tahu kelemahan Kiai Ardisela.Hingga suatu hari,kelemahan Kiai Ardisela dapat diketahui oleh si mata-mata.Kiai Ardisela yang terkenal sakti mandraguna ini bisa dikalahkan bukan dengan senjata,tapi dengan racun.Mengetahui itu,sang mata-mata segera memberi tahu atasannya.

Ada yang mengatakan pada akhirnya Kiai Ardisela diracun oleh mata-mata tersebut,namun ada juga yang mengatakan jika Kiai Ardisela meninggal karena tubuhnya terkena senjata yang diberi racun.Sebelum meninggal,Kiai Ardisela sakit beberapa hari karena racun yang masuk ke dalam tubuhnya.Berbagai usaha telah dilakukan untuk menyelamatkan nyawa Kiai Ardisela,tapi tak satupun yang bisa membuatnya bertahan hidup.Akhirnya Kiai Ardiselapun menghembuskan nafas terakhirnya.Beliau dimakamkan dekat mushola tempat beliau biasa mengajarkan aneka macam ilmu kepada para santrinya.

*Makam Kiai Ardisela terletak di Desa Sleman,Kecamatan Sliyeg,Kabupaten Indramayu.

Senin, 10 September 2018

Dua Sekolah yang Bikin Galau

Dua Sekolah yang Bikin Galau

Mengajar di sekolah tingkat dasar itu gregetnya kurang sekali dan rasanya minim tantangan.Maka,setelah setahun mengajar di sebuah madrasah ibtidaiyah atau MI,akhirnya saya bertekad untuk kembali pindah haluan.Saya ingin kembali mengajar di sekolah tingkat atas,agar rasa kangen ini terpuaskan.He he,mungkin cuma saya yang ngajar di sekolah dengan alasan kangen,baik itu kangen karena suasananya,juga uang honornya.

Karena ingat pesan almarhum ayah yang meminta saya untuk tidak meninggalkan mengajar di MI,maka dengan aneka cara saya mencoba menghilangkan rasa bersalah dalam hati ini,salah satu caranya adalah dengan menziarahi makam ayah.

Kalau mau mengajar di sekolah dekat rumah itu sebenarnya tidak terlalu susah,karena kakek buyut saya sendiri adalah seorang pendiri pesantren dengan banyak sekolah yang letaknya tak jauh dari rumah.Kebetulan juga,yang mengelola sekolah tersebut adalah saudara dari almarhum ayah atau ibu.Teman-teman almarhum ayah atau ibu juga banyak yang punya sekolah.Jadi kalau mau pdkt atau pendekatan demi untuk mengajar,sebenarnya sangat banyak sekali kesempatan yang bisa didapat.Tapi saya tak ingin melakukan hal tersebut.Biarlah saya mencari sendiri sekolah untuk mengajar,agar ketika ada suatu hal yang tidak diinginkan,nama baik keluarga tak terkena dampaknya.

Kalau mau mengajar di sekolah negeri dan pakai jalur khusus juga sebenarnya bisa.Salah seorang kerabat ayah bahkan langsung menawarkan tempat mengajar di sekolah negeri karena teman baiknya ada yang punya posisi penting di dinas pendidikan di kota tempat saya tinggal ini.Tapi dengan tegas saya menolaknya.Bukan apa-apa,saya justru menolak tawaran tersebut karena saya takut mengecewakan dan membuat malu pada orang yang sudah  menolong saya ketika saya tak bisa berbuat seperti yang diharapkan.

Berkat informasi dari Facebook,akhirnya saya berhasil mendapatkan tempat mengajar di sebuah sekolah tingkat atas.Ketika tahun baru dimulai,akhirnya sayapun resmi menjadi bagian dari guru di sebuah sekolah MA di sebuah pondok pesantren di kawasan Cirebon Barat.Setelah tahu gaji yang diterima saya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama satu bulan,akhirnya saya memutuskan untuk mengajar di sekolah lain.Maklum,karena mengajarnya siang hingga sore hari dan selama enam hari penuh,membuat saya tidak mungkin mengajar les privat yang lokasinya kadang berjauhan satu sama lain.

Setelah mencari informasi lewat medsos lagi,akhirnya saya mendapat tempat mengajar baru di Kota Cirebon,di sebuah sekolah kejuruan yang sedang berkembang.Ternyata sekolah baru tempat saya mengajar ini meminta guru tetap yang mengajar dengan waktu penuh dan tidak boleh mengajar di tempat lain.Kegalauan dimulai,harus pilih sekolah yang mana?,sekolah yang pertama atau yang kedua.Untunglah sekolah kedua ini memberikan waktu untuk berfikir sambil tetap mengajar di dua sekolah tersebut.

Sebulan lebih saya mengajar di kedua sekolah tersebut.Kedua sekolah tersebut meunyai plus minus tersendiri.Setelah melalui pertimbamgan yang cukup matang,akhirnya saya memutuskan untuk mengajar di sekolah pertama alias MA.Kegalauan bukannya berhenti,tapi cuma berganti.Ternyata honor saya di smk yang saya tinggalkan tak juga kunjung dibayarkan dengan alasan belum ada uang untung membayarnya.Hem,benar-benar dua sekolah yang bikin galau.Walau salah satunya sudah saya tinggalkan,masih saja menyisakan kegalauan yang memilukan.

Beberapa bulan setelah tak mengajar di sekolah kedua,Alhamdulillah,akhirnya uang honor cair juga,walau harus menunggu sekian lama dengan kegalauan tiada tara.

Minggu, 09 September 2018

Murid yang Tidak Tahu Gurunya

Murid yang Tidak Tahu Gurunya

Mengajar di sekolah yang berbeda,sensasinya juga berbeda.Berbeda peraturan sekolahnya,teman mengajarnya,anak didiknya dan lain sebagainya.Semua yang saya alami dan rasakan ini menambah pengalaman hidup saya,dan tentu saja menambah cerita untuk blog saya yang gak penting ini.

Kali ini saya mendapat kesempatan mengajar di sebuah sekolah menengah atas yang berbasis pesantren.Anak-anak didik alias murid di sekolah ini sebagian besar adalah anak-anak yang  rajin,sementara sebagian murid lainnya adalah anak-anak yang malas seperti saya.Yang malasnya minta ampun tentu saja murid yang laki-laki,bahkan sampai ada yang malasnya gak ketulungan.

Suatu hari saya yang sedang kosong dari jadwal mengajar duduk-duduk di depan mushola yang ada di lingkungan sekolah,sambil menunggu jadwal mengajar di jam berikutnya.Ternyata,saat itu beberapa guru sedang aktif memberi hukuman pada siswa yang ketahuan terlambat masuk sekolah.Seorang murid yang terlambat dengan santainya duduk di dekat saya,sambil berusaha menyelamatkan diri dari patroli para guru yang sedang memberi hukuman kepada para murid yang terlambat tersebut.

Dialog hangatpun terjadi antara saya dan murid tersebut,berbincang tentang banyak hal,termasuk tentang hukuman yang sedang diberikan kepada teman-temannya yang terlambat tersebut.Dengan santainya dia bercerita tentang banyak hal tanpa dia tahu kalau saya adalah gurunya.Rupanya dia selama ini tidak pernah masuk saat pelajaran saya,padahal sudah tiga bulan saya mengajar di sekolah tempatnya belajar tersebut.Ada rasa miris,ada rasa kecewa,ada rasa kesal,tapi ada juga rasa lucu yang membuat saya tertawa sendiri.Ternyata ada seorang anak didik yang sampai tidak tahu gurunya sendiri karena jarang sekali masuk sekolah.

Semenjak kejadian tersebut,akhirnya membuat saya semakin rajin memantau murid-murid yang saya ajar.Beberapa anak yang tidak pernah ikut pelajaran saya,saya perhatikan betul absennya.Ketika mereka akhirnya masuk,satu persatu dari mereka saya foto dengan kata-kata kid zaman now,yaitu karena mereka sudah terciduk setelah sebelumnya tak pernah masuk pelajaran saya.Gaya mereka saat difoto itu keren habis,malu-malu kucing sambil menatap kamera hp karena terpaksa.(Tapi fotonya gak diunggah di sini ya,tidak boleh).

Hem,kalau ada guru yang tidak tahu muridnya satu persatu karena banyak sekali muridnya,mungkin itu wajar.Tapi murid yang tidak tahu gurunya yang mengajar itu namanya kurang ajar karena gak pernah belajar.

Selasa, 21 Agustus 2018

Bangunan Makam Mbah Raden Ardisela

Bangunan Makam Mbah Raden Ardisela

Makam Mbah Raden Ardisela dulunya sangat sederhana.Sebelum ada bangunan permanen,hanya ditutupi oleh bangunan yang terbuat dari bilik bambu.Seiring berjalannya waktu,makam Mbah Raden Ardiselapun akhirnya diberi tembok dari bata yang menyerupai bangunan rumah.Saat itu bangunannya berbentuk segi empat seperti sekarang namun dengan tembok berwarna putih dan atap genting yang tak bersusun seperti sekarang ini.Lantainya terbuat dari lantai ubin jaman dulu,bukan lantai keramik.Di depannya hanya ada bangunan selasar yang menghubungkan pintu masuk  menuju halaman utama di depan bangunan utama makam.

Sekitar tahun 1993 M,para keturunan Mbah Raden Ardisela,masyarakat Desa Tuk Karangsuwung,para ulama,dan peziarah melakukan perbaikan bangunan makam.Tidak semua keturunan Mbah Raden Ardisela setuju dengan pembangunan makam tersebut,sehingga ketika hendak dibangun,terjadi perdebatan panjang antara beberapa keturunan Mbah Raden Ardisela tentang perlu tidaknya pembangunan makam Mbah Raden Ardisela tersebut.

Yang pro berpendapat jika memang sudah seharusnya makam Mbah Raden Ardisela diperbaiki dan dipercantik,karena Mbah Raden Ardisela adalah seorang pemimpin,pejuang dan pendiri desa yang sudah selayaknya mendapatkan tempat yang layak.Sementara yang kontra berpendapat lebih baik uangnya digunakan untuk memperbaiki sarana ibadah,sarana pendidikan atau untuk tujuan lainnya demi memajukan masyarakat Desa Tuk Karangsuwung dan sekitarnya,yang saat itu masih terbilang kurang bila dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Karena yang pro terhadap pembangunan lebih banyak,maka mau tidak mau pembangunan makam Mbah Raden Ardisela pun berlangsung.Sebelum acara pemugaran,diadakan sebuah acara doa bersama yang dihadiri oleh masyarakat Desa Tuk Karangsuwung,Pesantren Buntet,dan orang-orang dari berbagai daerah yang mendukung pembangunan makam tersebut.

Hampir sebagian besar bangunan makam Mbah Raden Ardisela dirombak,mulai dari tembok,lantai,atap,dan halaman depan.Selain bagian makam yang terbuat dari batu bata yang sudah berusia seabad lebih,bagian lain yang tetap tidak dihilangkan adalah pintu tengah yang berukir.

Rabu, 01 Agustus 2018

Makam Ki Buyut Muhyi Kempek

Makam Ki Buyut Muhyi Kempek

Di Desa Kempek yang terkenal dengan pesantrennya ini terdapat sebuah makam yang usianya sudah cukup tua.Makam ini adalah makam Ki Buyut Kempek,sesepuh Desa Kempek.Beliau hidup seera dengan Pangerna Cakrabuana dan ada hubungannya dengan kisah Nyi Mas Gandasari yang saat itu diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menaklukkan Raja Galuh yang dikenal sakti dan tak bisa dikalahkan oleh utusan Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati lainnya.

Makam Ki Buyut Kempek terdapat di dalam sebuah bangunan yang mirip rumah,dengan pintu dan jendelanya yang hampir tak ada bedanya dengan rumah biasa.Yang membedaknnya dengan rumah biasa lainnya,yaitu bangunan ini tepat berada di tengah-tengah pemakaman dan di dalamnya beirisi makam.Selain makam Ki Buyut Muhyi,di dalam bangunan tersebut terdapat juga makam istrinya yang bernama Nyai Pakungwati.(Ada kesamaan nama dengan putri Sunan Gunang Jati,tapi orangnya berbeda).

