Minggu, 21 Januari 2018

Mbah Raden Ardisela,Sang Penglima Perang

Mbah Raden Ardisela (9)

Mbah Muqoyim dan Kiai Ardisela semakin tua,namun kiprah keduanya tidak berhenti.Bukannya malah meredup kiprahnya,justru semakin tua semakin banyak hal yang bisa keduanya lakukan.Pesantren tetap menjadi basis utama bagi keduanya untuk menggembleng para santri yang siap terjun ke dalam masyarakat.

Ketika terjadi perang besar yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Santri atau Perang Kedondong sekitar tahun 1806 hingga 1811 M,keduanya memang sudah tidak terlalu banyak berhadapan secara langsung dengan penjajah,mengingat usianya yang semakin tua.Saat Perang kedondong,usia keduanya diperkirakan sudah di atas 60 tahun lebih.Tapi bukan berarti peran keduanya kecil,karena dari tangan keduanya lah banyak pejuang yang terlahir dan siap mempertaruhkan jiwa raga mereka demi bangsa dan negara.Di antara murid keduanya adalah Raden Rustam atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Ardisela,Kiai Mas Khanafi Jaha,dan lain lain.

Gerak dan langkah Kiai Ardisela dan Mbah Muqoyim memang sejalan dengan apa yang menjadi tujuan Raden Ardisela dan para anggota keluarga dan keturunan keraton lainnya yang membenci penjajah.Saat itu Mbah Raden Ardisela pulalah yang menjadi penghubung antara keturunan keraton,pesantren dan masyarakat umum untuk sama-sama berjuang.

Saat berperang,Mbah Raden Ardisela yang termasuk tokoh pemuda maju di garis depan sebagai panglima perang,bersama tokoh-tokoh lainnya baik itu dari kalangan bangsawan keraton,kalangan santri dan ulama,juga kalangan masyarakat umum yang terdiri dari petani,nelayan,pekerja,pedagang,dan lain sebagainya.Selain sebagai panglima perang,Mbah Raden Ardisela banyak juga melatih para pemuda agar berani maju ke medan perang untuk membela bangsa.Salah satu pemuda yang menjadi murid kebanggaannya adalah keponakan sekaligus menantunya sendiri yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Raden Rangga Nitipraja.