Minggu, 16 April 2017

Antara Keraton dan Pesantren di Cirebon

Mbah Raden Ardisela (20)

Keraton,bagaimanapun adalah sentral atau pusat peradaban Islam di Cirebon dan sekitarnya.Begitulah peran keraton dari masa ke masa,semenjak keraton Cirebon berdiri hingga beberapa generasi.Namun lambat laun peran keraton sebagai pusat peradaban Islam itu semakin terkikis,hal ini tidak terlepas dari pengaruh dan campur tangan penjajah Belanda dan penjajah dari bangsa lainnya.

Semenjak Belanda semakin turut campur tangan dalam kehidupan keraton,semenjak itu pula peran keraton sebagai pusat penyebaran ajaran Islam semakin redup.Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya putra dan putri keraton yang keluar dari lingkungan keraton,terutama para keturunan yang masih perduli pada ajaran Agama Islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

Pengaruh Belanda yang masih terlihat hingga kini adalah berupa benda-benda peninggalan Belanda yang memang sangat jauh sekali dengan nilai-nilai Islam.Contoh yang masih ada adalah gambar-gambar di keramik yang terdapat di makam Sunan Gunung Jati.Beberapa keramik khas Belanda tersebut bergambar wanita dengan busana sedikit telanjang,hingga tulisan ini dibuat keramik bergambar tak senonoh itu masih terdapat di tembok bagian luar makam Sunan Gunung Jati.

Banyaknya keturunan keraton yang keluar dari kehidupan keraton memang tak selalu berdampak negatif,karena hal tersebut bisa menjadi berkah tersendiri,baik untuk keraton maupun untuk masyarakat pada umumnya,karena tak sedikit dari keturunan keraton yang akhirnya mendirikan pesantren.Kalaupun dari mereka tidak mendirikan pesantren,paling tidak mendorong dan membantu orang lain untuk mendirikan pesantren.

Pesantren Buntet adalah salah satu contoh pesantren yang didirikan oleh seorang ulama keturunan Syekh Syarif Hidayatullah yang bernama Mbah Muqoyim.Hal ini sebagai bentuk protes dan juga perlawanannya kepada penjajah Belanda yang membuatnya memilih meninggalkan jabatannya sebagai Mufti di Keraton Kanoman.Sementara keturunan Syekh Syarif Hidayatullah lainnya yang bernama Mbah Raden Ardisela membantu perjuangan Mbah Muqoyim dengan sepenuh jiwa.

Ketika terjadi pergolakan di Keraton Kanoman,Mbah Muqoyim beserta para ulama dan santri turut membantu.Putra mahkota yang saat itu diasingkan di luar Jawa akhirnya dikembalikan ke Cirebon dan diberikan kembali haknya.Putra Sultan tersebut hingga kini keturunannya memimpin Keraton Kacirebonan.
Selain Pesantren Buntet,secara bertahap di Cirebon dan sekitarnya sendiri berdiri banyak pesantren yang didirikan oleh ulama-ulama yang masih merupakan keturunan Syekh Syarif Hidayatullah baik dari jalur laki-laki atau perempuan,di mana pesantren-pesantren tersebut tidak saja didatangi oleh santri dari Cirebon dan sekitarnya,tetapi juga dari daerah-daerah lainnya yang terbilang jauh dari Cirebon.Beberapa pesatren tersebut antara lain adalah Pesantren Babakan Ciwaringin,Pesawahan,Tuk Karangsuwung (samping stasiun/dekat makam),Benda Kerep,Gedongan,Kempek,Balerante,dan lain sebagainya.

Walau sudah keluar dari keraton,para putra dan putri keturunan keraton  tetap masih perduli pada keraton beserta dinamika yang menyertainya.Begitu juga dengan para ulama keturunan keraton,mereka masih tetap perduli pada keraton hingga membuat beberapa dari mereka akhirnya kembali bekerja dan merawat  keraton,karena bagaimanapun keraton adalah warisan yang perlu dipelihara dan perlu dijaga kelanjutannya,terutama demi menjaga nilai-nilai ajaran Agama Islam,agar pengaruh negatif penjajah tak semakin merajalela.

Keraton dan pesantren-pesantren yang didirikan oleh ulama-ulama keturunan keraton  benar-benar sudah terpisah sesuai dengan latar belakang dan tujuan masing-masing.Keraton ramai dengan aneka kegiatan budayanya,sementara pesantren ramai dengan aneka kegiatan pendidikan dan keagamaanya.Keraton dan pesantren berjalan sendiri-sendiri namun satu sama lain tetap saling melengkapi.