Hampir tiap hari makam Ki Buyut Muhyi selalu didatangi oleh para peziarah.Pada hari Kamis,Jum'at dan hari-hari besar umat Islam lainnya,makam Ki Buyut Muhyi akan semakin ramai.Puncak keramaian makam Ki Buyut Muhyi ini terjadi saat diadakan ngunjung buyut sekaligus sedekah bumi yang diadakan oleh masyarakat dan aparat desa setempat.Biasanya acara sedekah bumi ini diadakan bertepatan dengan awal musim tanam menjelang musim hujan,sehingga waktunya tidak tentu.

Makam Ki Buyut Muhyi ini berdekatan dengan makam para kiai Pesantren Kempek,tempatnyapun tak jauh dari Pesantren Kempek.Bila dari arah Bandung turun saja di pintu masuk Pesantren Kempek di Gempol,dari Indramayu atau Jakarta bisa turun di pintu masuk Pesantren Kempek di Pegagan,dan bila dari arah kota Cirebon,bisa turun di kedua tempat tersebut.

Makam Ki Buyut Muhyi,Kempek Palimanan

Senin, 30 Juli 2018

Pesantren Kempek

Pesantren Kempek

Pesantren Kempek adalah pesantren yang sudah terbilang cukup tua usianya.Pesantren ini berdiri sekitar tahun 1908 M,oleh seorang ulama bernama Kiai Harun.Beliau adalah putra dari Kiai Abdul Jalil Kedondong.Nama Pesantren Kempek sendiri diambil dari nama desa tempat di mana pesantren ini berdiri,yaitu Desa Kempek yang memang keberadaan desanya sudah berdiri sejak awal Cirebon sebagai kerajaan mulai terbentuk.

Semula Pesantren Kempek adalah sebuah pesantren yang hanya mengajarkan Al Qur'an dan kitab-kitab kuning saja,sehingga selama beberapa tahun lalu,pesantren ini lebih dikenal sebagai pesantren tradisional atau salafi.Lambat laun,di Pesantren Kempek ini akhirnya berdiri juga lembaga pendidikan formal berupa sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kiai Aqil Siroj atau yang biasa disebut Yayasan KHAS Kempek,yang menaungi beberapa sekolah antara lain Sekolah Menengah Pertama (SMP),Madrasah Tsanawiyah (MTs),dan Madrasah Aliyah (MA).

Pesantren Kempek terdiri dari beberapa komplek pesantren yang dikepalai oleh seorang ulama atau kiai,yang hampir semuanya masih keturunan dari Kiai Harun,baik itu keturunan dari anak perempuannya maupun dari anak laki-lakinya.Beberapa nama komplek pesantren di antaranya adalah komplek yang berada di wilayah Al Qodiem putra seperti Komplek Imam Ibnu Hisyam,Imam Ibnu Malik,Imam Zamakh Sari,Imam Sibawaih,dan Imam Akhfasi.Wilayah Al Qodiem putri terdiri dari Asrama Tsuwaibatul Aslamiyah,Sayyidah Zaenab,Robiatul Adawiyah dan As-Syifa.Di Wlayah Al Ghadier putra dan putri terdapat komplek  Imam Ghozali dan Az-Zahra.Terakhir adalah Wilayah Am Jadied putra dan putri,yang terdiri dari komplek Al Maturidi,Al Bukhori,Al Muslim,asrama Sayyidah Aisyah,Khodijah,dan beberapa komplek serta asrama lainnya.


Masjid Pesantren Kempek yang sudah berumur seabad lebih

Salah satu asrama santri

Santri-santri sedang mengaji 

Salah satu bangunan MA KHAS Kempek

Selasa, 24 Juli 2018

Makam Buyut Tampa Baya

Makam Buyut Tampa Baya
Buyut Tampa Baya adalah seorang lelaki yang berasal dari Mataram.Menurut juru kunci yang bernama Pak Satori,Buyut Tampa Baya ini hidup sezaman dengan era Wali Sanga.
Makam Buyut Tampa Baya terletak di Blok Wana Giri,Klangenan Cirebon.Dari arah kota Cirebon,Majalengka,Sumedang dan Bandung,makam beliau bisa dicapai dengan naik kendaraan umum jurusan Cirebon-Bandung.Untuk lebih mudahnya,minta turun saja di Pasar Palimanan.Kalau dari arah Cirebon harus menyeberang jalan,sementara kalau dari arah Bandung tidak perlu menyeberang.Makamnya tidak terlalu jauh dari jalan,sehingga dari jalan umum bisa ditempuh dengan jalan kaki,naik becak atau ojek bagi yang malas.Dari mulut jalan raya Cirebon-Bandung,makam Buyut Tampa Baya hanya berjarak beberapa ratus meter saja.
Seperti kebanyakan makam sesepuh pada umumnya,makam Buyut Tampa Baya juga ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu,seperti hari Kamis,Jum'at,dan hari-hari besar umat Islam seperti maulid.Setiap malam Jum'at,biasanya diadakan tahlil yang dipimpin oleh kunci makam ini.Pada malam Jum'at Kliwon,peserta yang mengikuti selamatan atau tahlil biasanya akan lebih banyak.

                    Gapura depan makam Buyut Tampa Baya

Senin, 28 Mei 2018

Ardhi Sela Sumedang (Kiai Raden Asyrofudin)

Ardhi Sela Sumedang (Kiai Raden Asyrofudin)

Pangeran Asyrofudin atau Raden Asyrofudin adalah anak dari Sultan Kasepuhan yang bernama Sultan Zainudin.Menurut sebuah sumber,sebenarnya beliau adalah putra yang akan diserahi kekuasaan untuk melanjutkan kepemimpinan ayahnya.Tapi karena beliau seringkali berbeda pendapat dan selalu bertolak belakang dengan pemikiran dan keinginan ayahnya,maka kesempatan itupun akhirnya hilang.

Sultan Zainudin yang terlalu dekat dan bekerjasama dengan penjajah,merasa tidak senang dengan pemikiran anaknya yang justru ingin bermusuhan secara terang-terangan dengan pihak penjajah.Karena hal ini,maka akhirnya Raden Asyrofudinpun diusir oleh ayahnya keluar dari istana.Beliau harus pergi meninggalkan wilayah Kesultanan Cirebon dan tak boleh lagi menginjakkan kakinya di wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon.Karena tak punya pilihan lain,akhirnya Raden Asyrofudinpun pergi meninggalkan Cirebon.

Setelah melakukan perjalanan panjang,akhirnya Raden Asyrofudin sampai di Sumedang.Di kota yang dulunya termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang ini beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan pesantren dengan nama Pesantren Ardhi Sela Singa Naga.Beliau sendiri akhirnya lebih dikenal dengan nama Ardhi Sela.

Pesantren Ardhi Sela Singa Naga ini berdiri sekitar tahun 1846 M.Setelah Raden Asyrofudin meninggal,pesantren ini dilanjutkan oleh keturunannya.Di kemudian hari nama pesantren ini dirubah oleh para penerusnya tersebut menjadi Pesantren Asyrofudin.

Belum ada informasi yang pasti apakah nama Ardhi Sela Sumedang ini ada kaitannya atau tidak dengan para Ardisela yang ada di Cirebon dan sekitarnya.Bila merunut pada waktu pendirian pesantrennya yang berdiri sekitar tahun 1846 dan kejadian yang melatarbelakangi kepergian Raden Asyrofudin tersebut,sangat dimungkinkan sekali jika Raden Asyrofudin ini masih ada kaitannya dengan para Ardisela yang ada di Cirebon dan sekitarnya.Selain itu juga mereka sama-sama berjuang di era yang sama,yaitu sekitar tahun 1700 an akhir hingga awal atau pertengahan tahun 1800 an M.

Jumat, 25 Mei 2018

Saya Muslim,Pilih Pelihara Anjing atau Kucing?

Saya Muslim,Pilih Pelihara Anjing atau Kucing?

Dalam ilmu fiqih yang saya pelajari,anjing adalah binatang yang hukumnya najis,bahkan termasuk najis besar atau najis mugholadhoh.Kalau kena najisnya,kita harus mencucinya sebanyak tujuh kali,satu di antaranya harus disertai debu.Tapi entah mengapa dari kecil hingga besar,saya senang sekali sama binatang yang satu ini.Tapi,walau suka saya tak berminat memeliharanya,karena selain repot sama najisnya,saya juga tak mau menelantarkan binatang peliharaan saya,mengingat saya yang orangnya malesan dan terkadang suka jalan-jalan.

Suatu hari,tiba-tiba ada anjing tersesat di belakang rumah.Awalnya anjing itu berteduh di bawah kayu-kayu rumah tetangga.Anjing itu sehat dan gemuk.Bulunya perpaduan coklat dan hitam,dilehernya terdapat kalung yang menandakan kalau anjing itu adalah anjing peliharaan.Sepertinya ia terbiasa diberi makan,sehingga ia tak pandai mencari makan sendiri ketika ia jauh dengan pemiliknya.Lama kelamaan tubuhnyapun menjadi kurus,sangat berbeda dengan keadaan saat ia baru datang dulu.

Karena sering diganggu oleh anak-anak,akhirnya ia mencari tempat baru.Tak disangka,ternyata tempat baru yang anjing itu pilih adalah bagian belakang rumah baca yang biasa digunakan untuk membaca dan belajar anak-anak jika ruang baca utama penuh.Semula saya juga abai akan anjing itu,karena saya yang hanya bekerja sebagai guru honorer dan guru les di desa ini tak mungkin mampu memeliharanya.Perlu biaya besar untuk memberi makan anjing,sementara gaji dan pengjasilan saya cuma bisa untuk makan dan merawat rumah baca saja.

Lama-kelamaan anjing itu semakin kurus,benar-benar kurus karena makan ala kadarnya saja,bahkan mungkin sering tak makan.Memberi makan anjing?,tiba-tiba saja kalimat itu terbersit di fikiranku.Kenapa harus memberi makan anjing?,sementara kucing liar juga banyak berkeliaran di sekitar rumah.Saya bingung,saya harus pilih mana?,harus lebih perduli pada anjing atau kucing?.Setelah berfikir lama,akhirnya saya putuskan untuk lebih perduli pada anjing.Kenapa?,karena di desa tempat saya tinggal hampir semuanya muslim,pasti mereka banyak yang perduli pada kucing.Kalau sama anjing?,hem,kalau rumah mereka didatangi pasti anjing itu akan diusirnya,bukan karena alasan najis saja,tapi visa juga karena alasan takut atau lainnya.

Saya Muslim,pilih pelihara anjing atau kucing?.Akhirnya saya memutuskan,kali ini saya pilih memelihara anjing saja,karena sekarang ini anjinglah yang benar-benar membutuhkan perhatian dan uluran tangan saya.Sebisanya akan saya rawat anjing itu,karena saya tahu ia tak biasa hidup sendiri di dunia luar ini,karena ia terbiasa dirawat dan diberi makan minum oleh pemiliknya terdahulu.Lalu bagaimana dengan najisnya?.Itu bukan masalah,karena saya bisa menghindar semampu saya dari najisnya,toh tempatnya terpisah,makan dan minumpun tak harus disuapi.

Anjing memang najis,tapi bukan berarti kita tak boleh perduli dan merawatnya,karena anjing juga makhluk ciptaan Allah.

                      Anjing yang akhirnya saya pelihara....

