Pangeran Ardisela (Mbah Raden Ardisela)
Bagi warga Desa Tuk Karangsuwung,Kecamatan Lemahabang Cirebon, nama Pangeran Ardisela atau Mbah Raden Ardisela bukanlah nama yang asing.Beliau adalah seorang pemimpin,pejuang,sekaligus ulama yang makamnya ada di desa ini.Selain bukan nama asing bagi warga Tuk Karangsuwung,nama Ardisela juga sangat akrab di telinga warga Buntet Pesantren dan pesantren-pesantren yang ada di sekitarnya,termasuk para santri yang berasal dari berbagi daerah di Indonesia.
Pangeran Ardisela atau Raden Ardisela yang biasa disebut dengan sebutan Kiai atau Mbah Ardisela tak lain adalah murid sekaligus teman seperjuangan Mbah Muqoyim dalam melawan penjajahan Belanda juga dalam menyiarkan ajaran agama Islam.Bila Mbah Muqoyim adalah seorang Mufti yang berasal dari Keraton Kanoman,maka Mbah Raden Ardisela adalah seorang demang yang berasal dari Keraton Kasepuhan,dua keraton yang sama-sama ada di Cirebon.Saat itu kesultanan Cirebon memang telah dibagi dua guna menengahi konflik antara dua putra Sultan Cirebon yang merasa sama-sama berhak menjadi sultan di Kesultanan Cirebon.Kedua sahabat ini sama-sama menjauh dari keraton karena tidak suka dengan pihak Belanda yang terlalu ikut campur dalam urusan pemerintahan keraton dan juga suka berbuat sewenang-wenang kepada rakyat.Karena hal itulah,keduanya sepakat untuk memerangi pihak penjajah Belanda.
Mbah Raden Ardisela dan Kiai Ardisela yang merupakan adik ipar Mbah Muqoyim adalah dua orang yang berbeda.Bila Kiai Ardisela murni seorang ulama,maka Mbah Raden Ardisela yang mempunyai nama kecil Raden Rustam ini adalah seorang pemimpin yang faham akan banyak ilmu agama yang membawahi wilayah yang berada di bawah Kesultanan Kasepuhan Cirebon.Jabatan inilah yang dimanfaatkan oleh Mbah Raden Ardisela dengan baik,terutama untuk membela para ulama,melindungi rakyat Cirebon yang saat itu tertindas dan juga untuk melawan penjajah.
Di luar keraton,Mbah Raden Ardisela terus berjuang melawan penjajah. Agar tak diketahui oleh pihak penjajah,Mbah Raden Ardisela terkadang menggunakan nama alias yang lain juga agar tak dikenali dan dicurigai oleh pihak penjajah.Beliau terkadang harus menanggalkan semua atribut kebangsawanannya dan mengganti namanya dengan nama lain ketika berperang melawan penjajah Belanda.
Ketika Mbah Muqoyim mendirikan pesantren Buntet,Mbah Ardiselapun ikut andil dengan turut membantu pembangunan pesantren dan ikut berjuang menyelamatkan pesantren Buntet yang kala itu menjadi target sasaran Belanda untuk dihancurkan.Pesantren pada saat itu memang tak sedikit yang dihancurkan Belanda,mengingat pesantren saat itu sering dijadikan sebagai lembaga pendidikan sekaligus sebagai pusat latihan perlawanan terhadap penjajah.
Semasa hidupnya,Mbah Raden Ardisela abdikan apa yang dimilikinya untuk kepentingan orang banyak dan juga demi tegaknya syiar Islam.Hingga akhir usianya Beliau habiskan waktu,tenaga dan hartanya untuk berjuang melawan penjajah Belanda.
Ketika wafat,Mbah Raden Ardisela dimakamkan di desa Tuk Karangsuwung yang merupakan desa di mana beliau tinggal bersama keluarganya.Makam beliau terletak berdekatan dengan makam Mbah Muqoyim yang dimakamkan di desa yang sama,namun di pemakaman yang berbeda.Hingga saat ini makam Mbah Raden Ardisela banyak dikunjungi oleh para peziarah dari berbagi macam daerah dari berbagai kalangan,termasuk para santri Pesantren Buntet dan pesantren-pesantren lainnya.