Senin, 23 April 2018

Kiai Layaman

Kiai Layaman
Kiai Layaman atau biasa disebut Kilayaman adalah putra dari Buyut Muji atau Syekh Abdul Muhyi /Syekh Muhyidin Dawuan,Tengah Tani Cirebon.Buyut muji ayah Kilayaman ini adalah seorang yang dikenal sakti mandraguna.Karena kesaktiannya ini,banyak orang yang meminta pertolongan kepadanya.Buyut Muji mempunyai lima orang anak,empat putri dan satu putra.Mereka adalah :
1. Nyai Jamaliyah
2. Kyai Layaman
3. Nyai Layyinah
4. Nyai Maemunah
5. Nyai Julaekhah Gintung
Sebagai satu-satunya putra dari Buyut Muji,Kiai Layaman mewarisi bakat dan kemampuan ayahnya sebagai orang sakti.Sebagai seorang yang sakti,Kiai Layaman dikenal juga sebagai seorang pejuang yang gigih dalam melawan penjajah.Beliau sendiri adalah salah satu dari anggota pejuang yang tergabung dalam kelompok 'Ardisela'.Ada yang mengatakan beliau dikenal dengan nama Ardisela Layaman,namun ada juga yang berpendapat lain.Selain dikenal sebagai Buyut Rancang,tak banyak orang yang mengetahui jika beliau adalah bagian dari kelompok pejuang dengan julukan Ardisela,termasuk sebagian besar keturunannya.Karena hal ini,sering sekali terjadi kesalahpahaman di antara para keturunan Kiai Layaman,keturunan Ardisela,para penggiat atau penggemar sejarah,peneliti,dan kalangan masyarakat pada umumnya.
Kiai Layaman menikah dengan seorang wanita yang bernama Nyai Ratu Solihah atau yang dikenal dengan nama Ratu Gemulung.Dari perkawinannya dengan Ratu Gemulung ini beliau dikaruniai dua orang putra,yaitu :
1. Kiai Nurhasan
2. Kiai Nursafin
Makam Kiai Layaman sendiri berada di kawasan Tengah Tani,Dawuan Plered,tak jauh dari makam Buyut Muji,namun terletak di pemakamn yang berbeda.
Selama hidupnya Kiai Layaman dikenal sebagai seorang yang sakti.Setelah kepergiannya,kesaktiannya tetap dikenal dan dikenang oleh banyak orang.Makamnya sering juga dikunjungi oleh para peziarah.Di kemudian hari,anak keturunan Kiai Layaman banyak juga yang dikenal sebagai orang yang sakti mandraguna,mewarisi jejak Buyut Muji leluhurnya.Tak sedikit dari keturunan Kiai Layaman ini yang berprofesi sebagai tabib atau juru pengobat,paranormal,pelatih silat atau ilmu kanuragan.Mereka dikenal mempunyai kemampuan dalam bidang supranatural atau ilmu kebatinan yang bisa mengobati aneka macam penyakit,baik penyakit medis maupun non medis.

Selasa, 17 April 2018

Tiga Ardisela yang Dikira Satu Orang

Tiga Ardisela yang Dikira Satu Orang

Kiai Ardisela Dawuan atau Buntet,Kiai Mas Khanafi atau Ardisela Jaha (Buyut Jaha),dan Mbah Raden Ardisela Tuk adalah tiga orang dengan nama Ardisela yang sering kali disangka atau dianggap satu orang.Hal ini tak jarang memantik perdebatan di antara orang-orang yang tidak mengetahui sosok dan kisah ketiganya.Yang sering menjadi perdebatan antara lain berkaitan dengan nama istri,silsilah dan anak-anak mereka.

Ada yang mengatakan jika Kiai Ardisela mempunyai istri bernama Nyai Alfan (Nyai R. Alifan) binti Kiai Abdul Hadi,adik dari Mbah Muqoyim pendiri Pesantren Buntet.Apabila ada orang yang berpendapat seperti itu,maka sebenarnya pendapat itu benar,karena memang demikian kenyataannya.Namun yang dimaksud di sini adalah Kiai Ardisela Dawuan atau Buntet.Dari perkawinan Kiai Ardisela Dawuan dan Nyai Alfan,keduanya dikarunia dua orang anak,yaitu Kiai Muhamad Imam dan Nyai Khafiun.Kiai Ardisela Dawuan adalah kakek buyut Kiai Anwarudin (Kiai Krian).Makamnya berada di Sleman,Sliyeg Indramayu.

Bila ada yang mengatakan jika Kiai Ardisela menikah dengan keponakan Mbah Muqoyim,maka pendapat ini juga tidak salah.Karena Kiai Ardisela memang menikah dengan keponakan Mbah Muqoyim.Yang dimaksud di sini adalah Kiai Ardisela Jaha yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Buyut Jaha,di mana kedua nama tersebut adalah sebutan atau julukan untuk Kiai Mas Khanafi.Kiai Mas Khanafi ini memang diketahui menikah dengan Nyai Khafiun,putri Kiai Ardisela Dawuan dan keponakan Mbah Muqoyim.Kiai Mas Khanafi dan Nyi Khafiun mempunyai empat orang anak,yaitu Nyai Lathifah,Kiai Idris,Nyai Asfiah,dan Nyai Qona'ah.

Jika ada yang berpendapat jika Kiai Ardisela ini menikah dengan seorang wanita yang bernama Nyai Maemunah (Nyai Muntreng) yang menurut banyak orang adalah putri Buyut Muji,maka pendapat ini juga betul.Karena Kiai Ardisela memang menikah dengan wanita bernama Nyai Maemunah.Yang dimaksud Kiai Ardisela yang menikah dengan Nyai Maemunah adalah Kiai Ardisela Tuk yang tak lain adalah seorang pemangku wilayah atau demang,yang mempunyai nama lain Raden Rustam atau Raden Bratakusuma.Dari perkawinan Kiai Ardisela Tuk dan Nyai Maemunah ini,keduanya dikaruniai dua orang putri yang bernama Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris.Kiai Arisela Tuk atau biasa disebut Mbah Raden Ardisela ini tidak mempunyai anak laki-laki.

Nama Ardisela yang hidup sezaman dan sama-sama berjuang dengan Mbah Muqoyim memang tak hanya satu orang,karena nama Ardisela di sini hanya sebagai nama julukan atau nama sandi yang digunakan saat berjuang atau berperang.Bahkan Mbah Muqoyim sendiri punya menantu yang tergabung ke dalam kelompok Ardisela,yaitu Kiai Gozali atau yang biasa disebut Kiai Ardisela Gozali.

Minggu, 15 April 2018

Buyut Jaha Cirebon (Kiai Mas Khanafi)

Buyut Jaha Cirebon (Kiai Mas Khanafi)

Kiai Mas Khanafi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Buyut Jaha yang makamnya berada di Desa Sampiran,Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon,adalah seorang ulama sekaligus pejuang yang begitu gigih melawan penjajah.Beliau tergabung dalam kelompok pejuang yang mempunyai nama 'Ardisela'.Oleh sebab itu,selain dikenal dengan sebutan Buyut Jaha,Kiai Mas Khanafi juga dikenal dengan nama Ardisela Jaha.

Menurut beberapa sumber,kata Jaha ini erat kaitannya dengan nama sebuah kawasan di Banten,tepatnya dekat dengan pantai  Anyer.Sekitar tahun 1700 an M,di sekitar pantai itu terdapat sebuah kampung bernama Jaha,di mana di kampung tersebut banyak dihuni oleh para pendatang yang berasal dari Arab dan Yaman.Sebagian dari mereka adalah pedagang,dan beberapa diantaranya terdapat kelompok habib yang memang berniat membantu penyebaran ajaran Islam di Jawa bagian barat,khususnya Banten.Selain di Anyer,kampung atau kawasan dengan nama Jaha juga ditemukan di Serang dan di Cikaduen Pandeglang Banten.Belum diketahui secara pasti apakah daerah-daerah itu hanya mempunyai kesamaan nama atau memang ada kaitan antara satu tempat yang bernama Jaha dengan yang lainnya.

Berkaitan dengan Kiai Mas Khanafi Jaha sendiri,tak diketahui tempat di mana beliau dilahirkan.Tak ada pula yang mencatat masa lahir dan tanggal kematiannya.Namun diketahui jika masa hidup Kiai Mas Khanafi masih satu era dengan Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela Dawuan Sela (Buntet).Hanya saja usianya diperkirakan jauh lebih muda,karena beliau adalah menantu dari Kiai Ardisela Buntet dan keponakan ipar Mbah Muqoyim.Sementara dengan Mbah Ardisela Tuk,usia Kiai Mas Khanafi diperkirakan tidak terlalu jauh berbeda,karena keduanya sama-sama sebagai murid dari Kiai Ardisela Buntet dan juga Mbah Muqoyim.Diketahui juga jika anak perempuan dari Kiai Mas Khanafi yang bernama Nyai Latifah dan anak perempuan dari Mbah Ardisela Tuk yang bernama Nyi Mas Aris ini di kemudian hari menjadi besan.

Kiai Mas Khanafi adalah anak dari Kiai Hasyim bin Abdullah bin Hasyim bin Musayyakh bin Ahmad bin Yahya.Seorang ulama keturunan Rasulullah SAW bermarga Yahya.Ayah dan kakeknya dimakamkan di Ketingkring Wonosobo,sementara makam buyutnya yang bernama Kiai Hasyim bin Musyayyakh dimakamkan di Kutai Kartanegara,Kalimantan.Makam keluarga yang saling berjauhan ini dikarenakan mereka semua suka berpindah tempat ketika berjuang dan berdakwah.

Seperti leluhurnya yang lain,Kiai Mas Khanafi menghabiskan banyak waktunya untuk berjuang dan berdakwah juga,dari satu daerah ke daerah lainnya.Selain kawasan Cirebon Selatan,kawasan Cirebon Timur juga menjadi tempat berdakwah baginya.Di sinilah beliau banyak menghabiskan waktu untuk berjuang dan berdakwah bersama Kiai Ardisela mertuanya,Mbah Muqoyim paman iparnya,dan Mbah Ardisela Tuk sahabatnya.

Kiai Mas Khanafi menikah dengan Nyai Khafiun,putri dari Kiai Ardisela Buntet dan Nyai Alfan.Secara tidak langsung,Kiai Mas Khanafi ini termasuk keponakan Mbah Muqoyim,yaitu keponakan ipar.Karena Nyai Alfan adalah adik dari Mbah Muqoyim (Pendiri Pesantren Buntet),Kiai Yahya,dan Kiai Ismail (Pendiri Pesantren Pesawahan,Cirebon).Mbah Muqoyim,Kiai Yahya,Kiai Ismail,dan Nyai Alfan adalah anak-anak dari Kiai Abdul Hadi.
Dari pernikahannya dengan Nyai Khafiun,Kiai Mas Khanafi dikaruniai tiga orang putri dan seorang putra,yaitu :
1. Nyai Latifah
2. Kiai Idris
3. Nyai Asfiah,dan
4. Nyai Qona'ah.

Nyai Latifah menikah dengan Kiai Takrifudin atau biasa juga disebut dengan nama Kiai Abdul Latif,pendiri Pesantren Pemijen-Asem Lemahabang Sindang Laut.Kiai Idris menikah dengan tiga wanita dan dikarunia beberapa anak,dan putra beliaulah yang akhirnya melanjutkan jejak Kiai Mas Khanafi dalam berjuang dan berdakwah.Makam Kiai Idris sendiri berada di Mekah.Konon,hal ini terjadi lantaran beliau meninggal saat melaksanakan ibadah haji.Sementara itu Nyai Asfiah menikah dengan Kiai Mustofa,dan Nyai Qona'ah menikah dengan Kiai Nurhasan.Dari keempat putra-putrinya ini,keturunan Kiai Mas Khanafi banyak menurunkan para ulama yang banyak tersebar di pesantren-pesantren,terutama di Cirebon.

Semasa hidupnya,Kiai Mas Khanafi dikenal sebagai ulama yang berilmu dan berwawasan luas.Karena keilmuannya yang mumpuni dalam bidang agama,maka pada akhirnya beliau dikenal luas oleh berbagai kalangan masyarakat.Karena hal ini pulalah yang membuat pihak Keraton Kanoman yang mengetahuinya hendak menjadikannya sebagai seorang mufti atau ulama keraton.Namun tawaran sebagai mufti dari Keraton Kanoman itu ditolak oleh Kiai Mas Khanafi dengan berbagai alasan,salah satunya adalah karena beliau ingin lebih dekat dengan masyarakat umum dan memberikan pendidikan agama bagi semua kalangan masyarakat.

Jabatan memang tidak membuat Kiai Mas Khanafi terlena dan menjadikannya tergoda.Justru sebaliknya,beliau malah menolak jabatan tersebut dan memilih sebagai ulama yang hidup di tengah-tengah masyarakat umum.Padahal menjadi mufti atau ulama keraton adalah sebuah jabatan dan pemberian kepercayaan yang tidak sembarang orang bisa mendapatkannya.Jabatan tersebut sangat berarti bagi sebagian orang,lebih-lebih di era di mana keraton masih begitu sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat .

Sabtu, 14 April 2018

Sejarah Para Ardisela

Sejarah Para Ardisela

Ardisela adalah sebuah nama perorangan dan juga kelompok,nama asli,nama gelar atau julukan.Ada banyak tokoh dengan nama Ardisela yang berbeda kisah dan masa hidup,silsilah,dan aneka perbedaan lainnya.Berikut adalah tokoh-tokoh dengan nama Ardisela.

1. Pangeran Alas Ardisela,makam di Desa Luwung,dekat makam Pangeran Muhammad Luhung / P Luwung,Mundu Cirebon.Ada juga yang berpendapat jika makamnya ada di pemakaman Gunung Sembung,Gunung Jati Cirebon.
2. Kiai Ardisela (Kiai Gozali),makam berdampingan dengan makam Mbah Muqoyim,Tuk Karangsuwung,Lemahabang Cirebon
3. Mbah Raden Ardisela (R Rustam / R Demang Bratakusuma),bin Raden Demang Bratanata,makamnya berada di pemakaman Blok Muara Bengkeng,Tuk Karangsuwung,Lemahabang,Cirebon.Pendapat lain mengatakan jika Raden Ardisela adalah putra Raden Bratakusuma cucu Raden Demang Bratanata.
4. Kiai Ardisela Jaha (Buyut Jaha / Kiai Mas Khanafi),Sampiran,Talun Cirebon
5. Buyut Ardhi Sela,Sleman,Sliyeg,Indramayu.Beliau dikenal juga dengan nama Kiai Ardisela Buntet/Dawuan.
6. Kiai Ardisela Layaman / Ki Layaman,makam Tengah Tani,Plered,Cirebon
7. Kiai Ardisela Singa Naga (R. Asyrofudin),pendiri Pesantren Ardisela Singa Naga / Pesantren Asyrofudin,Sumedang
8. Buyut / Ki Ageng Ardisela,Desa Cirea Mandirancan Kuningan
9. Kiai Ardisela,Prapag,Losari,Cirebon
10.Kiai Ardisela Pesawahan,Susukan Lebak,Cirebon
11.Kiai Ardisela,Pekalongan
12.Kiai Ardisela,Banyuwangi

Selain yang tercatat di atas,masih banyak tokoh-tokoh jaman dahulu yang mempunyai nama,gelar atau julukan Ardisela.

Jumat, 02 Maret 2018

Keberkahan Itu Misterius

Keberkahan Itu Misterius

Berkah itu berarti bertambahnya kebaikan,kebaikan dalam banyak hal.Tapi kebaikan seperti apa?,itu yang sering kali menjadi pertanyaan.Keberkahan dalam banyak hal tentunya.Keberkahan itu bisa dalam bentuk ibadah,usia,rezeki,keluarga,pertemanan,dan lain sebagainya.

Keberkahan dalam hal ibadah adalah keberkahan yang semakin hari semakin baik ibadahnya,baik secara kualitas maupun kuantitas.Keberkahan seperti ini yang paling utama.Walau demikian,tak banyak orang yang menginginkan keberkahan dalam hal ibadah ini.Padahal keberkahan dalam hal ibadah ini sangat menenangkan.Kita bisa semakin dekat dengan Allah SWT,dengan semakin sering dan semakin baiknya ibadah kita.

Usia yang berkah adalah usia yang paling utama,tak perduli pendek atau panjang usianya.Usia pendek kalau semasa hidupnya digunakan untuk banyak berbuat baik,Insya Allah akan bahagia karenanya.Diberi usia panjang dan bisa memanfaatkannya untuk melakukan banyak hal yang bermanfaat,tentu itu akan baik sekali.Usia pendek atau panjang,kalau berkah akan selalu diisi dengan hal-hal yang baik,baik itu untuk sendiri maupun untuk orang lain.

Keberkahan dalam hal ilmu adalah keberkahan dengan adanya ilmu yang bermanfaat,baik untuk diri sendiri maupun orang lain.Ilmu yang bermanfaat bukan berarti harus menjadi guru saja,menjadi apapun bisa.Yang terpenting ilmu yang dimiliki bisa menebarkan kebaikan untuk sesama.Apabila kita mengamalkan ilmu yang kita miliki untuk kita sendiri atau makhluk lain dalam bentuk apapun,itulah ilmu yang bermanfaat,ilmu yang berkah.

Keberkahan dalam hal rizki tak berarti harus mendapat rizki yang berlimpah ruah sampai berlimpah-limpah,tetapi berkah dalam hal rizki adalah berkah yang berawal dari bagaimana rizki itu didapat dan digunakan dengan cara yang baik.Mau banyak atau sedikit,kalau asalnya dari usaha halal dan diperuntukkan untuk sesuatu yang halal juga,Insya Allah semuanya akan menjadi ladang amal.Rizki seperti itulah yang bermanfaat.

Selain dalam hal ibadah,usia,ilmu,rizki,keberkahan juga ada dalam bentuk lainnya,keberkahan dalam keluarga,pertemanan,dan lain sebagainya.Kita tak bisa serta merta mengklaim bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah keberkahan,lebih-lebih apabila menyangkut hal yang terjadi pada orang lain.Keberkahan itu misterius,hanya hati yang ikhlas yang bisa merasakannya dengan baik.Tak perlulah kita menghakimi jika seseorang itu mendapat keberkahan atau tidak,karena yang tahu adalah orang yang bersangkutan dan Sang Pencipta.Kita hanya bisa mengira-ngira dan selalu berbaik sangka.

Oh ya,sebenarnya tulisan ini membawa keberkahan atau tidak ya?.Wallahua'lam.Tetapi semoga saja tulisan ini termasuk tulisan yang penuh keberkahan,sehingga tulisan ini bisa membawa kebaikan dan bermanfaat untuk kita semua.

Selasa, 06 Februari 2018

Pohon Mangga Ajaib dan Sedekah

Pohon Mangga Ajaib dan Sedekah

Suatu hari seorang teman saya berkunjung ke rumah.Karena termasuk teman dekat,sayapun akhirnya mengajaknya ngobrol panjang lebar di halaman belakang rumah.Di belakang rumah itu bukan tempat istimewa,hanya halaman yang banyak ditumbuhi aneka pohon dan aneka semak-semak liar.

Tiba-tiba,mata teman saya tertuju pada sebuah pohon mangga yang nampak tidak berbuah banyak seperti pohon mangga lainnya,padahal saat itu di kota tempat saya tinggal sedang musim buah mangga.Melihat itu dia langsung berkata bahwa mangga itu tidak mau berbuah karena saya tidak mau sedekah.Mendengar ucapan teman saya,saya menjadi tertawa geli dibuatnya.

Semula saya tidak mau menjawab ucapannya atau juga menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada pohon mangga itu.Kenapa?,semua karena ketakutan saya.Takut kenapa?,salah satunya saya takut dicap riya atau sombong.Lalu,apa hubungannya pohon mangga dan masalah riya atau sombong?,ya karena memang pohon mangga itu pohon mangga istimewa.Tapi setelah dipikir-pikir,akhirnya saya menjelaskan juga pada teman saya,bahwa pohon mangga yang nampak take berbuah itu adalah pohon mangga yang hampir semua buahnya saya sedekahkan.

Setelah mendengar ucapan saya,sang teman menjadi terkejut,entah apa yang ada di benaknya.Apakah dia percaya,itu bukan urusan saya.Apakah dia berfikir macam-macam tentang says?,itu juga bukan masalah buat saya.Toh saya hanya berusaha menjelaskan apa yang terjadi dengan pohon mangga itu.Saya hanya ingin teman saya tahu,bahwa pohon mangga itu adalah pohon mangga yang disedekahkan.Dari kejadian ini saya berharap pada saya dan teman saya,semoga di kemudian hari kami tidak mudah mencap sesuatu atau seseorang hanya karena prasangka saja.Itu intinya.

Setelah Kejadian itu,saya agak sedikit berfikir,apa yang sebenarnya terjadi pada pohon mangga saya.Saya perhatikan dari atas sampai bawah,ada apa?.Tiba-tiba mata saya tertuju pada tumpukan genteng yang memenuhi bagian bawah batang pohon mangga.Dengan sigap saya pindahkan genteng-genteng tersebut ke tempat lain.Hampir sebagian tanah di sekitar pohon mangga itu sudah disemen,ditambah lagi genteng-genteng.Mungkin ini penyebab mangga itu tak mau berbuah.

Beberapa bulan kemudian,akhirnya musim buah manggapun tiba.Daun-daun yang menghijau diselingi bunga-bunga dengan bau harumnya yang khas memenuhi pohon mangga itu.Berbeda dengan keadaan sebelumnya.Dari kejadian itu saya jadi berfikir,mungkin saja pohon mangga tersebut stres dan tak tumbuh kembang seperti semestinya karena saya memperlakukannya dengan tidak baik.

Sejak saat itu saya memperlakukan pohon mangga itu dengan baik,agar ia memberikan yang terbaik juga untuk saya.Pohon mangga itu sungguh istimewa,pohon mangga ajaib yang mengajarkan pada saya dan teman saya tentang banyak hal,tentang pentingnya sedekah,tentang larangan berburuk sangka atau menghakimi orang lain tanpa jelas alasannya,tentang larangan berbuat sombong dan riya,juga tentang tabyyun atau konfirmasi.Dan yang terpenting adalah pelajaran tentang akhlak kita terhadap makhluk lain ciptaan Allah,termasuk terhadap binatang dan tumbuhan.

Selasa, 23 Januari 2018

Dua Guru Paling Berpengaruh Bagi Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela (32)

Mbah Raden Ardisela diketahui mempunyai dua guru yang paling berpengaruh dalam hidupnya.Yang pertama adalah Kiai Ardisela,guru masa mudanya,dan Mbah Muqoyim guru yang begitu akrab di usia dewasanya.Kedua tokoh itu benar-benar mempengaruhi kehidupan Mbah Raden Ardisela.
Kiai Ardisela yang ditemuinya saat Mbah Raden Ardisela masih terbilang muda dan sedang mencari jati diri,telah mengantarkannya pada pribadi yang tangguh.Gemblengan aneka ilmu yang diajarkan oleh Kiai Ardisela begitu membekas di hatinya.Ilmu agama dan ilmu kanuragan adalah dua ilmu yang intens dipelajari olehnya dari Kiai Ardisela gurunya tersebut.Berbagai ujian dijalani oleh Mbah Raden Ardisela,sehingga beliau menjadi pribadi yang tangguh dan gagah berani.Dawuan Sela menjadi tempat yang tidak bisa dipisahkan dari guru dan murid tersebut,karena di sanalah keduanya dipertemukan.

Di Dawuan Sela ini pula Mbah Raden Ardisela bertemu dengan Mbah Muqoyim gurunya tersebut.Mbah Muqoyim yang akrab dengan dunia keraton banyak mengajarkan aneka ilmu agama,politik atau siyasah,ketatanegaraan,dan lain sebagainya.Saat itu Mbah Muqoyim sudah keluar dari Keraton Kanoman dan mulai membuka pesantren Buntet,tak jauh dari Dawuan Sela,tempat Kiai Ardisela menggembleng para muridnya.

Ketika terjadi pertempuran di Pesawahan dan kemudian ada upaya pengejaran dan penangkapan terhadap Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim oleh penjajah,perpisahan antara Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela terjadi.Kiai Ardisela pergi ke arah Indramayu,dan Mbah Muqoyim memutuskan lari ke Pemalang,Jawa Tengah.Untuk mengecoh pihak penjajah,Mbah Muqoyim memutuskan tinggal sementara di Tuk Karangsuwung,tak jauh dari kediaman Mbah Raden Ardisela.

Kiai Ardisela tak kembali lagi ke Cirebon,karena ternyata beliau wafat terkena racun oleh utusan penjajah yang menyamar sebagai santrinya saat beliau berada di tempat pelariannya di Indramayu.Akhirnya Kiai Ardisela dimakamkan di desa di mana beliau terakhir kali tinggal,yaitu Desa Sleman,Kecamatan Sliyeg,Kabupaten Indramayu.

Mbah Muqoyim sendiri berhasil kembali pulang ke Cirebon.Saat Mbah Muqoyim kembali sekitar tahun 1809 .Mbah Raden Ardisela sudah bertugas sebagai demang Sindang Laut Dan tinggal di Tuk Karangsuwung.Mbah Muqoyimpun kembali membuka Pesantren Buntet yang sempat ditinggalkannya.Selain aktif kembali membuka pesantren,Mbah Muqoyim juga aktif mengisi pengajian di Tuk Karangsuwung,yang saat itu dikenal sebagai pusat Kademangan Sindanglaut.Karena banyak menghabiskan waktu di Tuk,akhirnya Mbah Muqoyim membuka pesantren di Tuk juga.

Di usia dewasanya,Mbah Raden Ardisela banyak bergaul dan belajar pada Mbah Muqoyim,sehingga beliau begitu terpengaruh oleh pemikiran Mbah Muqoyim,terutama dalam hal dakwah Islam.Hal inilah yang membuat Mbah Raden Ardisela begitu perduli pada pendidikan,terutama pendidikan Agama Islam.Saat itu beliau mendorong ulama-ulama di sekitar tempatnya tinggal untuk mendirikan pesantren dan membantunya sebisa mungkin.
Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim,benar-benar dua guru yang paling berpengaruh dalam hidup dan kehidupan Mbah Raden Ardisela.

Senin, 22 Januari 2018

Mbah Raden Ardisela,Penyokong Perjuangan dan Dakwah

Mbah Raden Ardisela (30)

Sebagai seorang pemimpin wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Kasepuhan Cirebon yang sangat kental dengan keislamannya,setiap pemimpin wilayah mulai kuwu (kades),demang (setingkat camat/wedana),dan pemimpin lainnya,banyak juga yang faham betul tentang ajaran Agama Islam.Hal ini pulalah yang terjadi pada Mbah Raden Ardisela,di mana beliau termasuk seorang pemimpin yang juga mumpuni dalam ilmu agama.

Semasa menjadi pemimpin wilayah,Mbah Raden Ardisela dikenal sebagai orang yang sangat perduli pada masyarakat yang dipimpinnya.Aneka bentuk perjuangan melawan penjajah dan kegiatan dakwah beliau sokong,baik secara materi maupun non materi.Lembaga pendidikan pesantren yang nota bene didirikan oleh keluarga,saudara,teman atau kerabat dekat lainnya beliau sokong dengan sepenuh hati.Tak aneh bila namanya sering kali dikaitkan dengan beberapa nama pesantren yang ada di wilayah yang dulu menjadi daerah yang dipimpinnya.

Sebagai seorang kepala sebuah wilayah kademanagan atau yang biasa disebut demang,Mbah Raden Ardisela tentu saja mempunyai penghasilan yang bisa dibilang lebih untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya.Kelebihan harta yang beliau miliki ini beliau sumbangkan untuk kepentingan perjuangan dan dakwah bagi para pejuang serta ulama Cirebon bagian timur khususnya,seperti Sindanglaut dan sekitarnya.Saat itu memang banyak demang yang perduli pada negeri dan menjadi penyokong gerakan perjuangan dalam melawan penjajah.

Keturunan Mbah Raden Ardisela di Masa Penjajahan,Antara Keraton dan Pesantren

Mbah Raden Ardisela (29)

Mbah Raden Ardisela yang mempunyai dua putri yang bernama Nyi Raden Aras dan Nyi Raden Aris,mempunyai cucu laki-laki dan perempuan.Karena dari jalur perempuan,maka para keturunannya sudah tak mau mencatatkan diri lagi ke bagian penulisan staat Keraton Kasepuhan.Bagi cucunya atau keturunanya yang laki-laki dan hendak mencatatkan silsilahnya di Keraton Kasepuhan,maka akan mengambil jalur ayahnya,yang tentu saja bukan ke Mbah Raden Ardisela.

Nyi Raden Aris yang menikah dengan sepupunya sendiri yang bernama Raden Rangga Nitipraja masih mencatatkan silsilah anak-anaknya ke Keraton Kasepuhan,karena Raden Rangga Nitipraja adalah anak dari kakak laki-lakinya yang bernama Raden Arungan,yang sama-sama putra dari Raden Demang Bratanata.Sementara Nyi Raden Aras yang menikah bukan dengan keluarga Keraton Kasepuhan tidak lagi membuat catatan silsilah dari pihak laki-laki atau staat turunan laki-laki di Keraton Kasepuhan.

Cucu Mbah Raden Ardisela diketahui banyak yang melanjutkan jejak leluhurnya,masih bekerja yang ada kaitannya dengan Kesultanan Kasepuhan.Keraton Kasepuhan memang tidak bisa lepas dari Mbah Raden Ardisela dan keturunannya,karena dari sinilah mereka semua berasal.Cucu Mbah Raden Ardisela ada juga yang melanjutkan jejaknya sebagai pemangku wilayah atau demang.Sementara cucu yang lainnya bertugas di bagian lain.

Di era cicit Mbah Raden Ardisela,tidak semua keturunannya mau bekerja yang ada kaitannya denga keraton.Tidak semua cicitnya juga yang mau mencatatkan diri ke keraton dan dibukukan dalam lembaran silsilah yang biasa disebut staat dengan alasan keamanan.Saat itu tak sedikit cicit Mbah Raden Ardisela yang menjadi incaran penjajah untuk dipenjarakan atau dibunuh.Hal ini terjadi karena banyak dari cicit Mbah Raden Ardisela yang sudah mulai terang-terangan melawan penjajah.

Selain kepada keraton,perhatian para keturunan Mbah Raden Ardisela terhadap pesantren juga tidak mengendur.Para anak,cucu dan keturunan Mbah Raden Ardisela ini tetap perduli pada pengembangan ajaran Islam.Bagi yang mampu dalam bidang agama,maka mereka akan terjun sebagai guru atau ulama di samping menekuni bidang pekerjaan lainnya.Bagi yang tidak terlalu pandai dalam bidang agama mereka biasanya perduli pada pengadaan sarana dan prasarana ibadah dan lembaga pendidikan.

Di Tuk Karangsuwung sendiri tercatat ada dua pesantren,yang pertama pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyim di era Mbah Raden Ardisela.Pesantren yang kedua adalah pesantren yang didirikan seorang ulama di era cucu Mbah Raden Ardiselaerhatian keturunan Mbah Raden Ardisela terhadap pesantren-pesantren tersebut sangat besar.Bahkan akhirnya tak sedikit dari keturunan Mbah Raden Ardisela yang berjodoh dengan putra dan putri para ulama dari pesantren-pesantren yang ada di Tuk Karangsuwung dan sekitarnya.

Di masa penjajahan,perhatian keturunan Mbah Raden Ardisela memang tak lepas dari keraton dan pesantren,dua lembaga yang terkadang berseberangan dalam berbagai ide dan pandangan.

Berziarah ke Makam Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela

Berziarah ke Makam Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela

Dahulu di era penjajahan Belanda hingga awal kemerdekaan Indonesia,para anggota keluarga atau keturunan kiai dari  Pesantren Buntet,Pemijen,Benda Kerep,Gedongan,dan beberapa pesantren lainnya tak hanya berziarah ke makam Mbah Raden Ardisela yang makamnya ada di Desa Tuk Karangsuwung Cirebon saja,namun juga suka berziarah ke makam Kiai Ardisela yang makamnya ada di Desa Sleman Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu.Mereka kadang berjalan kaki menuju kedua makam ulama sekaligus pejuang tersebut.

Kebiasaan berziarah ke makam Kiai Ardisela di Indramayu ini diungkapkan oleh Nyai Fatimah binti Kiai Ilyas Abdussalam Pesantren Buntet,yang pernah berziarah bersama suaminya yang bernama Kiai Masduki bin Kiai Bakri Kasepuhan Cirebon.Kiai Masduki tak lain adalah cucu Kiai Abdul Jamil dari putrinya yang bernama Nyai Mu'minah.Nyai Fatimah dan Kiai Masduki melakukan ziarah ke makam Kiai Ardisela tersebut ketika keduanya baru menikah.Kejadian tersebut berlangsung kurang lebih di tahun 1947 M.Keduanya berziarah dengan cara berjalan kaki dari Kasepuhan menuju Desa Sleman di Indramayu.Selain keduanya,masih banyak orang lain yang berziarah ke makam Kiai Ardisela,terutama orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan pesantren di Cirebon.

Sejalan dengan bergulirnya waktu,hanya berziarah ke makam Mbah Raden Ardisela saja yang masih dilakukan,hal ini karena makam Mbah Raden Ardisela yang berada di Cirebon mudah diakses dari manapun.Sementara itu kebiasaan berziarah ke makam Kiai Ardisela di Indramayu tidak berlanjut lagi.Para sesepuh yang dulu suka berziarah ke Indramayu tak lagi diikuti kebiasaanya oleh para keturunannya.Bahkan,sekarang ini tak sedikit yang menyangka jika makam yang ada di Indramayu hanyalah petilasan saja.

Seiring majunya zaman dan pembangunan yang terjadi di Indonesia,transportasipun semakin mudah.Namun kisah yang tidak tersampaikan dengan baik ke generasi berikutnya,adalah hal yang membuat para pemuda-pemudi keturunan para kiai pesantren dan juga para santri tak lagi melanjutkan kebiasaan berziarah ke makam Kiai Ardisela di Indramayu tersebut.Padahal,Kiai Ardisela yang makamnya di Indramayu ini adalah orang yang banyak melahirkan kiai-kiai dan pesantren-pesantren di Cirebon di era tahun 1780 an hingga awal tahun 1800 an M.

Pada akhirnya banyak orang yang menyangka jika Ardisela yang ada hubungannya dengan Mbah Muqoyim itu hanya satu orang saja.Orang-orang juga banyak yang tidak tahu akan keberadaan makam Kiai Ardisela di Indramayu tersebut.Kalaupun ada yang tahu,maka mereka menyangka jika makam Kiai Ardisela atau yang lebih dikenal dengan sebutan makam Kiai atau Buyut Ardhi Sela di Indramayu itu hanyalah petilasannya saja,dan makam Kiai Ardisela yang ada di Tuk adalah makam yang asli.Jelas ini keliru,karena sebenarnya ada dua orang dengan nama Ardisela,dan kedua makam tersebut benar berisi dengan dua orang Ardisela yang berbeda satu sama lainnya.

Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela adalah dua orang yang berbeda.Keduanya sama-sama berjasa dalam perjuangan dalam melawan Penajajah Belanda dan juga dalam Syiar Agama Islam.Bahkan,selain kedua nama Ardisela tersebut,masih ada beberapa nama Ardisela lainnya,karena nama Ardisela saat itu adalah nama kelompok dan dimiliki oleh banyak orang.

Upaya Penjajah Belanda Memecah Belah Pesantren dan Keraton

Upaya Belanda Memecah Belah Pesantren dan Keraton

Keraton sebagai pusat pemerintahan yang sudah dikecilkan perannya di tengah-tengah rakyat,masih juga ingin dikecilkan hingga tak bisa memberikan pengaruh sedikitpun kepada rakyat.Berbagai cara dilakukan oleh penjajah dalam upaya untuk mencapai tujuannya tersebut.Mengatur dan membatasi wewenang sultan dan keraton adalah salah satu hal yang dilakukan oleh penjajah.Aneka konflik pun diciptakan di dalam keraton.Peraturan-peraturan baru yang seringkali bertentangan dengan adat istiadat dan hukum yang berlaku di Keraton juga sengaja dibuat oleh penjajah.

Pesantren yang saat itu sebagian besar didirikan oleh keluarga keraton juga tak luput dari usaha pelemahan agar tak menjadi 'keraton' baru yang bisa mengancam keberadaan penjajah.Berbagai upaya dilakukan oleh mereka agar pesantren ditutup,terutama pesantren yang ulama atau pemimpinnya terang-terangan tidak memihak pada kepentingan penjajah.

Kekuatan keraton dan pesantren bila digabungkan menjadi satu memang akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat.Hal ini yang disadari oleh pihak penjajah,oleh karena itu penjajah selalu berusaha melemahkan kedua lembaga ini.Bahkan tak hanya berusaha dilemahkan,tapi juga harus dihancurkan secara cepat atau perlahan agar kekuasaan mereka semakin kuat dan langgeng.Pada akhirnya keraton dan pesantrenpun seringkali dibenturkan satu sama lain.

Mbah Raden Ardisela bersama para saudara dan teman-teman seperjuangannya menyadari hal itu.Berbagai cara agar kebersamaan antara keraton dan pesantrenpun dilakukan.Akhirnya Mbah Raden Ardisela bersama saudara dan teman-teman yang seide dan seperjuangan dengannya menjembatani kedua lembaga tersebut.Aneka berita atau informasi dari keraton yang terkait dengan perjuangan disampaikan kepada pihak pesantren,begitu juga sebaliknya.Semuanya tentu saja tidak dilakukan secara terang-terangan,namun dilakukan secara rahasia agar tidak diketahui oleh pihak penjajah dan antek-anteknya.

Perkawinan Raden Rangga Nitipraja dan Nyi Raden Aris

Perkawinan Raden Rangga Nitipraja dan Nyi Raden Aris

Tak diceritakan apa sebab pernikahan antara putri Mbah Raden Ardisela dan putra Mbah Raden Arungan kakaknya,apakah karena dijodohkan atau karena saling cinta yang menyebabkan pernikahan Nyi Raden Aris dan Raden Rangga itu terlaksana.Yang jelas kedua saudara sepupu itu akhirnya menikah.Sebelum menikahi putrinya,Mbah Raden Ardisela sempat menanyakan kesanggupan Raden Rangga Nitipraja untuk menghidupi dan melindungi Nyi Raden Aris.Mendengar kesanggupan keponakannya tersebut,akhirnya Mbah Raden Ardisela dan istrinya memutuskan untuk segera menikahkan mereka berdua.

Tanggal dan hari pernikahan telah diputuskan dan aneka persiapan untuk menyambut pernikahan tersebut segera dilaksanakan.Sanak saudara dari kedua belah pihak sudah sibuk menyambut pernikahan tersebut jauh-jauh hari.Para pengobeng (orang yang ikut membantu saat acara pernikahan) juga sudah terlihat menyiapkan aneka kue dan perlengkapan lainnya untuk pesta.Sanak saudara yang dari jauh sudah ada yang datang dan menginap di kediaman Mbah Raden Ardisela,atau di rumah kerabat dan sahabatnya.

Ketika hari pernikahan tiba,Tuk yang saat itu hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga menjadi ramai oleh para tamu yang datang.Iring-iringan pengantin laki-laki yang datang disertai keluarga dan sanak saudara datang dari arah barat.Mereka berombongan melalui jalan raya yang sekarang ini sudah menjadi jalan kereta api.Kuda,delman dan kereta kuda yang menjadi tranportasi umum saat itu akhirnya memenuhi pelataran rumah Mbah Raden Ardisela.

Mbah Raden Ardisela yang seorang pemimpin wilayah menjadikan tamu yang datang lumayan banyak.Tak hanya sanak keluarga dan kerabat serta tetangga dekat,masyarakat umum,para pemimpin dusun atau desa,para demang,ulama,hingga keluarga besar dari Keraton Kasepuhan,Kanoman,Kacirebonan dan Gebang juga turut diundang dan datang ke acara perkawinan ini.Dari kalangan pesantren hanya ada Pesantren Buntet dan Tuk yang saat itu sudah didirikan oleh Mbah Muqoyim dan Pesantren Pesawahan yang didirikan oleh Kiai Ismail.

Perkawinan Raden Rangga Nitipraja dan Nyi Raden Aris ini termasuk perkawinan yang meriah namun tidak mewah.Setelah perkawinan itu,Raden Rangga Nitipraja tinggal menetap di Tuk Karangsuwung bersama Mbah Raden Ardisela.Oleh Mbah Raden Ardisela,anak dan menantunya itu diberi sebidang tanah di timur langgar agung yang kemudian dibangun sebuah rumah di atasnya.

Kiai Ardisela (19)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (19)
Kaderisasi Ulama

Kiai Ardisela Buntet,Kiai Muqoyim,Kiai Ismail Pesantren Pesawahan yang masih terikat hubungan persaudaraan ini bahu membahu mempersiapkan pemimpin selanjutnya.Bersama para ulama lainnya,mereka semua tak kenal lelah untuk mempersiapkan generasi islami yang siap berjuang dan berjihad.Yang mereka persiapkan adalah demi untuk melanjutkan perjuangan mereka semua,terutama untuk meneruskan jejak mereka sebagai ulama.Untuk kalangan pemimpin atau umaro,ketiganya juga tak lupa mempersiapkannya,hal ini mereka lakukan mengingat pemimpin yang baik akan membuat wilayah yang dipimpinnya juga baik.

Kiai Mas Khanafi Jaha dan Kiai Muhamad Imam,adalah dua orang yang di kemudian hari menjadi ulama sebagai penerus dalam bidang dakwah.Sementara dalam kepemimpinan ada nama Mbah Ardisela yang menjadi demang Sindang Laut dan juga ada seorang putra Sultan Kanoman yang di kemudian hari menjadi Sultan Kacirebonan pertama.

Kaderisasi ulama ini dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi.Kiai Ardisela yang dikenal sebagai ulama tasawuf akhirnya banyak melahirkan pesantren-pesantren traditional yang dikenal sebagai pesantrennya kaum sufi,yang jauh dari hingar bingar dunia luar.Kiai Mas Khanafi yang tak lain adalah menantu Kiai Ardisela Buntet dikenal sebagai pendiri Pesantren Jaha Sampiran,Talun Cirebon,yang beberapa dekade dikenal sebagai pesantren tradisional.Selanjutnya menantu Kiai Mas Khanafi yang bernama Kiai Takrifudin mendirikan Pesantren Pemijen Asem Sampih,Sindang Laut Cirebon.Menantu Kiai Takrifudin yang bernama Mbah Soleh bin Mbah Mutaad mendirikan Pesantren Benda Kerep.Anak cucu Kiai Takrifudin juga selanjutnya mendirikan Pesantren Dongkol dan Cikalapa.Hingga awal kemerdekaan dan bahkan setelahnya,pesantren-pesantren tersebut tetap dikenal sebagai pesantren tradisional yang hanya menyelenggarakan pengajian saja,tanpa mengadakan pendidikan umum seperti sekolah atau kursus.

Pesantren yang didirikan oleh Kiai Ismail dan Mbah Muqoyim di kemudian hari dikenal sebagai pesantren yang mengajarkan aneka ilmu agama dan umum.Di tangan anak cucu dan keturunannya,pesantren-pesantren tersebut akhirnya mendirikan sekolah-sekolah dan menjadikannya pesantren yang cukup modern.

Kaderisasi ulama terus berlangsung di masa Kiai Arisela dan Mbah Muqoyim hidup.Bahkan setelah lamanya kepergian mereka dan para sahabat lainnya,kaderisasi itu masih terus berlangsung.Hingga saat ini pesantren-pesantren tersebut masih berdiri dan mengajarkan aneka ilmu pengetahuan.Tak sedikit pula ulama yang lahir dari pesantren-pesantren tersebut yang akhirnya ikut mendirikan Pesantren,baik yang berada di Cirebon maupun luar Cirebon.

Persahabatan Antara Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi

Persahabatan Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi

Persahabatan antara Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi alias Buyut Jaha terjalin begitu erat.Hal ini dikarenakan usia keduanya tidak terlalu jauh,ditambah lagi saat itu Kiai Mas Khanafi memang banyak menghabiskan waktunya di kawasan Sindanglaut dan sekitarnya, seperti Dongkol-Leuwidingding,Pemijen-Asem,Cipeujeuh-Sindanglaut,dan Lemahabang.Beberapa tempat yang sering disinggahinya tersebut berdekatan dengan kediaman Mbah Raden Ardisela di Tuk Karangsuwung.

Mbah Raden Ardisela yang berperan sebagai seorang pemimpin wilayah Sindanglaut dan sekitarnya,pada saat itu memang membutuhkan ulama atau guru agama yang bertugas untuk mendidik masyarakat yang dipimpinnya.Setelah Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim tidak ada,peran ini dilanjutkan oleh Kiai Mas Khanafi.Beliau yang berperan sebagai seorang guru agama pada  akhirnya mendapatkan kepercayaan untuk melanjutkan kiprah Kiai Ardisela mertuanya dan Mbah Muqoyim paman iparnya tersebut.Hal ini tentu saja tidak dilakukan oleh Kiai Mas Khanafi seorang diri,namun dilakukan bersama ulama atau guru agama lainnya.

Persahabatan Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi itu berlangsung lama.Walau tempat tinggal keduanya berjauhan,namun persahabatan tersebut berlanjut hingga keduanya meninggal dunia.Bahkan setelah keduanya telah tiadapun,anak-anak keduanya pada akhirnya juga turut serta  melanjutkan persahabatan keduanya tersebut.

Salah satu anak Mbah Raden Ardisela dan Kiai Mas Khanafi yang turut melanjutkan persahabatan keduanya adalah Nyi Raden Aris binti Mbah Raden Ardisela yang menikah dengan Raden Rangga Nitipraja dan Nyai Latifah binti Kiai Mas Khanafi yang menikah dengan Kiai Takrifudin pendiri Pesantren Pemijen-Asem.Salah satu bukti persahabatan keduanya adalah dengan adanya perjodohan dan pernikahan putra Nyi Raden Aris dan Raden Rangga Nitipraja yang bernama Raden Raksa dan putri Nyi Latifah dan Kiai Takrifudin yang bernama Nyai Sofroh (Nyai Masufroh/Mas Supra).

Persaudaraan dan Perkawinan Demi Perjuangan

Persaudaraan dan Perkawinan Demi Perjuangan

Selain Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela,dan Mbah Raden Ardisela,sebenarnya banyak sekali ulama-ulama dan para bangsawan lain yang ikut bergabung dalam perjuangan di masa penjajahan tersebut.Yang mereka lakukan adalah demi melanjutkan perjuangan dalam syiar Islam dan juga perlawanan terhadap penjajah Belanda dan penjajah-penjajah lainnya.

Persaudaraan dan perkawinan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam perjuangan mereka semua.Mbah Muqoyim dan adik-adiknya,dan juga para saudaranya bahu membahu dalam berjuang.Kiai Ardisela yang tak lain adalah adik iparnya juga turut berandil besar dalam perjuangan itu.

Di kemudian hari,anak cucu Mbah Muqoyim,Kiai Ardsela dan Mbah Raden Ardisela juga turut serta dalam perjuangan.Salah satu cara untuk melanjutkan perjuangan mereka adalah dengan cara perkawinan antar keturunan ketiganya.Perkawinan antara saudara dekat adalah sebagai perekat dalam perjuangan demi melanjutkan cita-cita dan perjuangan para leluhur.Di kemudian hari antara Keturunan Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela, dan Mbah Raden Ardisela pun banyak yang saling menikah.

Keturunan Mbah Muqoyim,Kiai Ardisela dan Mbah Raden Ardisela hingga saat ini tersebar di banyak daerah,baik di dalam maupun luar pesantren,tak hanya di Cirebon dan sekitarnya,tapi hingga keluar pulau Jawa,bahkan hingga mancanegara.Memang tidak semuanya berkecimpung dalam dunia pesantren,tapi sebagian besar tetap masih perduli pada perkembangan ajaran Islam.

Ikatan persaudaraan dan perkawinan memang menjadi cara yang tepat dalam melanjutkan perjuangan para leluhur tersebut.Dari ikatan persaudaraan dan perkawinan tersebut mereka semua saling bantu dalam syiar Islam.Hingga kini,hingga seabad lebih sejak kepergian ketiganya,kebiasaan menikah antar saudara dekat  tersebut masih berlaku,terutama di kalangan keluarga yang tinggal di pesantren-pesantren.

Makan-Makam Keturunan Pangeran Alas

Makam Pangeran Alas dan Keturunannya
1. Makam Pangeran Alas,Desa Luwung Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon
2. Pangeran Sutangkara,Raden Demang Bratanata dan Keturunannya,Desa Sepat Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Majalengka
3.Makam Raden Ardisela bin Demang Bratanata dan keturunannya,Desa Tuk Karangsuwung Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon
4.Makam Raden Arungan Bin Demang Bratanata,di pemakaman Amparan Jati Gebang Udik,Kecamatan Gebang,Kabupaten Cirebon

Minggu, 21 Januari 2018

Mbah Raden Ardisela,Antara Karangsuwung,Sindanglaut dan Tuk Karangsuwung

Mbah Raden Ardisela,Antara Karangsuwung ,Sindanglaut dan Tuk Karangsuwung

Karangsuwung adalah pedukuhan baru yang dibuka oleh Mbah Raden Ardisela setelah beliau belajar aneka ilmu di Dawuan Sela dan pergi ke Gunung Ciremai untuk beruzlah atau mengasingkan diri.Lambat laun semakin banyak orang yang datang ke Karangsuwung,dan Karangsuwungpun akhirnya menjadi semakin ramai.Tempat yang semula angker itu sudah tidak menakutkan lagi.

Suatu saat di daerah Sindanglaut ada gerombolan orang yang suka mengacau dan mengganggu masyarakat.Pihak Keraton Kasepuhan yang mendengar kejadian itu akhirnya berusaha menangkap mereka.Namun ternyata tidak mudah untuk meringkus para penjahat itu,maka pihak Keraton pun memberikan pengumuman,barang siapa yang bisa menumpas para penjahat itu maka akan diberikan tanah yang nanti akan dibebaskan pajaknya.

Mengetahui bila di Sindanglaut ada orang-orang yang suka mengganggu masyarakat,maka Mbah Raden Ardisela mencoba mendatangi mereka untuk memberi peringatan.Namun bukannya didengar,mereka justru menantang Mbah Raden Ardisela.Pertarunganpun terjadi.Walau jumlah mereka banyak,namun Mbah Raden Ardisela berhasil mengalahkan mereka semua dan membuat mereka sadar dan berjanji tak akan mengulangi perbuatan mereka kembali.

Sesuai janji,pihak Keraton Kasepuhanpun akhirnya memberikan sebidang tanah di sebuah wilayah yang sekarang ini letaknya berada di Tuk Karangsuwung dan tanah itu dibebaskan dari pajak.Dulu tanah Tuk yang diberikan kepada Mbah Raden Ardisela itu termasuk wilayah Sindanglaut,tapi karena beliau saat itu sedang memimpin Karangsuwung,maka tanah Tukpun akhirnya dimasukkan menjadi  bagian dari Karangsuwung.

Karena tahu jika yang mengatasi para pembuat onar di kalangan  masyarakat adalah seorang putra keturunan keraton,maka Keraton Kasepuhanpun akhirnya memberikan kepercayaan tambahan.Sultan Kasepuhan mempercayakan daerah Sindanglaut pada Mbah Raden Ardisela untuk dipimpin olehnya.Dari sini Mbah Raden Ardisela semakin dikenal oleh berbagai kalangan di Cirebon dan sekitarnya.

Karena kesibukannya lebih banyak di Sindanglaut,maka Mbah Raden Ardiselapun akhirnya memutuskan untuk pindah ke Sindanglaut.Beliaupun memutuskan untuk membangun rumah di Tuk,tepatnya di Blok Muara Bengkeng yang sekarang ini menjadi tempat pemakamannya.Sebelum diberi nama Tuk,orang-orang biasa menyebutnya dengan sebutan Karang Panas yang berarti tempat yang panas.Selain nama Karang Panas,nama lain dari Tuk saat itu adalah Sida Parta.Namun setelah Mbah Raden Ardisela membuat sebuah sumber air,lambat laun tempat tinggalnya itu diberi nama Tuk,yang berarti sumber mata air yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan sumber mata air Muara Bengkeng.

Karangsuwung,Sindanglaut dan Tuk Karangsuwung adalah tempat yang tak bisa dipisahkan dari Mbah Raden Ardisela,karena ketiganya mempunyai kisah yang menyimpan jejak perjuangan Mbah Raden Ardisela,selain Dawuan Sela,Buntet,dan Pesawahan (Cirebon),dan sekitar Gunung Ciremai (Kuningan),serta Indramayu.

Tiga Serangkai Pertama

Mbah Raden Ardisela (13)

(Persahabatan Antara Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela)

Tiga serangkai,mungkin itulah julukan yang pantas disematkan kepada tiga pejuang yang terdiri dari Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela.Ketiga orang ini begitu gigih dalam melawan penjajah dan juga dalam Syiar agama Islam.Bersama ulama,kaum bangsawan,dan juga masyarakat umum lainnya,ketiganya telah berhasil membuat penjajah Belanda menjadi tak tenang dibuatnya.

Kiai Ardisela yang terkenal ahli dalam ilmu kanuragan sekaligus sebagai seorang ulama yang juga sufi.Mbah Muqoyim yang semula sebagai mufti dan ulama di Keraton Kanoman yang akhirnya melepaskan jabatannya dan lebih memilih hidup bersama masyarakat umum.Dan yang terakhir adalah Mbah Raden Ardisela yang merupakan murid keduanya,yang di kemudian hari menjadi seorang pemimpin atau pemangku wilayah (demang) yang gagah berani,dan ahli tata negara dan siasat (politik) yang begitu perduli pada masyarakat.Ketiganya bahu-membahu dalam mendirikan pesantren,dan tak henti mendidik santri dan mengajak masyarakat umum agar mau membela negerinya yang tengah dijajah.Pesantren Buntet adalah saksi bisu akan kebersamaan ketiganya,yang hingga kini masih bisa dijumpai keberadaannya dan masih bisa dirasakan manfaatnya bagi banyak orang.Dari pesantren inilah yang di kemudian hari lahir pesantren-pesantren baru,baik yang berada di Cirebon atau di luar Cirebon.Dari tangan Tiga Serangkai Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim,dan Mbah Raden Ardisela inilah ribuan santri akhirnya lahir dan turut melanjutkan kiprah ketiganya dalam berjuang.

Banyak misteri yang melingkupi kisah ketiganya,terutama berkaitan dengan nama dua Ardisela yang ada bersama Mbah Muqoyim.Banyak sekali orang yang menyangka jika nama Ardisela adalah untuk satu orang,padahal bukan.Sebenarnya beberapa orang dengan nama Ardisela yang selalu berjuang bersama-sama Mbah Muqoyim.

Dulu,kisah Tiga Serangkai ini sangat rahasia.Di era penjajahan,kiprah ketiganya hanya disampaikan dari mulut ke mulut saja,baik itu yang disampaikan oleh anak keturunannya,para santri atau masyarakat lainnya yang perduli akan perjuangan mereka.Seiring perjalanan waktu dan berakhirnya masa penjajahan,maka cerita perjuangan ketiganya mulai disampaikan secara terbuka.Kini kisah  perjuangan ketiganya dapat dengan mudah ditemui,baik itu melalui cerita lisan,atau juga melalui tulisan,seperti dari buku atau media lainnya.

Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim dan Mbah Raden Ardisela adalah generasi pertama dari Tiga Serangkai.Di kemudian hari tiga serangkai ini dilanjutkan oleh anak,menantu atau cucu dan cicit ketiganya.Bersama masyarakat Cirebon dan sekitarnya,mereka semua bahu membahu demi kebaikan bersama.

Mbah Raden Ardisela,Sang Penglima Perang

Mbah Raden Ardisela (9)

Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela semakin tua,namun kiprah keduanya tidak berhenti.Bukannya malah meredup kiprahnya,justru semakin tua semakin banyak hal yang bisa keduanya lakukan.Pesantren tetap menjadi basis utama bagi keduanya untuk menggembleng para santri yang siap terjun ke dalam masyarakat.

Ketika terjadi perang besar yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Santri atau Perang Kedondong sekitar tahun 1806 hingga 1811 M,keduanya memang sudah tidak terlalu banyak berhadapan secara langsung dengan penjajah,mengingat usianya yang semakin tua.Saat Perang kedondong,usia keduanya diperkirakan sudah di atas 60 tahun lebih.Tapi bukan berarti peran keduanya kecil,karena dari tangan keduanya lah banyak pejuang yang terlahir dan siap mempertaruhkan jiwa raga mereka demi bangsa dan negara.Di antara murid keduanya adalah Raden Rustam atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Ardisela,Kiai Mas Khanafi Jaha,dan lain lain.

Gerak dan langkah Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim memang sejalan dengan apa yang menjadi tujuan Raden Ardisela dan para anggota keluarga dan keturunan keraton lainnya yang membenci penjajah.Saat itu Mbah Raden Ardisela pulalah yang menjadi penghubung antara keturunan keraton,pesantren dan masyarakat umum untuk sama-sama berjuang.

Saat berperang,Mbah Raden Ardisela yang termasuk tokoh pemuda maju di garis depan sebagai panglima perang,bersama tokoh-tokoh lainnya baik itu dari kalangan bangsawan keraton,kalangan santri dan ulama,juga kalangan masyarakat umum yang terdiri dari petani,nelayan,pekerja,pedagang,dan lain sebagainya.Selain sebagai panglima perang,Mbah Raden Ardisela banyak juga melatih para pemuda agar berani maju ke medan perang untuk membela bangsa.Salah satu pemuda yang menjadi murid kebanggaannya adalah keponakan sekaligus menantunya sendiri yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Raden Rangga Nitipraja.

Wafatnya Mbah Raden Ardisela

Mbah Raden Ardisela (35)

Di pintu tengah yang merupakan pintu asli sebelum makam Mbah Raden Ardisela dipugar terdapat sebuah tulisan tahun dalam huruf dan angka Arab. Di pintu berukir itu tertulis angka tahun 1241  dan di sampingnya ada tulisan angka 3413.Tak terlalu jelas apa maksud dari tulisan itu,ada yang berpendapat jika tulisan tersebut menjelaskan tentang tanggal wafatnya Mbah Raden Ardisela,namun ada juga yang berpendapat jika tulisan tersebut adalah mengenai saat digantinya pintu.Apakah pintu itu pintu bekas rumah Mbah Raden Ardisela atau memang pintu makam,juga belum bisa dipastikan.Hal ini dikarenakan dulu di area ini adalah bekas rumah dan halaman milik Mbah Raden Ardisela,sementara makam Mbah Raden Ardisela ini dulunya sangat sederhana sekali,bukan berbentuk bangunan seperti sekarang ini.

Tak jelas kapan Mbah Raden Ardisela wafat,karena tak ada catatan pasti mengenai tanggal wafatnya.Ada yang memperkirakan jika beliau wafat sekitar tahun 1837 M.Beliau wafat di usia yang tidak terlalu tua,sekitar 60 hingga usia 70 an tahun lebih.

Saat Mbah Raden Ardisela wafat,belia sudah tidak lagi menjabat sebagai demang karena jabatan tersebut telah beliau serahkan kepada keponakan sekaligus menantunya yang bernama Raden Rangga Nitipraja.Di usia senjanya beliau lebih banyak habiskan waktunya untuk Syiar agama Islam dan berjuang bersama-sama mayarakat lainnya.Hal ini tidak terlepas dari pengaruh beberapa ulama yang merupakan guru,saudara atau temannya,di antaranya adalah pengaruh dari Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela.

Agar nama aslinya tidak diketahui pihak penjajah,maka ketika beliau wafat semua anak menantu,saudara dan kerabatnya tetap merahasiakan nama sebenarnya dan hanya menyebutnya Ardisela.Hal ini tentu saja untuk melindungi anak keturunan Mbah Raden Ardisela dari penjajah.Tempatnyapun sangat dirahasiakan,berada di halaman rumahnya sendiri.

Wafatnya Mbah Raden Ardisela ini adalah kesedihan dan kehilangan besar bagi keluarga dan juga orang-orang yang mencintainya.Para saudara,penduduk yang dulu pernah dipimpin olehnya,teman,sahabat,kerabat,rekan sejawat,dan juga teman seperjuangannya banyak yang bersedih dan merasa kehilangan atas kepergian beliau yang dikenal sebagai seorang pemimpin,ulama dan pahlawan yang gigih dalam berjuang tersebut.

Tidak dijelaskan mengapa Mbah Raden Ardisela tidak dimakamkan di pemakaman yang berada di Tuk Lor di mana Mbah Muqoyim yang tak lain sebagai guru sekaligus sahabatnya itu dimakamkan.Beliau justru dimakamkan di pemakaman khusus yang terletak di barat masjid,yang dulunya merupakan bekas rumah atau keratonnya sendiri.Ada beberapa pendapat jika Mbah Raden Ardisela ingin dimakamkan di pemakaman khusus antara lain karena beliau ingin bisa berkumpul dengan anak keturunannya,kerabat dan orang-orang kepercayaannya dalam satu area pemakaman.Pendapat kedua mengatakan beliau dimakamkan di makam khusus tersebut karena keberadaannya sangat dirahasiakan,karena sedikit banyak rahasianya sudah diketahui oleh pihak penjajah.

Pemakaman Mbah Raden Ardisela ini semula adalah halaman rumah atau keratonnya.Dulu di pemakaman baru ini hanya khusus untuk Mbah Raden Ardisela sendiri.Tapi karena ada pengikut setia dan anggota keluarga besarnya yang ingin dimakamkan di dekat beliau,maka akhirnya makam di sini bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun.Semula makam Mbah Raden Ardisela juga tidak seperti sekarang ini,bangunannya terbilang sederhana.Beberapa kali makam beliau mengalami perbaikan yang dilakukan oleh keturunan dan orang-orang lain yang ingin membangun makamnya menjadi lebih baik lagi,semua sebagai bentuk penghormatan sekaligus agar bisa memberikan rasa nyaman bagi para peziarah.

Sebelum dikenal dengan nama Pemakaman Mbah Raden Ardisela,orang-orang biasa menyebut nama pemakaman ini dengan nama Sida Parta.Ada beberapa arti dari kata Sida Parta ini,ada yang mengatakan bila Sida di sini diartikan kaum bangsawan,karena di Tuk ini dulunya memang terdapat Keraton Mbah Raden Ardisela dan juga Keraton Raden Rangga Nitipraja.Tapi ada juga yang mengatakan bila Sida di sini berarti jadi dalam Bahasa Cirebon,berarti mati atau wafat yang diambil dari Bahasa Jawa,yaitu sedo.Bisa jadi semuanya benar.Sida Parta,karena Mbah Raden Ardisela adalah ksatria yang meninggal sebagai pahlawan.

Minggu, 14 Januari 2018

Makam Penyamunan

Makam Penyamunan

Pemakaman penyamunan adalah pemakaman yang cukup banyak didatangi orang dari berbagai penjuru daerah.Di pemakaman ini ada dua makam tokoh yang sering didatangi oleh banyak peziarah,yaitu makam Syeh Datuk Khafid dan Makam Mbah Buyut Maijah.Keduanya dikenal sebagai ulama yang menyebarkan ajaran Islam di kawasan Sedong dan sekitarnya.Makam para tokoh tersebut berada di sebuah bangunan yang cukup luas dan nyaman bagi para peziarah.

Fasilitas yang tersedia di makam ini lumayan baik dan memadai,ada wc,mushola,tempat parkir,dan beberapa sarana pendukung lainnya.Suasana pemakaman yang terdiri dari beberapa puluh makam ini juga lumayan nyaman dan asri.Dengan pepohonan yang rindang,para peziarah bisa lebih nyaman berziarah.

Lokasi Pemakaman Syekh Datuk Khafid dan Mbah buyut Maijah yang lebih dikenal dengan nama Pemakaman Keramat Penyamunan berada di blok Penyamunan,Desa Putat Kecamatan Seeing,Cirebon.Untuk yang berasal dari Kota Cirebon,lokasi pemakaman ini bisa ditempuh dengan naik kendaraan lewat Beber atau Sindang Laut.Bila naik kendaraan umum,dari Sindang Laut naik saja angkutan kota jurusan Sedong.Turun di Desa Putat,Para peziarah bisa naik ojek atau jalan kaki menuju makam keramat Penyamunan.

Sabtu, 13 Januari 2018

Kiai Ardisela (18)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (18)

Ulama Tasawuf yang 'Menjauhi Dunia'

Beberapa sumber lisan menyebutkan jika Kiai Ardisela adalah seorang guru tarekat dan pernah juga menjadi guru ilmu agama di Keraton Kasepuhan.Ketika pemikirannya tidak sejalan dengan pihak keraton yang sudah dicampuri oleh pihak penjajah,beliau akhirnya mengundurkan diri dan lebih memilih untuk mengajar di luar keraton.Di luar keraton beliau lebih bisa bebas menuangkan pemikiran-pemikirannya tanpa dibatasi oleh campur tangan penjajah.Ketika mengajar di dalam keraton,otomatis murid-muridnya hanya kalangan tertentu saja.Ketika di luar keraton murid-muridnya datang dari beragam kalangan.

Walau masih diharapkan keberadaannya di Keraton Kasepuhan,namun Kiai Ardisela menolaknya.Beliau tetap kukuh pada pendiriannya untuk menjauh dari keraton.Saat itu keraton memang masih menjadi magnet bagi para ulama,karena keraton  masih begitu berpengaruh di kalangan masyarakat umum,terutama karena kaitannya sebagai peninggalan Sunan Gunung Jati.
Di dalam maupun di luar keraton,Kiai Ardisela tetap dikenal sebagai ulama 'tasawuf' yang menjauhi 'dunia'.Hal ini yang membuatnya tak segan meninggalkan kedudukannya sebagai ulama keraton dan lebih memilih menjadi ulama 'kampung'.Padahal saat itu kiai yang menjadi ulama keraton sangat disegani dan keberadaanya sangat dihormati oleh masyarakat.

Sikapnya sebagai ulama tasawuf yang menjauhi kehidupan dunia ini banyak diikuti oleh banyak orang,termasuk juga diikuti oleh anak cucu,mantu atau kerabat dekat lainnya.Pesantren-pesantren di Cirebon yang masih ada kaitan dengan Kiai Ardisela ini banyak yang mengadopsi pendidikan ala Kiai Ardisela,yaitu pendidikan yang mengamalkan pendidikan tasawuf yang terkesan menjauhi dunia dan mempertahankan ciri khas tradisional dan anti bekerjasama dengan penjajah.Bahkan hingga di tahun 2010,pesantren-pesantren tersebut masih tetap mempertahankan 'ketradisionalnnya'.Sebut saja Pesantren Jaha Sampiran (didirikan oleh menantu Kiai Ardisela yang bernama Kiai Mas Khanafi/Buyut Jaha,yang menikah dengan putrinya yang bernama Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela),Pesantren Pemijen Asem/Sampih (didirikan oleh cucu mantu Kiai Ardisela yang menikah dengan cucunya yang bernama Nyai Latifah binti Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela),Pesantren Benda Kerep (didirikan oleh Mbah Soleh bin Mbah Mutaad,yang menikah dengan putri Kiai Takrifudin yang bernama Nyai Sarah binti Nyai Latifah binti Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela).Pesantren yang lainnya yang masih ada kaitannya dengan Kiai Ardisela adalah Pesantren Dongkol dan Pesantren Cikalapa Cipeujeuh,dua pesantren yang didirikan oleh keluarga besar Kiai Ardisela dari Pesantren Pemijen.

Sementara itu jejak Kiai Ardisela sebagai ulama keraton ini di kemudian hari juga diteruskan oleh anak cucunya.Kiai Anwarudin bin Kiai Jaelan bin Kiai Muhamad Imam bin Kiai Ardisela atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Krian,adalah cicit Kiai Ardisela yang di kemudian hari dikenal sebagai ulama Keraton Kasepuhan.Walau sebagai ulama Keraton Kasepuhan,Kiai Krian tetap tak mau tunduk pada penjajah.

Di tahun 1990 hingga tahun 2012,salah satu keturunan Kiai Ardisela yang kebetulan termasuk keturunan Mbah Muqoyim juga pernah ada yang menjadi ulama Keraton Kasepuhan atau yang lebih dikenal dengan sebutan penghulu keraton,yaitu K.H. Djunaedi Kalyubi,keturunan Kiai Ardisela yang termasuk generasi ke 7 dari jalur anak perempuannya yang bernama Nyai Khafiun binti Kiai Ardisela.Kalau dirunut silsilahnya adalah K.H. Djunaedi bin K.R Kalyubi bin K.R Abdullah Raksa bin Nyai Sofroh/Masufroh (istri Raden Raksa) binti Nyai Latifah (istri Mbah Takrifudin pendiri Pesantren Pemijen) binti Nyai Khafiun (istri Buyut Jaha/Kiai Mas Khanafi) binti Kiai Ardisela.

Kiai Ardisela memang dikenal sebagai ulama tasawuf yang menjauhi dunia.Beliau lebih senang menjadi ulama di perkampungan yang sederhana namun bebas berdakwah,daripada menjadi ulama keraton yang geraknya dalam berdakwah dibatasi atau dicampurtangani oleh penjajah,yang menjadikan gerakan dakwahnya tak lagi murni sesuai hati nurani.

Jumat, 12 Januari 2018

Kiai Ardisela (17)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (17)

Kiai Ardisela Dan Mbah Muqoyim Meninggalkan Cirebon

Karena merasa masih menjadi incaran penjajah,maka keduanya memutuskan untuk pergi meninggalkan Cirebon.Usia keduanya saat itu sudah tidak muda lagi.Kiai Ardisela Dan Mbah Muqoyim saat itu diperkirakan sudah berusia sekitar 50 hingga 60 tahun.Usia yang sudah tidak terlalu muda lagi untuk keduanya,namun semangat keduanya untuk berjuang begitu gigih.

Hari yang telah ditentukanpun akhirnya tiba.Kiai Ardisela bersama istrinya memutuskan untuk pergi le arah Indramayu,karena di kota ini juga banyak saudaranya,terutama saudara dari Nyai Alfan yang diketahui berasal dari Indramayu.Untuk mengecoh Belanda,Kiai Ardisela pergi terlebih dahulu,sementara Mbah Muqoyim tinggal sementara di Tuk Karangsuwung bersama Mbah Raden Ardisela.

Kiai Ardisela akhirnya sampai di kawasan Sleman Sliyeg.Indramayu.Beliau memutuskan untuk tinggal dan kembali lagi membuka pesantren seperti saat beliau tinggal di Cirebon.Langkah pertama yang dilakukannya adalah membuat mushola atau langgar,di mana mushola itu bisa digunakan untuk mengajar para santrinya.Ketika dibuka,para santri kembali berdatangan untuk mengaji dan berguru padanya.

Kiai Ardisela memang seorang ulama tulen,sehingga beliau selalu terpanggil untuk mengajarkan aneka ilmu agama kepada masyarakat di sekitarnya,baik muda maupun tua.

Kiai Ardisela (16)

Kiai Ardisela,Guru Para 'Laskar Ardisela' (16)

Perang Santri Pesawahan

Pesantren Pesawahan dengan tiga ulama yaitu Kiai Ismail,Kiai Ardisela,dan Mbah Muqoyim,membuat pesantren ini semakin maju dan ramai.Ketiga ulama yang disegani itu membuat pesantren Pesawahan banyak didatangi para santri untuk  belajar.Semakin hari,pesantren semakin berkembang pesat.

Suatu saat Pesantren Pesawahan hendak mengadakan sebuah acara syukuran.Undanganpun disebar,termasuk untuk penduduk sekitar dan para wali santri.Tamu-tamu Dan masyarakat sekitar  banyak yang hadir menghadiri aacar tersebut.Acara berlangsung ramai.Para undangan disuguhi aneka atraksi,baik oleh para santri maupun oleh para kiai.Di tengah atraksi,tiba-tiba datang serdadu yang mengepung tempat acara.Orang-orang berlarian.Untunglah Kiai Ismail,Kiai Ardisela,Mbah Muqoyim,para sesepuh dan alumni santri sudah siap menghadapi itu semua.Rupanya mereka sudah belajar dari penyerbuan pesantren terdahulu,saat Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim masih tinggal di kawasan Dawuan Sela dan Buntet.

Para ulama,santri,dan masyarakatpun sigap menghadapi serbuan serdadu penjajah.Merekapun bahu membahu untuk mengalahkan  para serdadu penjajah tersebut.Dengan kerjasama Dan dipimpin oleh kiai-kiai yang sakti mandraguna,akhirnya para serdadu tersebut berhasil dikalahkan.Mereka lari kocar-kacir meninggalkan Pesantren Pesawahan.Bahkan,di antara mereka banyak yang mati.Makam para serdadu yang tewas tersebut pada akhirnya lebih dikenal dengan nama makam Belanda.

Semenjak kejadian itu,Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyimpun berniat pergi meninggalkan Cirebon.Kiai Ardisela memutuskan pergi ke arah Indramayu,sementara Kiai Muqoyim berniat pergi ke arah Jawa bagian tengah.Kejadian ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1798 M,yang di kemudian hari sering disebut dengan perang Santri Pesawahan.